YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dalam rangka Syiar Mukatamar Muhammadiyah ‘Aisyiah ke-48, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta menyelenggarakan Sarasehan Cabang dan Ranting Muhammadiyah Kota Yogyakarta dengan tema “Membangun Keunggulan Cabang dan Ranting Berbasis Teologi Al-Ma’un”. Sarasehan tersebut digelar di Amphitarium Kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan pada Ahad (2/10).
Kegiatan yang diadakan dengan harapan untuk mencari terobosan baru agar bisa digunakan untuk pengembangan dan penguatan cabang dan ranting Kota Yogyakarta ini menghadirkan Prof. Hilman Latief, MA, P.hd, selaku Penasehat LAZISMU PP Muhammadiyah sebagai Key Note Speech dan Ketua LPCR PWM DIY, H.M Ikhwan Ahada, S.Ag., M.A serta Lazismu DIY, Cahyono, S.Ag., sebagai pembicara pada acara sarasehan tersebut.
Ketua Umum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Drs. H. Akhid Widi Rahmanto dalam sambutannya mengungkapkan bahwa K.H Ahmad Dahlan benar ketika berkata bahwa Muhammadiyah bukan sekedar organisasi namun juga gerakan. Sehingga wajib bagi warga Muhammadiyah untuk menggugah kembali semangat Al-Ma’un dan membuat gerakan Muhammadiyah yang membumi dan memasyarakat.
Managemen Al-Ma’un dan Neo Al-Ma’un
Dalam acara sarasehan tersebut, Prof. Hilman juga mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan modernis yang didalamnya terdapat Tajdid dan Ijtihad, dimana keduanya akan bergerak serta berubah untuk menjawab persoalan zaman.
Hilman berpendapat bahwa sekedar Teologi Al-Ma’un saja kurang cukup untuk menjawab persoalan zaman yang semakin kompleks. Menurutnya, perlu diadakan juga pengkajian tentang Managemen Al-Ma’un yang mencakup proses perencanaan sampai dengan pengawasan tafsir surah tersebut.
Hampir sama dengan Hilman, H.M Ikhwan Ahada juga memulai pembicaraan dengan pertanyaan apakah ideologi Al-Ma’un mampu mengentaskan problematika umat. Menurutnya, perlu penafsiran ulang Surah Al-Ma’un ini dan mencari alternatif baru diluar 3 pilar Al-Ma’un (Schooling, Feeding, Healing). “Maka dari itu, dalam konteks kekinian diperlukan Neo Al-Ma’un yang tidak berhenti pada pola konvensional namun harus sejalan dengan dinamika dan tuntunan zaman,” terangnya.
Pemaknaan dan penerapan baru teologi Al-Ma’un ini juga bisa dimulai dengan Redefinisi Kemiskinan dimana pemaknaan kemiskinan tidak dibatasi pada mereka yang miskin secara ekonomi saja namun bisa miskin secara sosial bahkan spiritual. Selain itu, penerapn teologi Al-Ma’un juga tidak berhenti dilakukan sebatas memberi dengan uang namun melawan sebab-sebab yang membuat mereka miskin.
Ikhwan juga menjelaskan jika Teologi Al-Ma’un ini bisa juga dipadukan dengan Teologi Al-Ashr yang bisa jadi nantinya membantu cabang dan ranting untuk bertahan. “Kalau Al-Ma’un itu Amal Usaha nya, maka Al-Ashr itu pribadi orang-orang didalamnya,” jelasnya.
Mengenai hubungannya dengan membangun keunggulan cabang dan ranting, Ikhwan memaparkan tentang 6 Kriteria Cabang Ranting yang Unggul yaitu Pembinaan Jamaah, Managemen Organisasi, Karakteristik dan Partisipasi, Pemberdayaan Ekonomi, Memiliki AUM Unggul, dan Daya pengaruh penguasaan media teknologi informasi.
Membangun Cabang dan Ranting yang Kuat dan Unggul
Cahyono, S.Ag, sebagai pembicara terakhir memaparkan ada 4 tantangan dalam bermuhammadiyah diantaranya media sosial dan perkembangan IT yang mempengaruhi pola hidup, paham keagamaan yang berkembang dalam masyarakat, perkembangan multikulturalisme, dan Globalisasi.
Sehingga, Cahyono menjelaskan tentang bagaimana menjadikan cabang dan ranting sebagai garda depan menghadapi tantangan dalam bermuhammadiyah yaitu dengan melakukan peneguhan ideologi, penguatan organisasi, kaderisasi berbasis ideologisasi dan kompetensi, dan kuatkan kemandirian ekonomi persyarikatan.
Kegiatan sarasehan ini tidak berhenti hanya sampai disini. Panitia kegiatan juga menyiapkan Rencana Tindak Lanjut pertemuan berkelanjutan mewujudkan keunggulan Cabang dan Ranting Kota Yogyakarta di 14 cabang se-Kota Yogyakarta. (Arina)