Kisah Filantropi di Tanah Malaya
Oleh: Sonny Zulhuda, Dosen International Islamic University Malaysia
Minggu lalu kami di Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia menerima kunjungan dari Dompet Dhuafa (DD), sebuah lembaga filantropi ternama di Jakarta. Saya ditemani Mas Muliadi, mahasiswa PhD Ekonomi Islam dari Universiti Malaya dan aktivis PCIM Malaysia.
Pertemuan ini sendiri difasilitasi oleh satu lagi aktivis PCIM Malaysia yang juga aktif di program Dompet Dhuafa, yakni Ust Fathoni El-Muhammady. Beliau sekarang menjadi guru di sebuah sekolah internasional di Kuala Lumpur.
Atas nama unit dakwah internasional DD, Mas Totok Hadi menyampaikan tujuannya untuk melakukan perluasan program DD di kalangan warga Indonesia di Malaysia. Untuk itu beliau sedang mempelajari model yang dapat dikembangkan serta mitra-mitra yang dapat dirangkul seperti Kedutaan Besar Republik Indonesia, Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, Muhammadiyah Malaysia dan juga NU Malaysia.
Sebagai salah satu organisasi filantropi besar di Indonesia, DD cukup aktif melakukan ekspansi internasional. Kehadirannya di beberapa negara secara resmi, seperti Jepang, Korea dan Selandia Baru, melalui mitra-mitranya menjadi milestone penting ikhtiar mereka. Malaysia menjadi sasaran terkini mereka.
Dalam kesempatan itu kami juga berbagi ‘success story’ lembaga filantropi milik Muhammadiyah, yakni Lazismu, di Malaysia.
Lazismu unit layanan Kuala Lumpur, Malaysia yang berdiri sekitar tahun 2016 telah memainkan peran penting dalam membantu masyarakat Indonesia baik di Malaysia atau pun di Indonesia.
Di Malaysia, penerima manfaat Lazismu ada ribuan jumlahnya. Mulai dari program tahunan pemberian daging kurban, penyaluran zakat fitrah dan zakat mal, penyaluran makanan mingguan (gerakan malam jumat), bantuan beasiswa pendidikan, bantuan sembako era lockdown pandemi, bantuan pemulasaraan jenazah, bantuan sosial korban bencana banjir dan kebakaran, dan lain sebagainya.
Ada kalanya dana khusus dikumpulkan untuk membantu korban musibah di tanah air seperti di Padang, Palu dan tempat lainnya. Untuk urusan bantuan bencana ini, Lazismu Malaysia biasanya bergandengan dengan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) perwakilan Malaysia.
Selain itu di Kuala Lumpur, tepatnya di kawasan ramai Kampung Baru/Chowkit, Lazismu bersama PCIM Malaysia mendirikan sebuah amal usaha untuk pemberdayaan warga berbentuk restoran bernama Wasola. Pekerjanya yang notabene warga Indonesia ikut mendapatkan manfaatnya. Sebagian hasil restoran disetorkan kembali ke pundi infak dan sodaqoh.
Alhamdulillah, meski pengelolaan Lazismu Malaysia masih belum murni profesional, kami tetap mengusahakan agar manfaatnya terus mengalir kepada para mustahiq. Tentunya ini masih merupakan kerja berkelanjutan yang akan terus disempurnakan.
Mendengar pemaparan kami, DD sangat tertarik dan banyak bertanya perihal tantangan yang dihadapi. Mulai dari sumber pendanaan, pelaksana tugas sehingga perihal administrasi legalitas. Sepanjang ngobrol, Mas Totok sesekali membuka buku kecilnya dan membuat catatan.
Di akhir perjumpaan, kami menyatakan sangat terbuka untuk bekerjasama dengan Dompet Dhuafa. Masih terlalu banyak hal yang tidak bisa kami kerjakan sendirian. Kami berharap dapat mengoptimalkan peran Lazismu dan PCIM Malaysia dengan belajar dari pengalaman dan kepakaran DD dengan sumber dayanya.
Saya teringat pepatah petitih nenek moyang yang cukup relevan (maaf saya pinjam nenek moyang orang bule):
“IF YOU WALK ALONE, YOU CAN GO FAST. BUT IF YOU WALK TOGETHER, YOU CAN GO FAR”.
Sendirian atau bersama-sama, keduanya punya daya dorongnya masing-masing. Namun saya pribadi yakin, sinergi dan kolaborasi adalah kunci sukses di masa mendatang.