Sang Guru, ”Growth Mindset” KHA Dahlan dan Islam Berkemajuan
Oleh: Nurcholid Umam Kurniawan dan Wildan
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta.
Yang telah menciptakan manusia dari’alaq.
Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah.
Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia
apa yang belum diketahui (nya)”.
(QS al-‘Alaq [96] : 1 – 5)
“Berapa jumlah guru yang tersisa?”, demikian pertanyaan Kaisar Hirohito kepada para jenderal yang menghadap beliau, setelah Jepang menyatakan kalah perang dalam Perang Dunia kedua. Beliau tidak bertanya tentang berapa jumlah tentara maupun jenderal yang tersisa. Karena beliau menyadari pentingnya guru dalam memajukan bangsa Jepang. Terbukti Jepang menjadi bangsa yang unggul di kemudian hari, karena jasa para pendidik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Jepang. Sehingga Jepang menjadi bangsa yang maju tidak kalah dengan bangsa Barat yang mengalahkannya. Buku-buku ilmu pengetahuan dalam Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh para penterjemah profesional. Dengan demikian, buku-buku ilmu pengetahuan tidak hanya dibaca oleh para cerdik pandai, tetapi juga dibaca oleh masyarakat biasa.
Era tahun 1970, Indonesia “mengekspor” guru ke negara jiran Malaysia, karena mereka menyadari penting peran guru dalam memajukan kehidupan bangsa Malaysia. Ironinya, kondisi sekarang terbalik. Yang dikirim “cuma” Tenaga Kerja Indonesia (TKI), sehingga “Cik Gu” berubah menjadi “Indon” sebutan yang merendahkan orang Indonesia yang bekerja di sana.
Yang dimakud dengan Sang Guru dalam tulisan ini adalah, KH Muhammad Sholeh Darat al-Samarani (1820 – 1903 M) guru para ulama besar Nusantara. Murid-murid beliau seperti KHA Dahlan pendiri Muhammadiyah , 1912 di Yogyakarta, Hadratussyeikh Hasyim Asy ‘ari pendiri Nahdlatul Ulama, 1926 di Surabaya, dan RA Kartini pendiri sekolah Kartini khusus untuk para perempuan, 1912 yang awalnya didirikan di Semarang.
Kesemuanya ini, murid-murid beliau, dikenal sebagai tokoh-tokoh bangsa, pahlawan bangsa dalam bidang pendidikan, ikut “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, meskipun saat itu UUD 1945 belum lahir. Seperti kata pepatah : “Buah akan jatuh di sekitar pohonnya”.
Yang dimakud mindset adalah pola pikir. Dengan mengubah pola pikir akan menghasilkan perubahan besar dalam hidup manusia. Maka,
Berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab akan menjadi kata-kata.
Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab akan menjadi perbuatan.
Berhati-hatilah dengan perbuatanmu, sebab akan menjadi kebiasaan.
Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab akan menjadi watak.
Berhati-hatilah dengan watakmu, sebab akan menentukan nasibmu !
Bahwa manusia memiliki dua jenis mindset. Pertama mindset yang tumbuh (growth mindset) dan kedua mindset yang tetap (fixed mindset). Orang-orang yang ber-mindset tetap cenderung mementingkan apa yang didapat dari masa lalunya, yaitu prestasi sekolahnya yang tampak dalam ijazah dan gelar sekolah. Dan sekali didapat, mereka percaya bahwa prestasi itu akan berlaku selama-lamanya. Persis seperti cara pandang kita tentang IQ. Sebaliknya, yang ber-mindset tumbuh berani menghadapi tantangan baru. Mereka percaya bahwa kecerdasan bisa berubah seperti otot, yang kalau dilatih terus-menerus akan menjadi kuat dan besar. Dweck (2006), menemukan bahwa mindset tumbuh itu kelak akan diraih oleh mereka yang berani menghadapi kesulitan dan tantangan-tantangan baru, beradaptasi dengan perubahan.
KHA Dahlan adalah salah satu contoh tokoh yang berpola pikir tumbuh (growth mindset). Kenyataan menunjukkan, tokoh yang berpola pikir tumbuh lebih mampu mempertahankan kesuksesan daripada tokoh yang berpola pikir tetap (fixed mindset). Hal ini dikarenakan mereka lebih menekankan proses belajar dan peran ikhtiar daripada mengandalkan bakat dan kecerdasan (Dweck, 2006).
Istilah Islam Berkemajuan sendiri pertama kali disampaikan oleh KHA Dahlan yang mengatakan bahwa kita seyogyanya menjadi orang Islam yang berkemajuan. Makna berkemajuan di situ berarti : “selalu berpikir ke depan, visioner, selalu one step ahead dari kondisi sekarang” (Burhani, 2016 dalam Fanani, 2018).
“Islam berkemajuan” adalah tema Muktamar Muhammadiyah yang ke-47, sebagai jawaban atas berbagai tantangan masyarakat modern sekarang ini. Watak Islam itu universal melintasi dimensi ruang dan waktu serta dimensi gerak menuju ke depan. Namun, tetap mengakomodir watak positif nilai-nilai lokal, tradisional, dengan watak rahmatan lil ‘alamin, toleran, terbuka, (masyarakat) Islam berkemajuan bergerak menciptakan peradaban Islam yang maju.
Bahwa dalam menghadapi pekembangan zaman, lebih-lebih di abad modern, kepentingan untuk pembaharuan membumikan Islam sebagai agama yang berkemajuan (Din al-Hadlarah) menjadi komitmen utama gerakan-gerakan Islam reformis seperti Muhammadiyah (Nashir, 2014).
Lebih lanjut Haedar Nashir (2014) menjelaskan, kelahiran Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta, sebagai gerakan tajdid, bukan sekedar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih atau maqbulah dalam makna permurnian, tetapi sangat menonjol jiwa, pemikiran, dan praksis pembaharuannya. Selama ini sering dipahami terbatas atau bias, bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid hanya dimaknai pemurnian. Padahal sejatinya sejak awal kelahirannya Muhammadiyah itu mengembankan tajdid dalam makna pembaharuan yang luas, sehingga melahirkan reaktualisasi ajaran Islam dalam menghadapi perkembangan zaman.
Kartini dan KH Sholeh Darat
Menurut Ulum dan Mufarorah (2017), KH Sholeh Darat termasuk ulama yang tidak terikat dengan aliran-aliran dalam Islam. Beliau sangat menghargai aliran yang berkembang saat itu. Beliau lebih menekankan pada nilai-nilai pokok (substansi) Islam, dan bukan furu’iyah (cabang). KH Sholeh Darat memposisikan diri sebagai pendakwah yang santun, beliau berdakwah dengan bahasa yang mudah dipahami dan dicerna oleh kalangan awam dari semua golongan masyarakat. Tak heran apabila kemasan dakwahnya bisa diterima masyarakat secara luas, mulai dan kalangan rakyat kecil hingga keluarga priyayi atau bangsawan. Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan Kiai adalah Raden Ajeng Kartini.
Kebetulan pada masa itu KH Sholeh Darat memiliki agenda rutin mengisi ceramah keliling ke beberapa keluarga bangsawan di beberapa kabupaten pantai utara Jawa. Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak. Saat itu, sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama Raden Ayu yang lain dari balik hijab (tabir/tirai). KH Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok KH Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. Karena merasa tercerahkan. Betapa KH sholeh Darat mampu menerjemahkan sekaligus menafsirkan surat al-Fatihah secara gamblang hingga mudah dipahami orang awam.
Tak pelak, selepas pengajian, Kartini pun meminta tolong pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui KH Sholeh Darat. Kartini pun berkata : “Saya perlu menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Romo Kiai. Saya bersyukur yang sebesar-besarnya kepada Allah Swt. atas keberanian Romo Kiai menerjemahkan surah al-Fatihah kedalam bahasa Jawa sehingga mudah dipahami dan dihayati oleh masyarakat awam, seperti saya. Kiai lain tidak berani berbuat seperti itu, sebab kata mereka al-Qur’an tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa lain, atau bahasa Jawa”.
Lebih lanjut Kartini menjelaskan : “Selama ini surah al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kiai menjelaskannmya dalam bahasa Jawa yang saya pahami”.
Menurut Wafi (2020), KH Sholeh Darat sangat tawaduk. Ketika beliau diminta Kartini untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, dengan penuh ketawadukan beliau berkata tidak dapat menerjermahkan, sebab merasa tidak mampu dan bukan ahlinya. Namun, Kartini terus mendesak agar beliau berkenan memenuhi permintaannya. Akhirnya, beliau tidak kuasa menolak lagi karena melihat keinginan kuat Kartini untuk mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Sebab, Kartini selama ini tidak mengerti apa makna kalam Ilahi yang dibacanya.
Ketika Kartini bertanya kepada guru ngajinya, ia juga tidak mengerti. Guru ngajinya sering memarahinya karena Kartini bertanya arti sebuah ayat al-Qur’an. Tak heran, Kartini pernah beranggapan bahwa pelajaran agama sebatas ritual belaka tanpa ada makna yang bisa dipahami. Sehingga timbul statemen bahwa al-Qur’an terlalu suci untuk diterjermahkan. Dari peristiwa ini, Kartini mengalami sebuah pengalaman pahit, yang membuatnya enggan untuk mempelajari Islam dan mengamalkannya.
Dengan pertolongan Allah, KH Sholeh Darat memenuhi permintaan Kartini. Ditulislah sebuah kitab tafsir al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab Pegon yang berjudul “Faidh al-Rahman fi Terjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan”. Kartini telah menggugah kesadaran KH Sholeh Darat untuk melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa.
Menurut Ulum (2020), ketika Kartini bertanya kepada Syaikh Abdul Ghaffar alias Snock Hurgronje, ulama gadungan Belanda, “Kapan seorang perempuan itu dapat dikatakan baligh?” maka dengan kemunafikannya, Snock menjawab : “ Gadis Muslimah dianggap baligh jika sudah kawin”, Ya, gadis Jawa dianggap baligh jika sudah menikah. Suara itu terngiang-ngiang dalam telinga Kartini. Alangkah sakitnya hati Kartini bak disambar petir mendengar jawaban dari Syaikh Abdul Ghaffar.
Gadis ini termenung menyendiri. Air matanya meleleh. Ya Allah, mengapa Islam selalu memojokkan kaum wanita. Aku ingin mendapatkan ilmu sebagaimana kaum lelaki yang dapat merantau ke sana kemari membawa segudang ilmu untuk memajukan bangsanya. Kartini rela menunda pernikahannya demi bangsanya.
Ketika berusaha untuk memahami Islam dengan sebaik-baiknya, dengan memahami al-Qur’an, ternyata, guru ngajinya Kartini tidak mau menerjemahkan al-Qur’an disebabkan ulama mitra Belanda memanfaatkan ketidakbolehannya penerjemahan al-Qur’an. Kartini sungguh kecewa, ia berusaha untuk taat dalam menjalani agamanya. Ia menjalankan puasa, salat, ziarah kubur, dan mengerjakan amalan kebajikan lainnya, namun ajaran Islam yang sampai kepadanya selalu berbuah negatif, termasuk permaduan yang menyakitkan ibunya dan yang mendiskriminasikan kaum Hawa. Ia pernah mengalami keengganan dalam melaksanakan ibadah atau amalan yang diperintahkan kepadanya sehingga datanglah sebuah nasihat yang menyinari hatinya. Nasihat yang dapat menyinarinya dengan sebuah cahaya, yang terang benderang sebab sudah diliputi “cahaya” hitam pekat, melalui seorang tua atau kakek yang membawakan sekuntum bunga, serta dengan senang hati akan menjawab semua yang dimusykilkan Kartini seputar masalah agama Islam. Alangkah bahagianya Kartini. Selain itu, orang tua itu memberikan beberapa kitab bertuliskan Arab Pegon yang berisi tentang ajaran Islam. Ia kegirangan, seolah-olah belum pernah menikmati darajah kenikmatan ini. Ia bersyukur, bersyukur, dan bersyukur.
Nama KH Sholeh Darat tidak disebut dalam surat Kartini. Berbeda dengan Syaikh Abdul Ghaffare atau Snock, ulama gadungan yang bekerja untuk kepentingan Belanda. Ia pernah disebut dalam surat Kartini. Itulah Belanda yang selalu menjauhkan umat Islam dari ajarannya, terlebih melalui para elitnya yang kebanyakan masih trah para sunan dan ulama yang berkecimpung dalam dunia politik.
Cita-cita terbesar Kartini adalah mengabdi untuk bangsanya. Ia membebaskan bangsanya dari kungkungan penjajah dan memperjuangkan agar kaum Hawa mendapatkan pendidikan sebagaimana kaum Adam. Selama ini, ia menganggap bahwa alasan perempuan dilarang keluar rumah mencari sebuah pendidikan adalah dilarang Islam.
Kartini mulai sadar bahwa Islam yang selama ini dikenalnya tidaklah senegatif dengan apa yang dikatakan mereka yang mempunyai kepentingan merusak Islam, untuk menjauhkan kaumnya. Perempuan yang selama ini dianggap tidak diperbolehkan mendapatkan pengajaran sebagaimana kaum lelaki, ternyata tidak benar. Ia dapat menghadiri halaqah keilmuan seorang kiai yang diselenggarakan di kadipatennya maupun pendopo kadipaten kekuasaan pamannya, yaitu Raden Ario Hadiningrat.
Kebolehan seorang perempuan mengikuti pengajian ini, semakin memperkuat Kartini untuk mendirikan sebuah sekolah bagi bumi putera. Meskipun hanya lulusan Eoropese Lagere School, ia sudah dapat mengajar ilmu yang didapatkan selain dari sekolah dasar milik Belanda. Ia belajar ilmu dengan mengaji, menghadiri majelis KH Sholeh Darat, dan belajar sendiri melalui buku-buku kiriman kakaknya (Sosrokartono) atau sahabat penanya dari Eropa. Dengan bekal yang sederhana ini, ia dapat mengubah nasib bangsanya, terlebih pendidikan kaum perempuan. Ia mampu mengembalikan hak perempuan untuk mendapatkan pengajaran sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Islam tidak melarang perempuan untuk mendapatkan pengajaran sebagaimana laki-laki.
Hidup Kartini tidaklah lama. Umurnya tidak lebih dari 25 tahun. Ia wafat pada 17 September 1904. Namun pengaruhnya sungguh luar biasa, tidak hanya di negaranya, melainkan merambah sampai ke mancanegara. Semua itu terjadi ketika surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat penanya dipublikasikan oleh RM Abendanon pada tahun 1911 yang menerbitkan kumpulan surat Kartini “Door Duisternis tot Licht” – Habis Gelap Terbitlah Terang. Selain buku yang membuat kebangkitan emansipasi pendidikan bagi kaum Hawa, ada juga Kartini Fonds (1912) yang berdiri di beberapa wilayah Nusantara, terlebih Jawa.
Andaikata Kartini masih hidup di jaman now, tentu beliau sangat bangga, karena Bapak bisa jadi presiden, Ibu-pun bisa. Bapak jadi Ketua DPR , ternyata Ibu-pun bisa. Bapak jadi menteri, ibu pun bisa, dan seterusnya. Bapak bisa korupsi, ternyata Ibu pun bisa ?! Emansipasi ?!
Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari
Menurut Ulum dan Mufarohah (2017), di antara sekian banyak santri KH Sholeh Darat, ada dua nama santri yang cukup tersohor, yakni Hasyim dan Darwis. Hasyim berasal dari Jombang dan Darwis dari Yogyakarta. Mula-mula keduanya belajar di pesantren Bangkalan, Madura, asuhan KH Kholil, berbekal kecerdasan yang dimiliki kedua santri ini, mereka mampu “melahap” habis kitab-kitab yang diajarkan KH Kholil. Tak ayal, dalam waktu bersamaan, keduanya didelegasikan menuju Semarang untuk bertemu KH Sholeh Darat. Kala itu Darwis berusia 16 tahun, sedangkan Hasyim masih 14 tahun. Mereka berdua pun mondok selama dua tahun penuh kepada KH Sholeh Darat. Dua tahun terbilang waktu yang singkat, akan tetapi dua murid itu memang memiliki kepandaian di atas rata-rata.
Tak ayal, KH Sholeh Darat pun mengutus keduanya memperdalam dalam ilmu agama di Tanah Haramain. Keduanya memenuhi perintah KH Sholeh Darat untuk bertemu karibnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam Masjidil Haram. Melihat kepandaian keduanya Syekh Ahmad lantas menjadikan mereka sebagai murid kesayangan. Di Mekkah, Darwis lebih menyukai pelajaran sejarah dan pergerakan Islam, sedangkan Hasyim condong mendalami kajian hadist.
Darwis kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan, sepulangnya dari Mekkah dia merintis berdirinya pergerakan umat, yang pada akhirnya dikenal dengan Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta. Sedangkan Hasyim Asy’ari pulang ke Jombang, dibantu KH Romli mendirikan pesantren di daerah yang dulunya dijadikan sarang rampok dan maksiat, yakni Tebuireng. Pada tahun 1926, KH Hasyim, KH Wahab Hasbullah, KH Bisyri Syansuri, dan KH Faqih Maskumambang, bersama-sama mendirikan perkumpulan umat bernama Nahdlatul Ulama.
“Growth Mindset” KHA Dahlan dan Muhammadiyah
“Ada tiga jenis manusia : manusia jahat, manusia biasa, dan manusia baik. Manusia jahat,sejak bangun tidur sudah berniat dan berbuat jahat. Sementara manusia biasa, tidak ingin berbuat dosa dan kejahatan, namun bila ia kepergok dengan godaan dosa dan kejahatan, ia tidak bisa menghindarinya. Sedangkan manusia baik sejak bangun pagi sudah berniat dan berbuat baik, dan jika ia kepergok dengan godaan dosa dan kejahatan, ia mampu menghindarinya”.
(KH Ahmad Azhar Basyir, dalam buku “100 Wisdom of Muhammadiyah, Hikmah dan Mutiara Kata Muhammadiyah Sepanjang Masa”).
Menurut Djarnawi Hadikusuma (2014) dalam bukunya “Aliran Pembaruan Islam (Dari Jamaluddin al-Afgani hingga KH Ahmad Dahlan)”, menulis kemenangan Jepang atas Rusia di Port Arthur telah merupakan titik tolak kebangkitan bangsa Asia pada umumnya, di samping itu juga merupakan halilintar yang mengejutkan bangsa kulit putih yang selama beberapa abad menguasai serta unggul dalam segala lapangan.
Kemenangan Jepang sangat mencemaskan kaum imperialis, termasuk imperialis Belanda yang menjajah Indonesia. Pengaruh pembaharuran Jamaluddin dan Abduh bertambah meluas dan mengalir ke Indonesia di mana semangat nasionalisme mulai tumbuh dan berkembang, yang memang secara diam-diam telah dimilki oleh para terpelajar Indonesia dan para santri meskipun bentuk keduanya berlainan.
Maka pada tanggal 20 Mei 1908, seorang dokter di Yogyakarta bernama Wahidin Sudirohusodo mendirikan perkumpulan bernama “Boedi Oetomo” dengan tujuan mengarahkan semangat nasional bangsa Indonesia kepada perbaikan nasib. Perkumpulan ini bergerak dalam bidang sosial, pendidikan dan kebudayaan. Inilah mula pertama bangsa Indonesia membentuk organisasi.
Pada tahun 1911, di Surakarta, Mas Haji Samanhudi mendirikan perkumpulan “Sarekat Dagang Islam” (SDI) yang anggotanya para pengusaha batik. Tujuannya membela kepentingan pengusaha nasional pembatikan terhadap tekanan politik perekonomian pemerintah Hindia Belanda dan terhadap tindasan pedagang Tionghoa yang mendapat monopoli atas perdagangan bahan baku pembatikan. Terjadilah bentrokan dengan pedagang Tionghoa, akibatnya SDI dilarang oleh Residen Surakarta. Maka, pada tahun 1912 kedudukannya dipindah ke Surabaya dan berubah menjadi partai politik, yaitu Sarekat Islam (SI) dipimpin Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Anggotanya bertambah dan bersifat umum, dengan tujuan menentang politik kolonial Belanda dengan menggunakan dasar Agama Islam.
Di Yogyakarta, pada tahun 1911 pula, KHA Dahlan mendirikan sekolah agama dengan nama “Sekolah Muhammadiyah”, tidak diadakan di surau seperti biasanya madrasah pada waktu itu, tetapi di gedung dengan menggunakan meja dan papan tulis. Selain pelajaran agama yang diberikan dengan cara baru, juga diajarkan huruf latin dan ilmu umum (non agama) seperti berhitung, ilmu bumi, ilmu tubuh manusia, sebagaimana yang diajarkan sekolah pemerintah Belanda.
Sebelum mendirikan Muhammadiyah, terdorong oleh rasa kebangsaan dan keinginan mempelajari tata organisasi, KHA Dahlan memasuki perkumpulan Boedi Oetomo dan menjadi salah satu pengurusnya. Di situ beliau banyak mendapat ilmu dan pengalaman. Dan disitu pula selalu berbicara tentang agama Islam dan akhlak mulia. Setelah Partai SI yang berdiri di Yogyakarta beliau masuki dan aktif di dalamnya dan belajar persoalan politik. Dengan demikian, terjadi kerjasama yang rapi antara Muhammadiyah dan SI sampai beliau wafat 1926 sampai ketika partai itu melarang anggotanya memasuki Muhammadiyah, hasil politik pecah belah penjajah.
Jiwa pergerakan beliau terbukti sebagai anggota ke-770 perkumpulan Jami’ah Khair yang berdiri di Jakarta sejak tahun 1901 dengan diam-diam tanpa izin pemerintah Belanda. Baru 1905 diberi izin. Selain membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab, serta bergerak dalam bidang sosial, juga giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin di negara-negara Islam yang telah maju, seperti Turki, Mesir, dan lain-lainnya. Hubungan dilakukan dengan surat-menyurat, pertukaran majalah dan surat kabar. Bahkan, nasib bangsa Indonesia dan umat Islam khususnya yang sangat melarat dan tertindas sering muncul di majalah-majalah negara-negara tersebut, seperti Al-Manar di Mesir, yang pengarangnya anggota Jami’ah Khair.
Timbulnya gagasan untuk mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah adalah dorongan sebuah ayat firman Allah yang telah ditelaahnya benar-benar, yaitu surah Ali Imran [3) : 104, yaitu : Wal takun minkum ummatum yad’uuna ilal khairi wa ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna ‘anil munkari wa ulaaika humul muflihuun – Adakanlah di antara kamu segolongan umat yang menyuruh manusia kepada keutamaan dan menyuruh berbuat kebajikan serta mencegah berlakunya perbuatan yang munkar.
Pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H) dengan dibantu murid-muridnya dan para sahabatnya, didirikan sebuah perkumpulan dengan nama “Muhammadiyah”, tujuannya menghidupkan kembali ajaran Islam yang asli murni serta hidup sepanjang kemauan agama Islam, menjadikan ajaran Islam sebagai way of life dalam kehidupan individu dan masyarakat. Anggaran Dasarnya dinyatakan maksud dan tujuannya : 1) Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam dan kalangan sekutu-sekutunya, dan 2) Memajukan serta menggembirakan hidup sepanjang kemajuan agama Islam dalam kalangan sekutu-sekutunya.
Dengan demikian, sekaligus Muhammadiyah menyatakan bahwa agama Islam bukan semata-mata agama pribadi dalam hubungannya dengan Allah, tetapi Islam adalah a way of human life in all aspect – sistem kehidupan manusia dalam segala seginya.
Selain membuka sekolah, madrasah, mengadakan pengajian, dan tabligh-tabligh serta ceramah umum. Kemudian usaha organisasi ini berkembang dalam bidang sosial, seperti mendirikan panti asuhan, rumah penampungan orang miskin, balai pengobatan dan rumah sakit. Sudah tentu hal ini disambut gembira dan sangat bermanfaat bagi rakyat Indonesia yang pada umumnya akibat penjajahan, miskin, dan melarat.
Sejak berdirinya Muhammadiyah KHA Dahlan menyediakan rumah dan waktunya untuk pengajian kaum wanita di mana beliau sendiri yang mengajar dan kadang-kadang bergantian dengan isterinya yang juga mendalam ilmu agamanya. Wanita pada waktu itu tidak dibenarkan keluar rumah dan harus tinggal di kamar atau dapur, oleh KHA Dahlan diubah secara berangsur-angsur. Beliau sendiri menemui kaum bapak meminta agar mereka mengizinkan isteri dan puteri-puterinya ke luar rumah untuk mengaji. Dengan dibantu isteri dan murid-muridnya itulah KHA Dahlan pada tahun 1917 mendirikan organisasi wanita dengan Aisyiyah sebagai bagian dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Sifat organisasi itu ialah pembinaan dan pemeliharaan sesuai dengan ajaran Islam bahwa setiap Muslim berkewajiban mendidik dan memelihara agama dan akhlak seluruh keluarganya, terutama wanitanya, dan yang menegaskan hak-hak wanita beserta kewajibannya yang terpisah dari kaum pria. Artinya, wanita sendirilah yang nantinya mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Allah, tidak membonceng suaminya. Demikian pula kaum wanita mempunyai hak untuk memperoleh kemajuan dan memajukan dirinya, dengan cara-cara yang baik serta dengan mengatur organisasi. Maka dapatlah dikatakan bahwa berdirinya Aisyiyah menjadi pelopor kebangkitan wanita Islam.
Islam yang dahulu berjaya mulai pertengahan abad ke-19 mengalami malapetaka akibat kolonialisme Barat. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kebodohan dari umat Islam sendiri. Menurut Abduh (1903) dalam buku “Tafsir Surah Wal’ashri”, kalau kita selidiki kemunduran umat Islam sekarang, jauh terbelakang dalam lapangan ilmu pengetahuan teknik dari bangsa-bangsa lain yang sudah maju, maka sebabnya tidak lain karena sudah tipisnya sifat kesabaran dan keuletan. Mereka kalau sudah tahu satu bab, lantas segan buat mempelajari bab-bab yang lain. Mereka tidak mau menambah dan memperdalam pengetahuan lebih lanjut. Tapi mereka sudah merasa enak tidur-tidur di atas kasur taqlid yang empuk dengan tidak usah bersusah payah memeras otak. Untuk menghibur dirinya karena kemalasannya itu, mereka menyanjung-nyanjung leluhurnya. Kalau mereka betul-betul menghargai jasa-jasa nenek moyang, tentu mereka akan mengambil contoh usaha-usaha nenek moyang itu, akan meniru jejak langkah mereka, tentu mereka akan berusaha keras sebagaimana nenek moyangnya dan mereka akan berkeyakinan sebagaimana leluhurnya, bahwa mereka semua bukanlah orang-orang yang maksum, yang tidak bisa luput dari kesalahan atau tidak bisa diganggu gugat.
Kalaupun di antara mereka ada yang bisa lanjut dalam pelajarannya, mereka segan dan malas dalam mengajarkannya kepada orang lain. Mereka tidak ada ketabahan dalam mengembangkan ilmunya di kalangan masyarakat. Malahan baru saja mereka mendapat tantangan sudah bertekuk lutut dan nasib masyarakat diserahkan kepada Tuhan.
Ada pula santri yang baru belajar satu dua tahun, karena menghadapi kesulitan-kesulitan sudah meninggalkan pelajarannya, atau menganggap remeh, atau orang tuanya merasa berat atau bosan membelanjai uang sekolah anaknya.
Menurut pendapatnya uang sekolah anaknya itu lebih baik digunakan untuk menambah modal usahanya, maka si anak menjadi terputus sekolahnya, jadi bodoh. Semua ini tipisnya kesabaran.
Si bakhil yang terlalu kikir, tetapi selalu berusaha menumpuk-numpuk dan menimbun-nimbun. Jalan untuk berbuat jasa dan budi terbuka luas dihadapannya, tapi tidak sesenpun tak mau ia mendermakan uangnya. Ia tidak peduli bahwa kekikirannya itu akan sangat menghambat usaha-usaha negara dan agamanya.
Tidak ada belas kasihan dalam hatinya terhadap sesamanya, biar masyarakat menderita, biar rakyat lapar dan miskin. Ini kalau kita selidiki sebabnya, tidak lain karena ia takut jatuh miskin.
Gejala ini disebabkan ketipisan sifat kesabarannya. Kalau ia sabar, tidak takut melawan momok kemiskinan yang selalu membayang di hadapannya, yang selalu menakut-nakutinya jatuh miskin, niscaya ia tidak akan kena penyakit bakhil.
Itu orang pemboros yang menghabiskan uangnya di atas meja perjudian, buat pemabukan dan pelacuran, yang selalu ingin menuruti hawa nafsunya saja, sampai begitu buruk ekonominya, sesudah kaya jadi miskin, sesudah terhormat jadi hina, maka sebabnya tidak lain karena tipisnya sifat kesabarannya, tidak tahan melawan nafsunya. Kalau dia sabar dan tahan dalam menentang segala tantangan itu, tidaklah akan habis harta bendanya dan tidak akan seburuk itu keadaannya.
Begitulah kalau kita selidiki satu persatu semua gejala-gejala kemerosotan akhlak itu, akan kita temui sebab-sebabnya yang pokok, tidak lain karena tipisnya sifat kesabaran, atau karena hilang sama sekali sifat kesabaran itu.
Dan kalau kita selidiki pula semua akhlak-akhlak yang murni, dan kita cari dari mana asal sumbernya, maka sumbernya tidak lain adalah dari kesabaran, tabah dan ulet. Karenanya apakah tidak pantas kalau kesabaram itu disebutkan secara khusus dalam surah Wal’ashri ini?
Menurut Ma’arif (1993, dalam Suwarno, 2006) mengemukakan empat tipologi kategori intelektual pembaru Islam. Pertama, kelompok modernis dan penerusnya (disebut kelompok muslim neomodernis), seperti : Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, H Agus Salim, Muhammad Natsir, HAMKA, Muhammad Azad, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, dan sebagainya. Ciri utama kelompok ini ialah membela prinsip ijtihad sebagai “metode utama untuk meretas kebekuan berpikir umat Islam”. Tidak menolak tradisi, tetapi berupaya disikapi dengan kritis merujuk pada al-Qur’an. Sikap mereka terhadap Barat atau kehidupan modern adalah selektif dan kritis.
Kedua, kelompok neotradisional dengan kecenderungan sufisme yang kental dengan filsafat. Kelompok ini mulai muncul setelah Perang Dunia kedua berakhir, antara lain : Fritjoff Schuon, Hossein Nasr, Roger Garaudy, Martin Lings, Hamid Algar dan Muhammad Naquib Al-Attas. Pandangan kelompok kedua ini hampir mirip dengan kelompok pertama, hanya lebih memfokus pada filsafat dan sufisme (metafisika) serta cenderung mengabaikan kaitan agama dengan politik.
Ketiga, kelompok yang serba eksklusif Islam yang menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Kelompok ini sangat anti-Barat dan hendak menawarkan Islam yang dipandang belum tercemar oleh peradaban lain. Tokoh-tokohnya antara lain : Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthb dan sampai batas tertentu Ayatullah Khomeini, bapak spiritual Revolusi Iran.
Keempat, kelompok modernis sekularis muslim. Tokoh-tokohnya antara lain : Kemal Pasha Attaturk, Bassam Tibi, Abdullah Laroni, Sukarno dan lain-lain. Diberi atribut sekularis, karena kelompok ini membatasi diri pada hubungan Islam dengan politik. Kelompok ini secara terang-terangan berpendapat perlunya pemisahan antara agama dengan politik. Sayangnya dari keempat kategori ini, KHA Dahlan tidak dimasukkan ke dalam salah satu kategori yang ada.
Kemudian mengenai pertanyaan apakah Muhammadiyah termasuk gerakan fundamentalis, ortodoks yang reformis atau modernis, dapatlah ditarik jalan tengah bahwa Muhammadiyah mengandung unsur-unsur dari ketiga gerakan tersebut, namun unsur yang paling menonjol dalam Muhammadiyah adalah sebagai gerakan modernis Islam. KHA Dahlan dan Muhammadiyah pada periode awal, dipandang dari latar belakang sosiokulturalnya mengesankan sebagai tokoh yang termasuk ortodoks reformis dan atau fundamentalis. Tetapi perkembangan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, lebih condong untuk dinamakan sebagai gerakan modernis Islam.
Menurut Kuntowijayo (2000 dan Chamamah Soeratno et al, 2009) mengungkapkan bahwa pada waktu itu KHA Dahlan dihadapkan dengan tiga persoalan pokok masyarakat, yaitu modernisme, tradisionalisme dan Jawaisme. Persoalan modernisme telah dijawab oleh beliau dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam yang mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dengan ilmu agama. Pendidikan dijadikan sasaran prioritas beliau karena melalui lembaga tersebut sangat dimungkinkan terjadinya proses tranformasi kebudayaan kepada anak didik.
Sebagai jawaban atas persoalan tradisionalisme masyarakat KHA Dahlan melakukan tabligh. Kegiatan tabligh yang dilakukan beliau waktu itu telah melawan arus besar mainstream budaya tabligh pada umumnya. Dengan mengedepankan motif pembaharuan dan semangat berkemajuan, tabligh beliau justru dilakukan dengan mendatangi murid-muridnya. Padahal, tindakan demikian (guru mendatangi murid) merupakan suatu “aib sosial” dalam pandangan yang berkembang di masyarakat. Namun KHA Dahlan tidak menghiraukan pandangan masyarakat tersebut. Bahkan tidak hanya mendatangi murid-murid, KHA Dahlan juga mengantar murid-muridnya pergi berekreasi ke Sri Wedari, Solo. Dalam hal ini, KHA Dahlan justru mengubah posisinya dari ulama menjadi guru yang dekat dengan murid-muridnya. Karena beliau ingin melakukan proses demitologi posisi ulama yang pada masa itu sulit dijangkau oleh masyarakat umum. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan ulama di zaman tradisional (klasik) hanya bisa “disentuh” oleh orang-orang tertentu, seperti para santri dan mereka golongan ningrat yang dekat dengannya.
Adalah kecenderungan umum para ulama memiliki tradisi oral (lisan) dalam menyampaikan dakwah. Beliau mengubah tradisi lisan menjadi budaya tulis-menulis. Langkah perubahan ini dapat dilihat melalui usaha KhA Dahlan saat mendirikan Majalah berbahasa Jawa, Suwara Muhammadiyah. Majalah ini didirikan pada tahun 1915, selang tiga tahun setelah beliau mendirikan Muhammadiyah. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa edisi kedua majalah tersebut telah terbit pada tahun 1913. Dikatakan bahwa majalah terbitan tahun 1913 tersebut ditemukan oleh Kuntowijoyo di Leiden, Belanda.
Adapun dalam rangka menghadapi Jawaisme, KHA Dahlan justru menggunakan metode positive action (dengan selalu mengedepankan amar ma’ruf) dan bukannya menyerang tradisi serta kepercayaan Jawaisme (nahi munkar). Prinsip dakwah yang penuh dengan kesahajaan dan kelembutan terhadap kepercayaan masyarakat Jawa telah menjadikan KHA Dahlan sebagai sosok yang cukup disegani. Pada waktu itu, beliau benar-benar toleran dengan Jawaisme yang berkembang ditengah-tengah kepercayaan masyarakat luas. Dalam konteks kontemporer, metode dakwah yang diterapkan oleh KHA Dahlan itu merupakan salah satu bentuk dari dakwah kultural. Sebagai sebuah metode, dakwah kultural yang dikedepankan oleh KHA Dahlan itu ditunjukkan dengan sikap akomodatifnya terhadap tradisi Jawaisme.
Hanya saja, metode kultural yang selalu dikedepankan oleh KHA Dahlan tersebut lambat laun berlaku surut. Sekilas nampak adanya keterputusan sejarah antara generasi awal Muhammadiyah dengan apa yang terjadi sekarang. Hal ini dapat dilihat secara langsung berdasarkan kecenderungan sebagaian warga Muhammadiyah yang tidak toleran terhadap tradisi lokal. Kebiasaan sebagian warga Muhammadiyah yang selalu terburu-buru dalam memberikan justifikasi bid’ah, khurafat, dan syirik terhadap tradisi budaya lokal sesungguhnya sangat berseberangan dengan metode positive action yang digunakan oleh KHA Dahlan.
Secara praksis apa yang dilakukan Muhammadiyah di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan lain-lain selama satu abad menunjukkan usaha-usaha mewujudkan Islam Berkemajuan (Nashir, 2018).
Islam Berkemajuan
Bagi Muhammadiyah Islam merupakan nilai utama sebagai fondasi dan pusat inspirasi yang menyatu dalam seluruh denyut-nadi gerakan. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam sebagai risalah yang dibawa para Nabi hingga Nabi akhir zaman Muhammad Saw. adalah agama Allah yang lengkap dan sempurna. Islam selain mengandung ajaran berupa perintah-perintah dan larangan-larangan tetapi juga petunjuk-petunjuk untuk keselamatan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kemajuan untuk mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan (Nashir, 2018).
Menurut Haedar Nashir (2018) dalam bukunya : “Kuliah Kemuhammadiyahan”, ajaran Islam tentang kemajuan tersebar dalam berbagai ayat al-Qur’an maupun Hadis Nabi, sehingga Islam disebut agama yang berkemajuan (din al-hadlarah). Islam memerintahkan umatnya untuk iqra (QS al-‘Alaq {96] : 1 – 5), yang menjadi ayat dan surat pertama diturunkannya al-Qur’an dan Wahyu kepada Nabi akhir zaman, Muhammad Saw. Islam mengandung pesan imperatif untuk membangun tatanan kehidupan yang adil (QS al-Araf [7] : 29), makmur (QS Hud [11] : 61), sejahtera (QS an-Nisa {4] : 19) persaudaraan (QS al-Hujarat [49] : 10), tolong-menolong (QS al-Maidah [5] : 2), kebaikan (QS al-Qashas [28] : 77), terbangunnya hubungan baik pemimpin dan warga (QS an-Nisa [4] : 57 – 58), terjaminnya keselamatan umum (QS at-Taubah [9] : 128), hidup berdampingan dengan baik dan damai (QS al-Imran [3] :101, 104 dan al-Qashas [28] : 77), tidak adanya kezaliman (QS al-Furqan [25] : 19), tidak ada kerusakan atau fasad fi al-ardl (QS al-Baqarah [2] :11), dan terciptanya umat terbaik atau khairu ummah (QS Ali-Imran [3] : 110), sehingga secara keseluruhan terwujud baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (QS Saba [34] : 15).
Islam mengajarkan agar manusia mengurus dunia dan menjadikannya sebagai majra’at al-akhirat atau ladang akhirat. Islam memerintahkan untuk merencanakan masa depan sebagai bagian tidak terpisahkan dari bertakwa (QS al-Hasyr [59] : 18), bahkan umat diperintahkan untuk melakukan perubahan nasib dengan ikhtiar sebab “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya” (QS ar-Ra’d [13] : 11). Muslim tidak boleh melupakan dunia, sebaliknya mengurus untuk meraih kebahagian abadi di akhirat dengan melakukan perbuatan ihsan dan tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi (QS al-Qashash [28] : 77).
Dengan kekuatan yang dimilikinya maka umat Islam harus menjadi umat yang benar-benar bertakwa (QS Ali Imran [3] : 102), bersatu dan tidak terpecah-belah (QS Ali Imran [3] : 103), menjadi pelaku dakwah yad’u ila al-khyr, amar makruf dan nahi mungkar (QS Ali Imran [3] : 104) menjadi umat terbaik (QS Ali Imran [3] : 110), membangun hablumminalalh dan habluminannas yang baik (QS Ali Imran [3] : 112), tanpa melupakan hablumminafsihi (QS at-Tahrim [66] : 6) serta hablumminal’alam (QS al-Baqarah [2] : 11 dan QS al-Qashash [28] : 77), ber-fastabiq al-khairat atau mampu bersaing dengan golongan manapun (QS Ali Imran [3] : 115), menjadi khalifah fi al-ardl (QS al-Baqarah [2] : 30), dan menjadi rahmatan lil-‘alamin (QS al-Anbiya [21] : 107), sehingga mampu hidup sejahtera di dunia dan di akhirat (QS al-Baqarah [2] : 201).
Nabi Muhammad Saw. bersama kaum Muslim berhasil mewujudkan kemajuan peradaban, sehingga terbangun al-Madinah al-Munawwarah, suatu kota peradaban yang cerah-mencerahkan. Nabi berhasil membangun fondasi peradaban Islam selama 23 tahun dengan penuh dinamika perubahan dan kemajuan, yang dilanjutkan oleh empat khalifah utama. Setelah itu peradaban Islam meluas dan Islam menjadi agama peradaban dunia selama sekitar lima abad lamanya. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan mencapai puncaknya ketika Barat saat itu tertidur lelap. Terbentuknya peradaban Islam yang utama itu tidak lepas dari spirit ijtihad dan tajdid yang menyatu dalam kehidupan umat Islam, yang spirit utamanya Islam Berkemajuan.
Nabi sendiri melalui sebuah Hadis memberikan perspektif, bahwa pada setiap kehadiran abad baru datang mujadid yang akan memperbarui paham agama. Maknanya bahwa pada setiap babakan sejarah yang penting dan krusial selalu dibutuhkan pembaruan sehingga Islam mampu menjawab tantangan zaman. Islam dan umat Islam tidak boleh jumud atau statis, sebaliknya harus dinamis dan progresif. Itulah spirit dan pandangan Islam yang berkemajuan sebagai tonggak peradaban.
Dari sejumlah ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang dipaparkan tersebut tampak jelas hakikat Islam sebagai agama yang menanamkan nilai-nilai kemajuan bagi umat manusia. Karenanya menjadi Muslim dan umat Islam semestinya mempunyai spirit, etos, pemikiran, sikap, dan tindakan yang berwawasan kemajuan. Dengan Islam yang berkemajuan maka umat Islam akan melahirkan peradaban yang menyinari dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Menurut Carol S Dweck (2006), dalam bukunya : Mindset : The New Psychology of Succes yang diterjemahkan dengan judul Mindset, bahwa semangat untuk mengembangkan diri dan tetap melakukannya, sekalipun (atau khususnya) ketika keadaan tidak berjalan dengan baik, merupakan tanda mindset tumbuh. Mindset inilah yang memungkinkan orang-orang untuk berkembang ketika mengalami masa-masa paling menantang dalam hidup mereka.
“Pengalaman adalah guru yang terbaik”, demikian kata pepatah. Namun, belajar dari pengalaman orang lain juga tidak kalah baik. Belajar adalah kewajiban setiap insan Muslim bahkan Islam memerintahkan agar manusia senantiasa mencari ilmu dari lahir hingga akhir hayat. Ilmu yang didapat akan menjadikan manusia menjadi mahluk berakal budi, sehingga manusia menjadi manusia yang berperilaku manusiawi, bukan hewani. Ilmu akan mengangkat derajat manusia yang beriman lebih tinggi.
Akhirnya, Doa belajar yang diajarkan Rasulullah Saw. adalah : “Radhiitu billahi rabba,wa bil Islami diina, wa bi Muhammadin-nabiyya wa rasula – Aku ridho Allah Swt. sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, an Nass’i dan al Hakim). Setelah doa tersebut dapat ditambahkan dengan doa berikut : “Rabbi zidnii ‘ilma warzuqni fahma – Ya Allah tambahkanlah kepadaku ilmu dan berikanlah aku pemahaman yang baik”.
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul