Menelisik Penduduk Uyghur Tiongkok
Oleh: Masud HMN
Tahir Mutallib Sidiq Qahiri dari Kasghar University mengungkap bahwa etnis Uyghur dikurung tak dapat keluar dari wilayah itu. Sang penulis yang telah menulis dua puluh buku dalam bahasa Arab itu mengharapkan ada masyarakat dunia yang mengusahakan jalan keluar.
Hal dimaksud ditulis oleh Recy Maulana dkk. dalam buku yang berjudul Dinamika Muslim Uyghur di Tiongkok dinyatakan dengan jelas. Ada masalah muslim, ada masalah hak asasi manusia (Lihat juga harian Kompas 10 September 2022).
Kini kita jadi mengetahui bahwa penduduk Uyghur Tiongkok bukan hanya masalah intern dalam negeri Tiongkok melainkan telah jadi masalah dunia. Menjadi problem internasioonal yang rumit. Hal mana berkaitan dengan masalah Islam masalah hak asasi manusia (human right).
Masalah Islam ada tautamya dengan tempat ibadah yang dihancurkan oleh penguasa Tiongkok. Sementara masalah ibadat penduduk Uyghur yang mayoritas Muslim merupakan masalah hak asasi manusia (human right). Menjadi beban komunitas internasional untuk mencarikan jalan keluar.
Wilayah Suku ini di Asia Tengah termasuk dulu Republik Tiongkok (RRT) sekarang disebut Tiongkok. Berasal dari suku Huihe kuno Tiongkok berbahasa Uyghur bagian dari Tiongkok. Suku ini yang sebagian besar menurut catatan ada 12 juta orang memeluk Islam.
Mereka penduduk beragama Islam mazhab Suni dan rumpun dari asal suku bangsa Turki. Tersebar di propvinsi Kazaksthan dan Ubezkistan. Mereka beraliran Suni tradisi sufi dari aliran yang dibawa oleh Imam Hanafi.
Suku Uyghur terpusat di Provinsi Xian, Tiongkok. Satu Provinsi yang oleh Tiongkok diberi Provinsi dengan status hak Oronom.
Suku ini jaya dimasa dinasti Han berkuasa di Tiongkok Kuno.Kemudian sangat disayangkan berhijrah ke beberapa Provinsi Turki dan Kazakstan, misalnya.
Daerah Xinjiang terkenal di zaman laulu. Yaitu masa Marco Polo tahun 1488 ketika suku Uyghur mendapatkan benua baru Amerika. Provinsi ini sebagai awal tempat berekonsentrasi suku Uyghur.
Akhirnya ada persoalan bersama masyarakat internasional yaitu, Pertama mencari jalan bagaimana soal muslim dicarikan jalan keluar atau solusinya, kedua masyarakat internasipnal pro aktif. Agar problema ini dibiarkan saja.
Ketiga kita menghindari problem tidak berlarut-larut. Jangan sampai menjadi hal sebagai mana Palestina di Timur Tengah.
Semua masalah itu hendaknya dicarikan jalan damai dan baik. Bila terjadi kekerasan maka perdamain dunia menjadi arahannya. Itulah yang kita hindari dan jauhi.
Masud HMN, Dosen Universitas Nuhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta