Ilusi-Ilusi di Balik Pembukaan Hubungan Diplomatik Dengan Israel
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Bukan rahasia lagi Israel sangat berkepentingan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia. Pembukaan hubungan diplomatik dengan Indonesia akan memiliki makna simbolik yang sangat besar bagi Israel yang nyatanya sampai hari inj eksistensinya sebagai negara masih belum diakui banyak negara Islam. Baru delapan negara Muslim yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel, yaitu Turki (1949), Mesir (1979), Yordania (1994), Emirat (2020), Bahrein (2020), Sudan (2020), Maroko (2020), dan Kosovo (2020). Iran pernah membuka hubungan diplomatik (1947-1979), tapi tutup lagi setelah Revolusi Islam (1979), bahkan sangat memburuk.
Pembukaan hubungan diplomatik dengan Indonesia diyakini akan memiliki makna yang lebih besar baik secara simbolik maupun kategoris bagi eksistensi Israel, mengingat Indonesia merupakan negeri Muslim terbesar di dunia dan terjauh dari Israel. Tak heran jika Israel sangat bersemangat untuk mewujudkannya segera. Semangat Israel yang menggebu tersebut karena memang Israel meyakini ada potensi dan peluang politik yang cukup besar untuk dibukanya hubungan diplomatik antar kedua negara tersebut.
Pertama, Israel tahu betul bahwa, meski secara konstitusional Indonesia menyatakan anti-penjajahan, tetapi ada pihak-pihak yang bukan hanya menutup mata atas fakta penjajahan Israel tersebut, melainkan malah sepertinya bisa diyakinkan bahwa Israel berada di pihak yang benar dan sebaliknya Palestina, apalagi Hamas, sebagai yang salah, bahkan teroris.
Kedua, Israel juga tahu betul bahwa memang benar Indonesia itu mayoritas Muslim, tetapi bangsa Indonesia sangatlah majemuk dan heterogin secara suku, etnis, agama dan aliran atau sekte. Benar, Indonesia adalah bangsa muslim terbesar di dunia di mana mayoritas penduduknya (87% dari 270 juta jiwa) beragama Islam. Tetapi Israel melalui karya-karya para Indonesianis Amerika dan Barat lainnya tahu betul corak dan texture Islam Indonesia itu seperti apa: ada kebhinekaan antar agama, ada pula kemajemukan internal agama. Jujur saja, yang Muslim itu ada yang santri, ada yang abangan; dan yang santri, ada yang modernis, ada yang tradisionalis; ada yang ortodoks, ada yang heterodoks.
Memang kaum Muslim ortodoks di Indonesia cukup besar, tetapi penguasa Indonesia, sebagaimana yang ditemukan oleh para Indonesianis dan orientaslis Barat, bukanlah bagian dari mereka. Penguasa Indonesia bukanlah orang-orang Muslim ortodoks yang sangat anti-Israel karena faktor Al-Quds dengan Masjid Aqsa-nya yang dijarah Israel. Karena itu maka, sebagaimana juga telah berjalan selama ini, pertemuan dan pembicaraan antar kedua pejabat negara meski bersifat informal dan rahasia selama ini bisa berlangsung. Hubungan diplomatik belum ada, tetapi hubungan kerjasama di bidang bisnis, pendidikan, pariwisata, dan lain-lainnya de facto sudah berjalan. Artinya Israel tahu: ada potensi dan peluang bagi Israel untuk “masuk”.
Ketiga, negara-negara Arab, bahkan beberapa di antaranya negara Arab yang pernah berperang dengan Israel saja telah berdamai dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel, mengapa Indonesia yang tidak pernah berperang tidak bisa berhubungan? Mengapa Indonesia yang sangat jauh dari episentrum konflik tidak kunjung membuka hubungan diplomatik? Mengapa Indonesia bisa menjadi lebih Arab daripada Arab sendiri? Demikianlah pertanyaan mereka ajukan: tajam laksana silet yang siap menyobek persatuan dan kesatuan bangsa.
Argumen kelompok pro-Israel
Kebetulan juga dari dulu sampai sekarang ada orang Indonesia yang pro-Israel, dan sangat menginginkan negara kita Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Mereka tak perduli bahwa Israel adalah negara yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi disebut dalam banyak resolusinya sebagai negara yang menjajah (occupy) Palestina dan karena itu disebut sebagai penjajah (occupier). Dus, apa yang dilakukan oleh Israel di wilayah Palestina sekarang ini merupakan sebuah occupation yang artinya pengambil-alihan, pendudukan, atau penjajahan.
Tentu, dan itu pasti, tanpa sedikitpun keraguan, harus dikatakan bahwa sikap pro-Israel tersebut, pertama, melawan secara diametral Pembukaan UUD 1945 alinea pertama yang menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”; dan kedua, menyalahi sikap dan posisi kepemimpinan nasional Indonesia yang memiliki tradisi sangat anti kolonialisme dan imperialism. Presiden Soekarno adalah orang pertama yang memulai tradisi mendukung kemerdekaan Palestina.
Jumlah orang Indonesia yang pro-Israel secara numerikal tidaklah banyak, tetapi juga tidak sedikit sekali. Pasalnya, ada yang menyampaikan pendapat dan keinginannya secara terus terang, tanpa tedeng aling-aling, tetapi lebih banyak lagi yang sembunyi-sembunyi dan anonim. Belum lagi ada yang diam-diam beroperasi secara canggih dan rahasia. Termasuk yang tersebut terakhir ini adalah beberapa orang taipan, bahkan tokoh agama, dan juga penentu kebijakan dalam pemerintahan negara.
Mereka yang tersebut terakhir ini adalah pejabat-pejabat pemerintahan negara yang mengirimkan beberapa orang Indonesia untuk mengikuti pelatihan di bidang pertanian, intelligent, militer, dan lain-lainnya, ke Israel. Oh ya, hampir lupa, di antara orang-orang yang mempunyai skenario untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel tersebut ada yang pernah menjadi penguasa tertinggi di negeri ini.
Argumen yang dijadikan sebagai dalih bagi desakan pembukaan hubungan diplomatik itu ada beberapa macam, tetapi semuanya artifisial (baca: tidak alami alias menyalahi jaman) dan superfisial (dangkal). Misalnya, dikatakan bahwa, dengan membuka hubungan resmi dengan Israel maka Indonesia akan mendapatkan benefit ekonomi yang sangat besar. Mereka berasumsi bahwa Israel adalah negara yang sangat kaya secara ekonomi dan maju secara iptek. Memang Israel negara yang cukup kaya, tapi masih di bawah negara-negara Arab Teluk. Maka jika hanya sekadar meraih benefit ekonomi mengapa tidak konsentrasi saja bekerja sama dengan negara-negara Arab Teluk secara lebih intensif dan ekstensif?
Memang agak aneh juga kalau beberapa negara Arab Teluk yang sekarang mulai menormalisasi hubungannya dengan Israel karena ada kepentingan ekonomi dan bisnis. Para ahli ekonomi pun sulit untuk melacak dan mendeteksi apa sebenarnya benefit ekonomi yang akan mereka dapat dari Israel. Pasalnya negara-negara Arab Teluk itu sebetulnya jauh lebih kaya dari Israel. Bukankah sebaliknya: Israel yang akan memperoleh banyak benefit ekonomi dan bisnis dari negara-negara Arab Teluk itu? Tetapi politik memang suka mempunyai logika sendiri yang tidak selalu linier!
Berhubungan dengan Israel juga akan membawa manfaat iptek. Israel disinyalir maju dalam iptek. Padahal sejatinya kemajuan Israel masih jauh di bawah negara-negara Eropa dan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok. Jika akan mengejar kemajuan iptek maka Indonesia jauh lebih baik belajar ke Eropa dan Asia Timur daripada ke Israel. Apalagi sekadar belajar pertanian (agriculture) seperti yang sekarang dilakukan oleh entah siapa dengan mengirimkan puluhan pelajar Indonesia ke Israel. Belum lagi secara agronomi dan meteorologi geofisika keadaan bumi Israel sangatlah berbeda dengan Indonesia. Walhasil, kegiatan pengiriman mahasiswa Indonesia ke Israel tersebut hanyalah kegiatan waton suloyo saja. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu.
Mburu uceng, kelangan deleg
Alasan lainnya yang sedikit agak berbobot adalah bahwa dengan membuka hubungan diplomatik dengan Israel maka terbuka peluang bagi Indonesia untuk berperan lebih besar dalam proses perdamaian Israel-Palestina. Benar, bahwa untuk berperan sebagai juru damai antara Israel dan Palestina, Indonesia perlu memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan keduanya. Tetapi langkah ini sungguh akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan etis dan metodologis.
Pertanyaan etisnya adalah bagaimana Indonesia akan menampakkan wajahnya jika negara yang konstitusinya sangat anti-penjajahan tersebut akan berhubungan diplomatik dengan negara penjajah? Pembukaan hubungan diplomatik artinya akan membuka dan memulai kerjasama kedua negara dalam semua bidang: ekonomi, bisnis, pendidikan, kebudayaan, bahkan pertahanan dan keamanan. Masak negara yang mengklaim anti-penjajahan bermesra-mesraan dengan negara penjajah? Pembukaan hubungan diplomatis menimbulkan pertanyaan etis.
Pertanyaan metodologisnya adalah bahwa alasan serupa juga digunakan beberapa negara Muslim yang telah lebih dahulu membuka hubungan diplomatik dengan Israel tersebut di atas: dalam rangkai mencari alternatif baru untuk menyelesaikan konflik Palestina dan Israel. Pertanyaannya adalah, setelah beberapa negara Arab dan Muslim tersebut membuka hubungan diplomatik, apakah ada tanda-tanda negara-negara tersebut benar-benar berperan dalam negosiasi perundingan, apalagi yang mengarah ke keberhasilan? Kemajuan perdamaian ternyata sangat minimal, untuk tidak mengatakan nol besar!
Lantas apakah yang akan dihasilkan oleh Indonesia dengan membuka hubungan diplomatik dengan Israel? Mungkin akan ada sedikit benefit ekonomi dan bisnis di sana. Secara politik Amerika Serikat (aliansi utama dan pelindung Israel) pasti juga akan sangat bergembira jika Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tetapi saya rasa kerugian dan kerusakan (madharat)-nya jauh akan lebih besar dari manfaatnya.
Pembukaan hubungan diplomatik Indonesia-Israel akan berpotensi menimbulkan fitnah yang sangat destruktif bagi keutuhan dan kerukunan bangsa ini. Dan itu adalah awal yang buruk. Kerusakan yang berupa disintegrasi bangsa Indonesia akan sangatlah sulit dipulihkan kembali. Sungguh kerusakan akibat fitnah ini sangat tidak sepadan dengan benefit yang hendak diraih. Ibarat ungkapan Jawa yang akan terjadi adalah: “Mburu uceng, kelangan deleg’! Maka sebaiknya dihindari. Janganlah mencari penyakit!
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Suara Muhammadiyah edsi nomor 13 tahun 2021