DENPASAR, Suara Muhammadiyah – “Jika bicara indeks pembangunan manusia, salah satu yang penting adalah hak atas kesehatan. Maka dalam G20 ini perlu kita tegaskan bahwa selain ekonomi, pemenuhan hak kesehatan bagi ibu dan anak juga harus menjadi perhatian.” Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah dalam Pararel Event C20 Summit 2022 “Suara Kaum Marginal – Voice of Voiceless” pada Kamis (6/10/22) di Hilton Resort Hotel Nusa Dua, Bali.
Ruang diskusi ini mendorong agar kepentingan penyandang disabilitas, pekerja migran, perempuan, anak, masyarakat adat, dan kelompok marginal lainnya harus dibicarakan dalam G20 yang tengah berlangsung di Bali di mana Indonesia menjadi presidensi G20 di tahun 2022 ini.
Mengapa hak kesehatan bagi ibu dan anak menjadi penting untuk dibicarakan ? Tri Hastuti menyebutkan bahwa akses bagi kesehatan ibu dan akses kesehatan pada anak menjadi salah satu yang terimbas atas kondisi krisis ekonomi. “Krisis ekonomi yang terjadi tidak semata berdampak pada problem ekonomi tetapi efek dominonya sangat besar sekali termasuk kepada akses kesehatan reproduksi dan akses kesehatan pada anak,” terangnya.
Lebih lanjut Tri menyebutkan terdapat tiga isu terkait kesehatan ibu dan anak ini. Pertama, masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Kedua, hak kesehatan reproduksi (kespro) pada kelompok remaja dan penyandang disabilitas yang merupakan kelompok marginal. Ketiga, masih tingginya angka stunting khususnya pada kelompok miskin. “Hal ini perlu menjadi perhatian karena pada kelompok miskin, risiko stunting tiga kali lebih berat dibandingkan dengan kelompok yang tidak miskin.”
Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang juga merupakan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menyebutkan bahwa AKI dan AKB menjadi ancaman bagi pembangunan sumber daya manusia. Hal ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat karena AKI dan AKB di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Hal ini disebabkan karena faktor akses layanan kesehatan dan faktor budaya yang masih sangat kuat di masyarakat.
Upaya dalam mengatasi AKI dan AKB menurut Tri haruslah di mulai dari Hulu yakni mneyasar kelompok remaja. “Dalam konteks pencegahan AKI ini banyak negara tidak memberikan perhatian pada kelompok remaja, salah satunya pemberian vitamin tambah darah, akses informasi dan layanan masih sangat minim sehingga remaja kurang teredukasi betapa pentingnya minum tablet tambah darah, betapa pentingnya memeriksakan kadar HB secara runting untuk mencegah AKI.”
Lebih lanjut, terkait isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), Tri menyampaikan bahwa pemenuhan HKSR ini masih minim diakses oleh kelompok remaja dan penyandang disabilitas. “Dalam isu HKSR ini masih banyak perempuan penyandang disabilitas yang belum memiliki informasi yang cukup komprehensif terkait kespro karena seringkali dianggap tabu dan bukan menjadi kebutuhan.” Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena menurutnya di tingkat dunia terdapat 15% penduduk penyandang disabilitas dan separuhnya berada di negara berkembang termasuk di Indonesia.
“Pemenuhan HKSR adalah hak dasar bagi teman-teman penyandang disabilitas akan tetapi masih banyak yang belum tercover atau belum memiliki akses,” tegas Tri. Belum adanya prioritas program bagi penyandang disabilitas menurut Tri menjadi penyebab penyandang disabilitas kesulitan dalam mengakses layanan HKSR seperti deteksi dini kanker serviks dan kanker payudara, layanan vaksinasi, layanan penurunan stunting, dan sebagainya.
Terkait HKSR di kelompok remaja, Tri juga menekankan perlunya pemberian pendidikan HKSR bagi para remaja. “Problem HKSR pada remaja harus dipotong pada hulunya yakni kurangnya perhatian di semua pemerintah pada pemenuhan HKSR kelompok remaja. Karena pendidkan HKSR tidak diberikan secara komprehensif di dunia pendidikan, ini ke depan sangat penting, bahkan layanan kesehatan dasar untuk remaja di fasilitas layanan kesehatan seringkali diabaikan.”
Dengan melihat tiga isu penting yang harus menjadi perhatian tersebut, maka Tri menyampaikan bahwa ‘Aisyiyah memberikan empat rekomendasi dalam kegiatan ini. Pertama, memperluas akses kesehatan bagi perempuan hamil dan nifas atau paska melahirkan dengan mendekatkan layanan pada perempuan. Pendekatan layanan kesehatan ini perlu dilakukan dari pemeriksaan kehamilan sampai melahirkan dengan ketersediaan layanan yang komprehensif.
Kedua, layanan dasar untuk HKSR, akses informasi, dan layanan HKSR bagi kelompok disabilitas. “Perlu dikembangkan model pendidikan HKSR bagi kelompok disabilitas tanpa mengabaikan kebutuhannya, baik dari akses substansi maupun penyampaiannya. Harus dipastikan pemenuhan HKSR dilakuan secara inklusif,” terang Tri.
Ketiga, pemenuhan HSKSR harus dilakukan dengan menjadi prioritas oleh semua negara dalam program kesehatan baik sisi kebijakan maupun penganggaran dengan pendekatan yang komprehensif maupun inklusif baik di daerah terpelosok termsuk remaja yang tidak memiliki akses sekolah. Keempat, pencegahan stunting dilakukan secara holistik pada aspek yang menjadi penyebab mendasar bukan hanya penyebab langsung.
Wahyu Susilo, Executive Direktor dari Migrant Care yang juga merupakan moderator dari acara ini mengutip laporan Human Devolpment Report 2021-2022 yang menyebutkan bahwa pandemi dan akumulasi krisis yang lain menyebabkan Human Development Index (HDI) dunia mengalami kemerosotan atau mundur menjadi lima tahun ke belakang. Bahkan angka HDI Indonesia merosot belasan peringkat.
Oleh karena itu pendekatan interseksionalitas yang disampaikan oleh ‘Aisyiyah sangat membantu dalam melihat problem yang ada di masyarakat. “Ini harus menjadi dorongan bagi G20 untuk bukan hanya membicarakan isu-isu ekonomi.” (Suri)