Undang-Undang yang Baik dan Pro Rakyat
Oleh: Immawan Wahyudi
Diberitakan oleh harian ini bahwa Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin mengatakan agar DPR RI dalam periode sekarang ini tidak terlalu banyak menghasilkan produk legislasi. Hal ini terkait dengan rencana Presiden Joko Widodo yang akan menciptakan omnibus law. Aziz Syamsuddin menegaskan bahwa kebijakan omnibus law ditempuh agar produk perundangan-undangan lebih mementingkan undang-undang yang berkualitas. (KR, 1 November 2019, hal. 1).
Apa yang dinyatakan oleh Wakil Ketua DPR RI ini sebagai undang-undang yang berkualitas sudah seharusnya memedomani Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo dihadapan DPR RI pada tanggal 16 Agustus 2019, sebagaimana kita ikuti siarannya oleh beberapa Stasiun TV. Menurut Presiden Joko Widodo produk perundang-undangan harus memperhatikan dua hal yakni : menjamin perlindungan bagi warga negara dan menjamin kesejahteraan warga negara.
Apa yang dipidatokan Presiden Joko Widodo adalah gambaran kondisi ideal hukum yang harus diwujudkan oleh Pemerintah bersama DPR RI. Keharusan ini menyangkut dasar filosofis peraturan perundang-undangan sudah –yang disamping harus memperhatikan norma-norma hukum, pada sisi lain produk hukum seharusnya dapat menjadi instrumen agar terselenggara pengelolaan negara secara baik dan benar, terutama empat tujuan negara yang termaktub ddalam Pembukaan UUD 1945. Dengan dua kandungan produk perundangan sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo ini secara fungsional dapat menempatkan warga negara dalam posisi yang pas, baik dalam memperoleh hak-hak dasarnya maupun dalam menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.
Perlu kiranya untuk menjadi perhatian kita bersama agar masyarakat mengetahui dan dapat menilai bagaimana seharusnya produk perundangan-undangan yang baik. Pertama, secara legal formal dapat kita baca dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 5 bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Disamping itu terdapat pula teori yang terkait dengan kriteria produk hukum yang misalnya ada teori delapan prinsip legalitas dari Lon Fuller : 1) Harus ada peraturan lebih dahulu, 2) Peraturan harus diumumkan, 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut, 4) Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat, 5) Tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin untuk dilakukan, 6) Tidak boleh ada pertentangan peraturan satu peraturan dengan peraturan lain, 7) Peraturan harus berlaku lama dan tidak boleh sering berganti, dan 8) Harus ada kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dengan peraturan yang telah dibuat.
Namun sesungguhnya tidak semua produk hukum berupa undang-ndang ataupun bentuk lainnya selalu dalam kualitas iddeal secara normatif-teoretik. Dalam kaitan ini terdapat gambaran kriteria delapan karakter kegagalan hukum, sebagaimana diteorikan oleh Satjipto Rahardjo, karena menurut penulis, dewasa ini semua jenis kegagalan hukum tersebut telah terjadi. Menurut Satjipto, Hukum dituntut untuk selalu mampu memenuhi ukuran moral tertentu. Sebab itu hukum tidak layak disebut sebagai hukum apabila ia memperlihatkan kegagalan-kegagalan sebagai berikut :
- Kegagalan untuk mengeluarkan aturan (to achief rules). Suatu sistem hukum harus mengandung aturan-aturan artinya ia tidak boleh memuat putusan-putusan yang hanya bersifat ad hoc;
- Kegagalan untuk mengumumkan aturan tersebut kepada publik (to publicize). Aturan yang telah dibuat harus diumumkan;
- Kegagalan karena menyalahgunakan perundang-undangan yang berlaku surut (retroactive legislation). Tidak boleh ada aturan yang berlaku surut, oleh karena aturan seperti itu tidak dapat dipakai sebagai pedoman tingkah laku. Membolehkan aturan berlaku surut akan merusak integritas aturan yang ditujukan untuk berlaku pada waktu yang akan datang;
- Kegagalan membuat aturan yang mudah dimengerti (understandable). Aturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti;
- Kegagalan karena membuat aturan-aturan yang saling bertentangan (contradictory rules). Suatu system tidak boleh mengandung aturan yang bertentangan satu sama lain;
- Kegagalan karena menuntut dilakukannya perilaku diluar kemampuan orang yang diatur (beyond the powers of the affected). Aturan-aturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
- Kegagalan karena sering melakukan perubahan. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah aturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi; dan
- Kegagalan untuk menyerasikan aturan dengan praktik penerapannya. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. (Satjipto Rahardjo: 2022, hal. 61)
Hal yang terpenting dari suatu produk hukum berupa peraturan perundang-undangan adalah apakah peraturan tersebut benar-benar mendasarkan pada konsideran berupa alasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Bukan tidak mungkin bahwa norma atau isi dalam pasal-pasal peraturan justru tidak mendasarkan terhadap alasan filosofis, sosiologis dan yuridis.
Sebagai contoh, masyarakat dihebohkan oleh pembentukan undang-undang cipta kerja. Masyarakat secara luas, para akademisi, pengamat, pelaku usaha dan juga para pekerja informal telah demikian keras memberikan respon negatif pada saat rencana undang-undang tersebut dibahas. Namun, seperti kejar tayang, RUU tersebut disahkan. Namun Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Cipta Kerja tersebut. Sayangnya masih diberi kesempatan untuk disemurnakan dalam waktu dua tahun.
Akhirnya harus kita jaga kesadaran bersama, agar DPR sebagaii lembaga politik yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, Anggota-anggotanya terus menerus menyadari bahwa keberadaan mereka di lembaga sangat terhormat itu melalui proses demokrasi (dipilih oleh rakyat) dan dengan tujuan menjadi wakil rakyat.
Immawan Wahyudi, Dosen Tetap FH UAD, Dosen Tidak Tetap FH UII Pengampu MK Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.