Eksoterisme dan Esoterisme dalam Beragama
Oleh: Mukhtar Hadi
Ada dua aspek penting dalam beragama, yaitu aspek syariat dan aspek hakikat. Syariat berarti aturan, ketentuan atau undang-undang yang mengatur segala sesuatu yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh orang beragama. Sementara hakikat adalah esensi atau inti serta makna terdalam yang dipesankan oleh ajaran agama yang terkadung dalam syariat. Syariat adalah aspek luar dan hakikat adalah aspek dalam. Syariat adalah aspek dhahiriah dan hakikat adalah aspek batiniah. Syariat adalah aspek eksoteris dan hakikat adalah aspek esoteris.
Beribadah yang yang sesuai dengan syariat adalah beribadah yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum syariat. Hukum syariat itu kemudian dipahami dan ditarik menjadi ketentuan-ketentuan yang lebih spesifik dan mudah dipahami dalam ilmu yang bernama Fiqih. Dengan demikian beribadah yang baik adalah beribadah yang sesuai dengan ketentuan fiqih.
Ibadah yang tidak sesuai dengan ketentuan fiqih, maka ibadah tersebut bisa tidak sah secara hukum agama. Ketentuan, syarat, dan rukun-rukun yang ada dalam fiqih harus dilaksanakan ketika seseorang beribadah. Jika tidak maka ibadahnya tertolak atau tidak sah karena tidak sesuai dengan syariat.
Banyak orang yang dalam beribadah sangat mementingkan aspek syariat atau fiqih, dan memang sudah seharusnya demikian. Mereka sudah merasa benar-benar beragama karena telah melaksanakan ajaran agama sesuatu ketentuan yang diatur dalam syariat. Merasa telah gugur kewajiban sebagai muslim karena sudah beribadah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Namun demikian banyak yang lupa bahwa ibadah bukan hanya mengandung aspek luar sebagaimana diatur oleh syariat, akan tetapi ibadah juga memiliki aspek hakikat atau batiniah. Ibadah yang melulu mementingkan aspek syariat (eksoteris) namun melupakan aspek hakikat (esoteris) akan kehilangan esensi dan makna dalam beribadah. Ibadah seperti ini tidak akan membawa kepada kedamaian dan ketentraman serta tidak akan memberi dampak terhadap perilaku hidup sehari-hari.
Sebagai contoh, ibadah shalat yang dilakukan seorang muslim dinyatakan sah jika shalat yang dilakukannya mengikuti syarat dan rukun-rukun yang sudah ditentukan dalam syariat. Akan tetapi shalat yang sah secara syariat tersebut belum tentu bernilai ibadah jika tidak dilaksanakan dengan penuh keikhlasan semata-mata mengharap ridha Allah Swt dan dilakukan dengan penuh kekhusyu’an.
Ikhlas adalah ibadah batiniah, karena rasa ikhlas tempatnya ada di dalam hati dan rohani manusia. Dengan demikian shalat yang baik adalah shalat yang memenuhi ketentuan lahiriah yang diatur di dalam syariat dan memenuhi ketentuan batiniah yaitu adanya komunikasi batin atau hati manusia kepada Allah Swt.
Lahiriah dan Batiniah adalah fitrah dasar manusia. Manusia terdiri dari lahir dan batin, sebagaimana pula Allah Swt. memiliki sifat dhahir dan batin, sebagaiamana dijelaskan dalam Al-qur’an surat Al-Hadid ayat 3:
هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Dhahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Hadid: 3)
Para ulama menyebutkan bahwa makna dhahir adalah bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu, yang di atasNya tidak ada sesuatu, sementara makna Batin adalah Allah Maha Mengetahui segalanya dan tidak ada yang terbatinkan (tersembunyikan) bagi Allah SWT, yang tersembunyi dan tidak terlihat.
Beragama yang mementingkan aspek lahiriah dan melupakan aspek batiniah adalah beragama yang kering secara spiritual. Ia tidak akan bisa membasahi kehidupan dan mengurangi dahaga kehausan spiritual manusia. Ibadah yang melupakan aspek batiniah tidak akan membawa manusia kepada ketentraman dan kedamaian hidup. Ingatlah akan firman Allah, bahwa sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS. Al-Ankabut:45). Hanya shalat yang memenuhi aspek syariat dan aspek hakikat saja yang bisa mencegah manusia dari perbuatan dosa dan kemunkaran.
Para ahli tasawuf mengingatkan kepada kita semua tentang pentingnya menemukan hakikat dan maka beribadah. Karena hanya dengan itulah ibadah yang kita lakukan memberikan dampak positif bagi kehidupan kita. Bukan ibadah yang tidak memberikan dampak apa-apa.
Seolah-olah jika sudah beribadah sesuai dengan ketentuan syariat surga sudah ditangan dan gugur kewajiban agama. Dahulu, dahlu sekali, muncul kritik dari para sufi bagi orang-orang yang beribadah hanya mementingkan syariat dan melupakan hakikat. Yang dimaksud ahli syariat adalah para ahli fikih. Sementara para sufi disebut sebagai ahli hakikat.
Sebaliknya muncul kritik dari para ahli syariat bahwa para sufi, karena lebih mementingkan hakikat seringkali mengabaikan syariat. Para sufi dinilai banyak beribadah yang tidak berlandaskan kepada ketentuan syariat. Para sufi karena ingin mereguk rasa batiniah, berusaha beribadah sebanyak-banyaknya namun melupakan syariat. Yang penting mendapatkan hakikat, aturan syariatnya tidak penting. Begitu kira-kira kiritik para ahli syariat (ahli fikih) kepada para ahli hakikat (kaum sufi).
Polemik ahli syariat dan ahli hakikat ini kemudian ditengahi oleh hujjatul Islam, Imam al-Ghazali dengan mengatakan bahwa baik syariat maupun hakikat adalah sama-sama penting. Beribadah yang mementingkan syariat tanpa hakikat adalah beribadah tanpa makna, kering dan tidak dapat mereguk nikmatnya beribadah. Sebaliknya beribadah yang hanya mementingkan hakikat dan melupakan syariat adalah ibadah yang kehilangan landasan dan arah serta menuju kesesatan. Makin menjauh dari kebenaran ilahiah.
Beribadahlah dengan baik sesuai dengan ketentuan syariat tetapi jangan lupa reguk hakikatnya. Beragama bukan hanya aspek lahiriah saja tetap juga mencakup aspek batiniah. Bukan hanya aspek eksoterisme tetapi juga ada aspek esoterisme. Penghayatan akan aspek hakikat (esoterisme) dalam ibadah akan memudahkan seseorang dalam mendalami keyakinan dan perasaan agama, serta dapat membina akhlak yang mulia.
Mukhtar Hadi, Anggota BPH UM Metro