Muhammadiyah, Lahir di Kauman Besar di Minangkabau

Reflesi Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah Ke-48

ramadhan

Masjid Taqwa Muhammadiyah Sumbar Dok Istimewa

Muhammadiyah, Lahir di Kauman Besar di Minangkabau

Reflesi Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah Ke-48

Oleh: Isthifa Kemal

Siapa yang saat ini tidak mengenal dengan organisasi Muhammadiyah. Ya, organisasi besar di Indonesia yang di dirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah bahkan saat ini sudah mempunyai cabang-cabang istimewa di luar negeri.

Kampung Kauman yang berada di Yogyakarta merupakan saksi lahirnya organisasi ini pada 18 November 1912. Dalam Statuten Muhammadiyah (Anggaran Dasar Muhammadiyah)  yang di kirim oleh Kiai Dahlan yang disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914, tertera bahwa perhimpunan ini ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Adapun tujuan pendiriannya adalah untuk “menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta dan memajukan hal Igama kepada anggauta-anggutanya.”

Awalnya ajaran ini di tolak, namun berkat ketekunan dan kesebaran Kiai Dahlan, akhirnya mendapat dukungan dan sambutan dari keluarga dan kerabatnya di kampung Kauman. Profesi Kiai Dahlan sebagai pedagang sangat mendukung, sehingga dalam waktu dekat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa.

Kampung Kauman di Yogyakarta menjadi saksi lahirnya organisasi ini. Letaknya berada di sebelah barat alun-alun Keraton Kesultanan Yogyakarta, tidak jauh dari Mesjid Agung. Kampung Kauman dikenal sebagai tempat tinggal komunitas masyarakat muslim yang menjadi abdi dalem keraton. Disanalah Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dilahirkan pada tahun 1868.

Mengutip buku K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) oleh Nur Khozin dan Isnudi, asal-usul kampung Kauman memiliki keterkaitan dengan sejarah Kesultanan Yogyakarta yang di dirikan berdasarkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Perjanjian yang ditandatangani Gubernur Nicollas Hartigh itu menjadi salah satu bentuk politik pecah belah pemerintah kolonial Belanda. Tujuannya untuk melemahkan pengaruh dan wewenang pemimpin lokal.

Ayah Ahmad Dahlan, Kiai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman, merupakan abdi dalem Kesultanan Yogyakarta. Dia menjabat sebagai Khatib di Masjid Gedhe Kauman Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertugas memberikan Khotbah Salat Jumatsecara bergiliran dengan khatib lainnya. Ahmad Dahlan  kecil, yang kala itu masih Bernama Muhammad Darwis, di didik langsung oleh orangtuanya dalam lingkungan keluarga di kampung Kauman ini. Muhammad Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan menjelang pulang usai menjalankan ibadah Haji dan menuntu ilmu selama 5 tahun di Mekkah.

Masjid Gedhe Kauman tempo dulu (Dok SM)

Di kampung Kauman, Kiai Dahlan pelajaran dan pengetahuan kepada laki-laki, beliau juga memberikan pelajaran kepada kaum ibu muda dalam forum pengajian yang di sebut “Sidratul Muntaha”. Dimana pada siang harinya pelajaran untuk anak laki-laki dan perempuan, dan pada malam hari untuk anak laki-laki yang sudah dewasa.

Dari kampung Kauman ini juga, Muhammadiyah mendirikan 5 sekolah dasar dari  tahun 1913-1918.  Tahun 1919, Muhammadiyah mendirikan Hooge School Muhammadiyah yang merupakan sekolah lanjutan. Pada tahun 1923 diganti namanya menjadi Kweek School Muhammadiyah, Tahun 1923 dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri dan perempuan sendiri. Akhirnya  pada tahun 1930 nama nya dirubah menjadi Mu’allimin dan Mu’allimat yang kita kenal sekarang. Keduanya kini menjadi sekolah kader Muhammadiyah yang dibawahi langsung oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Pada 7 Mei 1921, Kiai Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemeintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Akhirnya permohonan itu mendapat persetujuan Pemerintah Hindia Belanda pada 2 September 1921. Dengan di terimanya permohonan ini, maka ruang gerak Muhammadiyah semakin luas. Dakwah Muhammadiyah pun semakin mantap, terutama bidang pendidikan dengan membentuk badan khusus, guna meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Badan khusus ini Bernama Majelis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah yang dibentuk pada 14 Juli 1923 dan di ketuai Mas Ngabehi Joyosugito. Pengaruh Muhammadiyah pada masa itu masih terbatas pada beberapa wilayah. Wilayah tersebut yaitu Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan dan Pekajangan. Cabang-cabang Muhammadiyah ini mulai berdiri pada tahun 1922.

Kabar duka muncul, pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, meninggal dunia pada 23 Februari 1923. Perjuangan Muhammadiyah tidak pernah berhenti. Perjuangan Muhammadiyah dilanjutkan Oleh K.H. Ibrahim. Dua tahun setelah meninggal Kiai Dahlan, jumlah anggota Muhammadiyah berjumlah 4.000 anggota. Dititik ini, Muhammadiyah sudah membangun dua klinik di Surabaya dan Yogyakarta dan 55 sekolah.

Kampung Kauman telah melahirkan sosok yang sangat penting bagi bangsa. Sosok yang merubah nilai-nilai dan memberikan sebuah peradaban baru bagi negeri. Perubahannya saat ini bahkan di rasakan sampai ke luar negeri.

Besar di Minangkabau

Bermula dari lawatan Haji Abdul Karim Amrullah, dikenal juga dengan Haji Rasul,  ke tanah Jawa, beliau bertemu dengan sejumlah tokoh di Jawa, diantaranya K.H Ahmad Dahlan. Meskipun belum pernah bertemu sebelumnya, hubungan antara kedua tokoh ini terjalin secara emosional dengan sangat baik melalui kesamaan pandangan soal Islam dan pendidikan. K.H. Ahmad Dahlan. Kiai Dahlan mengenal Haji Rasul lewat tulisan-tulisannya di majalah Al-Munir. Buya Hamka mengisahkan dalam bukunya Ayahku,K.H. Ahmad Dahlan menjemput langsung kedangan Haji Rasul di Stasiun Tugu Yogyakarta. Ia menjadi tamu Kiai Dahlan dan banyak bertukar pikiran dengan pendiri Muhammadiyah selama di Yogyakarta.

K.H. Abdul Karim Amrullah yang di juluki Haji Rasul, mengajarkan Muhammadiyah di Minang, yang langsung membuka cabang di Sungai Batang daerah Agam. Pada Tahun 1925, Cabang Muhammadiyah mulai didirikan di Minangkabau. Haji Rasul mengembangkan dan membesarkan Muhammadiyah di tanah Minang. Kepiawaiannya berdakwah membuatnya mudah di terima oleh masyarakat.

Gambar deretan mobil yang melayani kebutuhan peserta Kongres ke-19 tahun 1930 di Pasar Atas Bukittinggi. Sumber: Tjatetan Persidangan Congres Besar Moehammadijah Minangkabau ke-19 tahun 1930.

Persentuhan pertama antara Muhammadiyah dan orang Minang adalah melalui A.R. Soetan Mansur, tokoh yang kemudian menjadi PB Muhammadiyah 2 periode (1953-1956 dan 1956-1959), lahir di Maninjau, 15 Desember 1895. Buya Mansur merupakan anak ulama kenamaan Maninjau yang bernama Abdul Somad Al-Kusaij. Buya Mansur ini merupakan murid dan kemudian menjadi menantu dari Haji Rasul.

Sebelum Muhammadiyah masuk ke ranah Minang, Buya Mansur telah jadi pengurus Muhammadiyah di Pekalongan dan bertemu langsung dengan Kiai Dahlan. Sebagai perantau, Buya Mansur selain aktif dalam memimpin Muhammadiyah di Pekalongan juga menjadi pedangang kain batik. Buya Mansur mendirikan perkumpulan padagang batik para perantau Minang untuk mengkaji Islam yang di beri nama “Nurul Islam”.

Sebagaimana tokoh lainnya, Buya Mansur gemar menelurkan pikirannya lewat tulisan. Beberapa buku berkaitan dengan Muhammadiyah berhasil di tulis oleh Buya Mansur, diantaranya: Pokok-Pokok Pergerakan Muhammadiyah, dan Penerangan Asas Muhammadiyah; Hidup di Tengah Kawan dan Lawan; Tauhid Membentuk Pribadi Muslim; Rush Islam; Jihad dan lain-lain.

Selain Haji Rasul dan Buya Mansur, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang di kenal dengan Buya Hamka, juga memiliki peran besar dalam membesarkan dan menyebarkan Muhammadiyah di ranah Minang. Tokoh kharismatik ini turut andil dalam mengukir sejarah Muhammadiyah. Mula-mula Muhammadiyah hadir di ranah Minang, Buya Hamka mendampingi Buya Mansur mendirikan cabang Muhammadiyah ke berbagai daerah.

Pada tahun 1928, Buya Hamka diangkat menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Ketika itu, usianya bari 21 tahun. Tahun 1931, ia kemudian di tunjuk menjadi Mubaligh Muhammadiyah di Makassar, lalu ditunjuk sebagai Anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Dalam perjalanannya, Buya Hamka pernah menjadi Ketua MUI yang pertama (1975-1981).

Etnik Minang bisa ditemukan dengan mudah di pusat-pusat perdagangan dalam wilayah Indonesia, bahkan mancanegara. Tradisi merantau inilah yanag memudahkan penyebaran Muhammadiyah ke seluruh wilayah Sumatera bahkan di luar Sumatera. Bagi masyarakat Minang, adat dan agama tidak bisa dipisahkan. Orang Minang tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak beradat dan beragama (Islam). Orang Minang dan kebiasaannya menyebabkan mereka lebih cepat dalam menimba ajaran-ajaran baru dalam dunia Islam. Berkaitan dengan Muhammadiyah, justru bukan hanya menjadi suatu organisasi baru yang menyebar dengan cepat di wilayah Minangkabau, namun mereka membawanya keluar dengan mendirikan Muhammadiyah di daerah rantau masing-masing.

Para pedagang dari Minang membantu penyebaran Muhammadiyah. Saat ini dengan 60 juta anggota, Muhammadiyah merupak organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Muhammadiyah juga memiliki organisasi otonom.

Munculnya Muhammadiyah di ranah Minang menjadi titik episentrum baru penyebaran Muhammadiyah di seluruh Indonesia melalui jaringan kekeluargaan, guru dan murid hingga jaringan perdagangan. Etnik Minang selain di kenal sebagai etnik perantau, mereka di kenal juga ahli perdagangan. Orang Minang membawa Muhammadiyah ke daerah rantau mereka masing-masing.

Dengan semua pencapaian ini, cita-cita Kiai Dahlan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak di bidang agama, sosial dan pendidikan yang tidak tergoyahkan. Hingga gini, belum ada organisasi yang memiliki tempat pendidikan, ruang ibadah serta fasilitas Kesehatan sebanyak yang dimiliki oleh Muhammadiyah.

Isthifa Kemal, Dosen dan Sekretaris LPPM Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Exit mobile version