Muhammadiyah Pengendali Mizan Sosial
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Transformasi kebudayaan atau (sebut saja) proses “hijrah” nilai-nilai dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bukanlah tema yang disadari, diniati dan didisain atau diijtihadi secara sungguh-sungguh oleh mereka yang dibayar untuk bertanggung jawab terhadapnya, yakni Pemerintah. Sebab orang-orang di dalamnya memiliki konsentrasi yang lebih lokal, parsial dan subyektif, terutama untuk keperluan pribadi, keluarga dan kelompoknya masing-masing — jauh dari gagasan yang orisinal mengenai eksistensi Negara dan keharusan institusi yang disebut pemerintah.
Tetapi Indonesia hidup terutama karena ketangguhan rakyatnya dan kreativitas lembaga-lembaga sosial yang hidup sangat kreatif di dalamnya. Lembaga yang saya maksud adalah satuan-satuan enerji aktivisme hidup, dari wilayah ekonomi sampai kebudayaan, spiritual dan apapun saja. Muhammadiyah adalah salah satu institusi sejarah yang besar yang bersama semua individu rakyat dan lembaga-lembaga sosialnya menjadi tulang punggung dan poros baja kendaraan eksistensi Indonesia. Boleh dikatakan rakyat Indonesia dan Muhammadiyah bisa hidup tanpa ada Negara Republik Indonesia, sementara NKRI tak punya kemungkinan untuk ada dan kekuatan untuk hidup jika tak ada rakyat Indonesia, Muhammadiyah dan sesama “swasta” lainnya.
Hanya saja, posisi itu kurang benar-benar disadari oleh Muhammadiyah dan oleh rakyat Indonesia pada umumnya. Sehingga di dalam majlis-majlis kepemimpinan Muhammadiyah kurang tampak inisiatif-inisiatif untuk lebih matang mendisain peran-peran nasionalnya. Sebagaimana konteks yang lebih eksternal: “Indonesia bisa hidup tanpa yang non-Indonesia. Dunia butuh Indonesia, bukan Indonesia yang butuh dunia”.
Dengan demikian, dalam ijtihad pemikiran dan tajdid sikap yang lahir dari Muhammadiyah boleh saja muncul, misalnya, sejumlah pertanyaan: “Kenapa kok tiba-tiba kita bikin Negara Indonesia? Itu dulu karena Bapak-Bapak kita memang berniat bikin Negara, ataukah merespon momentum kemerdekaan untuk secepat mungkin diproklamasikan sesudah Nagasaki Hiroshima dibom Amerika, sementara sebenarnya belum ada perdebatan atau rembug yang matang apakah bentuk Negara adalah satu-satunya alternatif? Mungkin ada yang berpikir meneruskan Kerajaan dan memperbaiki sejumlah prinsipnya?
Atau tak usah Negara tak usah Kerajaan, “small is beautifull” saja, satuan kecil-kecil masyarakat di sana sini yang punya MOU untuk saling melindungi di tengah masing-masing bikin ‘Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur”? Atau kita teliti lebih seksama dulu Rasulullah SAW itu hidup dalam system dan formula Negara atau Komunitas Sipil saja? Atau dekat-dekat sajalah, pilih transformasi budaya seperti Brunei, Malaysia, Thailand, Inggris, Spanyol, Jerman dll, bukan seperti sekarang ini: Kita sibuk membuang masa silam dan tidak pernah berhasil meraih masa depan…”
Di tengah situasi seperti itu kita juga melihat gejala yang cukup serius. Kita saksikan bhwa interval antara radikalisme dengan liberalisme, atau idiomatik sosial dan stigma kebudayaan apapun, sesungguhnya terjadi pada semua satuan sosial. Ummat Islam, Ummat Kristiani dan agama-agama lain, atau semua satuan yang tidak berkonteks Agama, sesungguhnya memang sedang asyik-asyiknya berpolarisasi, bahkan multipolar di sejumlah hal.
Dari yang paling berpikir sempit dan dangkal hingga yang berpikir terlalu luas tanpa batas. Dari yang ultra-konservatif hingga yang berpikir manusia adalah segala-galanya sehingga boleh berbuat apa saja. Polarisasi itu tampak formal pada sejumlah gejala kasat mata dan simbolik, tapi juga berlangsung secara Kristal di berbagai wilayah, sehingga banyak kumpulan-kumpulan manusia yang merasa satu hati satu pikiran tapi sesungguhnya mereka diam-diam terbelah di antara dua kutub ekstrem.
Muhammadiyah berada pada posisi yang ideal untuk menjadi poros penyeimbang dari seluruh kecenderungan itu. Muhammadiyah berada pada titik koordinat sejarah yang sangat strategis untuk memegang kendali “mizan” sosial. Muhammadiyah bisa aktif memoderasi berbagai kecenderungan, bisa mengakomodasi situasi antara yang sempit dengan yang terlalu luas, antara yang padat dengan yang bukan hanya cair tapi uap, antara yang sangat langit dengan yang terlalu menancap ke bumi, atau antara apapun saja yang dewasa ini saling berada pada tegangan-tegangan sejarah yang kalau tidak dimaintain bisa akan menimbulkan bukan hanya letusan-letusan kecil seperti selama ini sering terjadi, tapi juga ledakan-ledakan besar.
Dalam hal ini ada baiknya Muhammadiyah “jangan terlalu tenang” dan menyangka semua akan “baik-baik saja” di Negeri ini. Majlis Ilmu Muhammadiyah diperlukan oleh masyarakat Indonesia untuk secara simultan menyebar panduan-panduan langkah dalam menjalani sejarah. Termasuk dalam memahai kepemimpinan dalam Muhammadiyah sendiri.
Saya juga yakin Muhammadiyah lebih dari “sekedar” Gerakan Kebudayaan, ia adalah Gerakan Sosial. Kebudayaan itu “output”. Ia munculan-munculan perilaku pada kehidupan masyarakat. Ia selalu berubah dan berkembang. Dari perspektif lain bisa kita temukan kebudayaan itu sangat relatif dan inkonsisten. Sedangkan Muhammadiyah didirikan dengan akar “kepastian-kepastian” nilai tertentu dan eksistensinya berbanding lurus dengan konsistensi Muhammadiyah terhadap kepastian-kepastian itu. Kalau Muhammadiyah melanggar “TBC”, maka batal dengan sendirinya keMuhammadiyahannya, bahkan “najis” bagi prinsip dan ideologi Muhammadiyah itu sendiri, meskipun secara organisasional Muhammadiyah “berhak” mengandung kekurang-waspadaan terhadap kemungkinan itu terjadi di salah satu bagian dari tubuhnya yang besar dan luas.
Maka besar cita-cita dan keyakinan saya bahwa Muhammadiyah adalah Gerakan Sosial dengan peran yang jauh lebih mendasar, luas dan dalam, di dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Negeri ini. Secara sosiologis, tidak masuk akal kalau tidak ada suatu era di mana Republik ini dipimpin oleh seseorang yang kelahiran dan pendidikan sejarahnya dari kawah Muhammadiyah. Indonesia tidak “berkewajiban” untuk terus menerus dipimpin oleh tokoh yang asal usul sosiologisnya “liar” dan tak menentu sebagaimana organisasi besar seperti Muhammadiyah yang sanggup menyediakan proses pengkaderan kepemimpinan yang lebih tertata dasar nilai-nilainya, terkelola pelatihan sosialnya serta terkontrol tradisi budayanya. Suatu saat Muhammadiyah harus tampil di Indonesia untuk mengakhiri kebiasaan hadirnya pemimpin yang “antah berantah” seperti selama ini.
Sebab Muhammadiyah adalah Gerakan Sosial. Ia bukan identifikasi output-output dalam sejarah. Ia juga bahkan sangat mengutamakan input-input. Gerakan Kebudayaan adalah dinamika kreativitas manusia, personal maupun kolektif. Sedangkan Gerakan Sosial lebih luas dari itu karena ia juga mengakomodasi bahkan mendasari langkahnya dengan input-input dari “kreativitas Tuhan”. Gerakan Sosial Muhammadiyah bahkan berpijak pada antara lain pemaknaan Surah “Al-Ma’un”, berangkat dari pemaknaan, penghikmahan dan pengarifan terhadap firman-firman Allah dan sunnah Rasulullah. Gerakan Kebudayaan itu “mengarang” sendiri, sedangkan Gerakan Sosial membuka ruang untuk justru memperkaya sejarahnya dengan “karya” Allah. Gerakan Kebudayaan mungkin bersentuhan dengan output fiqh Agama, tapi Gerakan Sosial Muhammadiyah sejak awal “berakad nikah” dengan Aqidah, Tauhid, Ilmu, Teologi dan Teosofi, bahkan sampai detail pada Ushulul Fiqh dan keluaran Fiqh.
Gerakan Kebudayaan berporos dan bangga pada kemerdekaan manusia, egalitarianisme perilaku dan demokrasi sistem. Muhammadiyah tahu bahwa manusia tidak akan pernah sanggup mengandalkan hanya dirinya sendiri, maka ia bernama Muhammadiyah. Muhammadiyah saya artikan sebagai kebersamaan orang-orang yang mencitacitakan dirinya berwatak Muhammad (Rasulullah SAW), berkepribadian Muhammad, berakhlaq Muhammad, dengan kecerdasan dan komprehensi strategi kepemimpinan Muhammad, berakal bermental berjiwa berhati Muhammad.
Manusia teragung selama ada kehidupan dunia ini berdiri, berlaku dan berperilaku merangkum seluruh fungsi kekhalifahan. Ia berperan kultural, ia memimpin pengelolaan politik tanpa jabatan, ia pendekar kanuragan dan khusyu rohaniah, ia profesional dalam periekonomi sampai digelari “Al-Amin”, trusted. Seluruh pekerjaan yang di masa modern dibagi-bagi melalui prinsip “division of labour”, pembidangan, fakultas-fakultas, departemen-departemen, hampir seluruhnya dilakukan oleh Muhammad di dalam kelengkapan “Insan Kamil” beliau. Secara keduniaan Rasulullah tidak kurang suatu apa ada membuktikan berbagai supremasi fungsi, tapi beliau bersujud tiap malam dan mengucurkan airmata kepada Allah.
Jangankan kita, Muhammad SAW yang kekasih Allah, yang dijamin sorganya, yang difasilitasi olehNya melebihi siapapun lainnya: merasa tidak cukup dengan dirinya sendiri jika harus membereskan dunia. Muhammad memberi teladan sangat kongkret kepada ummat manusia bahwa kita sangat tergantung kepada Allah, sehingga memerlukan tema yang namanya patuh atau taat.
Maka kalau Muhammadiyah itu gerakan, ia bergerak tidak semata-mata karena dirinya berkehendak untuk bergerak. KHA Dahlan pasti memiliki kesadaran yang tersimpan di lubuk akal dan hatinya bahwa untuk apa diri kita ini bergerak kalau gerakan kita itu bukan kehendak Allah agar kita bergerak. Kalau Muhammadiyah bergerak, tentu karena bersyukur atas bimbingan Allah yang menganugerahkan metodologi sosial, umpamanya “Amanu wa Hajaru wa Jahadu”.
Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2010