YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Madrasah Digital bersama dengan PC IMM AR Fachruddin menyelenggarakan Dialog Pada Masa Modern dengan tema “Mengenang Kuntowijoyo: Manifesto Paradigma Ilmu Sosial Profetik dan Transformasi Gerakan”. Acara ini berlangsung pada tanggal 17 Oktober 2022 di Menara Coffee Yogyakarta.
Acara ini mengundang 3 Narasumber, yaitu Muhammad Fakhruddin, M.Si selaku Founder Madrasah Digital, Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A, M.Phil selaku Guru besar antropologi UGM dan penulis buku sekaligus kritikus paradigma profetik serta Hizba Muhammad Abror dan dihadiri oleh kalangan mahasiswa dan masyarakat umum khususnya Kader PC IMM AR Fachruddin.
Membuka acara ini Dr. Heddy membawakan pengantar dengan memperkenalkan terlebih dahulu siapa sosok Kuntowijoyo kepada para peserta dimulai dari riwayat pendidikan dan bagaimana pemikiran Kuntowijoyo.
“Mas Kuntowijoyo merupakan salah seorang dosen di Fakultas Sastra dan Kebudayaan yang sekarang dikenal dengan Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gadjah Mada. Mas Kunto termasuk mahasiswa yang brilliant dan beliau melanjutkan gelar Phd di Columbia University, setelah lulus Mas Kunto kembali ke Indonesia” jelasnya.
Dr. Heddy juga menambahkan bahwa semasa sakit Mas Kunto tetap rajin untuk menulis, salah satu pemikiran yang penting dari seorang Kuntowijoyo adalah ilmu sosial profetik yang berangkat dari keresahan teman-teman yang didiskusikan bersama dengan Kuntowijoyo.
Menurut Dr. Heddy ada dua hal yang membuat Kuntowijoyo merumuskan ilmu sosial profetik yang pertama adalah perdebatan di kalangan teman-teman Islam sendiri berkenaan soal Teologi Islam. Pada saat itu ada seminar di Kaliurang dan ada perdebatan antara teologi konvensional yang membicarakan tentang ayat-ayat dan yang satu lagi lebih kepada membicarakan interpretasi dan kontekstualisasi ayat-ayat tersebut.
Perdebatan ini kemudian mengundang polemik dan cukup ramai sehingga Kuntowijoyo berfikiran untuk mendamaikan dengan pemikiran yang baru.
Kemudian yang kedua adalah Kontestiologi di Solo, saat itu mendorong Kuntowijoyo memunculkan ide berkenaan dengan Islam dan Ilmu Pengetahuan. Karena, ketika itu muncul memang ada arus pemikiran baru baik itu di Amerika maupun di kalangan Ilmuwan Muslim di luar Amerika.
“saya masih ingat waktu saya ke Amerika tahun 1980-an, saya bertemu dengan teman-teman di Amerika mereka juga membangun istilahnya dulu islamisasi ilmu pengetahuan. Ini yang kemudian juga diusung oleh teman-teman dan sekarangpun Malaysia masih giat melakukan ini, nah kongres teologi itu berbicara tentang islamisasi ilmu pengetahuan, disana sudah ada pembicaraan itu tetapi Mas Kunto tidak puas karena kata Islamisasi Ilmu Pengetahuan itu kemudian diplesetkan jadi kalau Islamisasi Ilmu Pengetahuan rasanya gak pas” ucap DR Heddy.
Dari penjelasan ini kemudian Kuntowijoyo berpikiran untuk mengembangkan pemikiran baru mengenai ilmu pengetahuan yang merupakan wujud dari menyatunya ilmu pengetahuan dan agama.
Selain itu, Muhammad Fahruddin yang juga narasumber menjelaskan bahwa pemikiran Kuntowijoyo mengajak kita untuk melakukan aksi dan melihat bahwa pemikiran Kuntowijoyo mengandung aksi misi pembebasan
“Prof Kunto memiliki misi pembebasan bagaimana umat Islam tetap bisa menerima ilmu pengetahuan tapi juga melihat wahyu sebagai asumsi kebenaran. Jadi beliau menyelipkan wahyu kepada ilmu pengetahuan tadi. Mengapa wahyu dijelaskan sebagai asumsi kebenaran karena biar bagaimanapun di era industri ini manusia mengalami masalah sosial. Jadi, masih butuh tuntunan wahyu yang itu menjadi satu kebenaran. Tapi, Prof Kunto menggunakannya bukan sebagai istilah Teologi tapi menggunakannya sebagai ilmu sosial profetik itu tadi” Jelas Muhammad Fahruddin
Muhammad Fahruddin juga mengatakan bahwa Prof. Kunto memberikan kita ruang dan jalan kepada umat Islam agar bisa menerima ilmu pengetahuan itu. Karena, beliau juga menganggap bahwa wahyu itu adalah bagian dari kebenaran.
Misi pembebasan Kuntowijoyo yang diungkapkan di dalam buku yang berjudul Interpretasi Untuk Aksi menjelaskan bahwa Prof. Selo Soemardjan meramalkan Indonesia pada tahun 2012 akan menjadi negara sekuler. Saat itu Prof. Kunto tidak setuju pendapat itu, karena Islam dapat menerima ilmu pengetahuan dan ketika agama itu ditinggalkan yang menjadi sekuler itu adalah agama yang tidak bisa menjawab permasalahan ke ummatan. Hal itu kemudian terbukti bagaimana tahun 2012 setelah Prof. Kunto meninggal umat Islam beramai-ramai menggunakan Jilbab.
Dialog ini berlangsung dengan lancar dan mengundang antusias dari para peserta yang hadir melalui pertanyaan kritis yang diajukan kepada Narasumber. (Eli Kardilla)