Kedahsyatan Doa (3)

Kedahsyatan Doa (3)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Pada Suara Muhammadiyah edisi 30/09/22 telah dikutip salah satu ayat yang berisi perintah berdoa dan syarat dikabulkannya doa, yakni surat al-Baqarah (2): 186, yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa. Apabila memohon kepada-Ku, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Dalam hubungannya dengan doa, ada dua syarat yang dinyatakan di dalam ayat tersebut, yang wajib kita penuhi agar doa kita dikabulkan, yaitu (1) memenuhi perintah Allah dan (2) beriman kepada-Nya. Ada syarat lain yang perlu dipenuhi juga sebagaimana dijadikan dirujukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Tuntunan Dzikir & Doa (hlm. 17), yakni memperbanyak istigfar sebelum berdoa. Perintah itu dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Taa’aala di dalam surat Hud (11): 3,

وَّاَنِ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْٓا اِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَّتَاعًا حَسَنًا اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى وَّيُؤْتِ كُلَّ ذِيْ فَضْلٍ فَضْلَهٗ ۗ وَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيْرٍ

“dan hendaknya kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan jika kamu berpaling, sungguh aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat).”

Jadi, jika ada doa kita yang belum dikabulkan, semestinya kita mawas diri: sudahkah kita memenuhi syarat-syarat tersebut?

Pada “Kedahsyatan Doa” (2) pada Suara Muhammadiyah edisi 30/09/22 telah disajikan satu contoh kisah nyata dikabulkannya doa Ayu, yakni memperoleh ganti yang jauh lebih baik. Memang umat Islam ketika menghadapi musibah, diperintah oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala memperoleh ganti yang lebih baik.

Kisah Tukang Roti Bertemu dengan Imam Ahmad

Kisah tukang roti yang selalu mengucapkan istigfar ketika membuat roti sangat masyhur. Banyak ustaz(ah) yang mengisahkannya. Ada yang menggunakan gaya “teatrikal”. Ada pula yang bergaya biasa-biasa saja. Namun, umumnya mereka baru sampai pada substansi kedahsyatan istigfar, padahal ada substansi lain yang melekat dengan istgfar yang dikerjakan oleh tukang roti itu sebagai pengamalan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala. Di antara perintah-Nya adalah berbuat baik kepada ibnu sabil dan tukang roti itu telah melaksanakan perintah tersebut dengan baik. Bukankah Imam Ahmad adalah ibnu sabil sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala, di antaranya, di dalam surat an-Nisa (4): 36,

 وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua; karib kerabat; anak-anak yatim; orang-orang miskin; tetangga dekat dan tetangga jauh; teman sejawat; ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Di dalam Tafzir Al Azhar (hlm. 1215) Hamka menjelaskan dengan mengikuti pemahaman para ahli tafsir bahwa ibnu sabil adalah orang yang sedang musyafir untuk maksud-maksud yang baik; menambah pengalaman dan ilmu atau mahasiswa yang meninggalkan kampung halamannya menuntut ilmu ke kota dan negeri lain.

Dari sisi lain, dapat diketahui pula bahwa Imam Ahmad adalah tamu. Oleh karena itu, beliau semestinya dimuliakan. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah umat Islam agar berbicara baik atau diam, memuliakan tetangga, dan memuliakan tamu sebagaimana sabdanya,

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Lalu, apa sebenarnya yang dialami oleh Imam Ahmad dan apa yang telah dilakukan oleh tukang roti kepadanya? Secara sangat padat, kisahnya dapat dituturkan kembali sebagai berikut.

Selepas salat isya berjamaah, Imam Ahmad bermaksud tidur di masjid, tetapi diusir oleh marbut. Beliau pun pindah ke teras masjid. Namun, marbut itu kembali mendatanginya dan sambil marah-marah mengusir dengan mendorong-dorongnya. Akhirnya, beliau sampai di jalan.

Tukang roti melihatnya. Lalu, dia memanggilnya. Percakapan pun terjadi. Namun, beliau hanya menyebut dirinya sebagai musyafir. Setelah mengetahui hal itu, tukang roti dengan sangat ramah mempersilakan beliau bermalam di rumahnya yang sangat bersahaja.

Beliau tidak langsung tidur, tetapi memperhatikan tukang roti itu yang selalu mengucapkan istigfar tiap langkah membuat roti dan berbicara seperlunya. Beliau menanyakan sejak kapan selalu berbuat begitu. Oleh tukang roti pertanyaan itu dijawab bahwa kebiasaan tersebut dilakukannya selama menjadi tukang roti, yakni 30 tahun.

Terjadi percakapan selanjutnya.

“Lalu, apa hasil yang kamu capai?” tanya beliau.

“Semua doa saya dikabulkan, kecuali satu yang belum.”

“Apa?”

“Bertemu dengan Imam Ahmad ibnu Hanbal.”

Mendengar jawaban demikian, Imam Ahmad terperanjat. Sesaat kemudian, beliau mengatakan,

“Saya Ahmad ibn Hanbal.”

Jelas kiranya bahwa ada amal saleh yang dikerjakan oleh tukang roti, yakni berbicara baik dan berbuat baik kepada Imam Ahmad.

Sembuhnya Luka Lepuh pada Telapak Kaki

Sehabis tawaf ifadah, ada seorang jamaah haji, sebut saja Bu Mam, merasa kesakitan ketika berjalan untuk kembali ke hotel pengipannya. Pada kedua telapak kakinya terdapat luka lepuh kira-kira selebar uang koin lima ratusan. Akibatnya, tiap sekitar 10 meter berjalan, dia berhenti untuk menahan rasa sakitnya, padahal jarak antara Masjidil Haram dengan hotel tempat menginapnya tidak kurang dari 7 kilo meter. Suaminya terus mendampinginya dan juga memberikan semangat. Dalam kondisi seperti itu, suaminya menerima telepon dari ketua rombongan beberapa kali agar langkahnya dipercepat. Tentu hal itu tidak mungkin dilakukannya.

Dengan selalu mengucapkan istigfar, berdoa, berzikir, dan didoakan dia tetap terus melangkah. Dia beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala pasti menolongnya. Benar! Pukul 02.00 bersama rombongan dia sampai di hotel. Sesampainya di hotel, dia mandi, kemudian berdoa mohon kesembuhan sambil mengusap air matanya entah sampai berapa kali dan mengusap lukanya dengan air zam-zam. Tangisnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’aala makin menguras air matanya lebih-lebih ketika sadar bahwa dia sakit DM. Namun, dia beriman bahwa sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pasti benar. Dia beriman bahwa sesuai dengan sabdanya, air zam-zam atas izin Allah Subhanahu wa Ta’aala dapat menjadi penyembuh penyakit.

Selepas salat subuh, suaminya bermaksud menjenguknya. Subhanallah! Alhamdulillah! Allahu akbar! Salah seorang temannya mengatakan bahwa dia sudah pergi ke pasar dalam keadaan sehat. Luka lepuh pada kedua telapak kakinya sembuh total tanpa meninggalkan bekas apa pun sampai sekarang!

Fenomena pada Sebagian Umat Islam

Di antara umat Islam Indonesia, cukup banyak yang langsung menanyakan “teks” doa agar cita-citanya tercapai. Misalnya, mereka mempunyai cita-cita agar memperoleh rezeki yang banyak. Lalu, mereka menanyakan apa “teks” doanya. Demikian pula jika mereka ingin agar anaknya sukses, dirinya dan/atau keluarganya sembuh dari sakit, terhindar dari penyakit, terhindar dari gangguan makhluk halus (atau bahaya) atau cita-cita yang lain, yang ditanyakannya adalah apa “teks” doanya. Sangat sedikit di antara mereka yang sampai bertanya perilaku apa apa saja yang harus diperbuatnya. Setelah memperoleh “teks” doa, mereka pun tanpa henti-henti mengucap­kannya.

Sebagai ilustrasi, ketika pandemi Covid-19 terjadi, sebagian umat Islam Indonesia ada yang tidak percaya akan adanya wabah itu. Sebagian lagi, percaya, tetapi tidak mau berikhtiar secara medis. Mereka tidak mau mematuhi protokol kesehatan (prokes). Menurut mereka, semua terjadi atas kehendak Allah Subhanahu wa’Taala. Jika Dia menghendaki dirinya mati, kapan saja, di mana saja, dalam keadaan bagaimanapun juga tetap mati. Tidak terkena Covid-19 pun mati. Jika Dia menghendaki dirinya hidup, maka wabah tidak akan menyentuhnya dan kalaupun menimpanya tidak berpengaruh buruk.

Orang ini percaya kepada pendapat “ulama” yang tidak mempunyai kom­petensi sebagai ulama yang fatwanya laik men­jadi pegangan, bahkan, bertentangan dengan pemahaman ulama yang kredibel dan bertentangan pula dengan pendapat pakar virus yang kredibel. Orang tersebut ke mana pun pergi dan di mana pun berada tidak menaati prokes. Sampai-sampai ketika salat jamaah di masjid, mereka berdiri rapat dengan jamaah yang ada di sebelahnya. Sehabis salat, mereka mengajak berjabat tangan. Mereka sangat sinis kepada jamaah lain yang taat pada prokes. Mereka berdalih bahwa apa yang dilakukannya merupakan pengamalan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala surat at-Taghabun (64): 11

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang me­nimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Berdasarkan pemahamannya terhadap ayat tersebut, bagi mereka, berdoa, berzikir, didoakan sudah cukup. Kalaupun terkena wabah dan meninggal, sedangkan mereka sedang berdoa dan berzikir, bukankah kematian yang baik?

Ikhtiar adalah Ibadah

Menghafal dan mengucapkan bermacam-macam doa, istigfar, dan zikir adalah benar karena melaksanakan peritah Allah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya. Namun, mengamalkan perintah-Nya yang lain, baik dalam hubungan yang bersifat vertikal maupun horizontal, merupakan amal saleh yang wajib dilakukannya juga.

Perhatikan kembali kisah tukang roti bertemu dengan Imam Ahmad. Dengan mengucapkan istigfar, berarti dia melaksanakan perintah berbuat baik yang bersifat vertikal, yakni mohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Dengan berbicara baik dan berlaku baik terhadap Imam Ahmad, berarti dia melaksanakan pertintah berbuat baik yang bersifat horizontal, yakni berbuat baik terhadap sesama manusia.

Perintah yang bersifat horizontal agar berbuat baik tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan juga. Oleh karena itu, seharusnya kita berbuat baik juga kepada semua makhluk yang memang harus kita perlakukan dengan baik, bahkan, terhadap semut sekalipun.

Di dalam kenyataan ada orang yang merasa sudah berdoa, berzikir, dan beristigfar dalam waktu lama, tetapi belum terkabul juga cita-cita atau harapannya. Dalam hal menyikapi kenyataan tersebut, sekurang-kurangnya ada tiga golongan. Pertama, tetap berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Malahan, sampai menjelang ajal pun mereka istikamah. Mereka beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala pasti memberikan yang terbaik buat dirinya. Kedua, kecewa dan sangsi terhadap Kemahabaikan Allah Subhanahu wa Ta’aala. Mereka tidak istikamah berharap memperoleh rahmat-Nya. Ketiga, frustrasi dan putus asa terhadap ramat Allah Subhanahu wa Ta’aal. Golongan ini sampai berucap, misalnya, “Kalau begini, untuk apa aku salat, berdoa, berzikir, dan beristgfar? Toh akhirnya ayah saya meninggal juga?”

Golongan pertama biasanya rajin mengaji kepada ustaz(-ah) yang memberikan pencerahan secara utuh dengan cara yang benar dan mereka mengamalkan hasil mengajinya itu secara utuh dan benar pula. Mereka memahami bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam Al-Qur’an surat ar-Ra’d (13): 11 merupakan perintah agar berikhtiar untuk mencapai cita-citanya.

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka meng­ubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Dalam hubungannya dengan ikhtiar untuk memperoleh kesehatan, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini dipahami sebagai petintah berikhtiar agar berobat.

“Sesungguhnya, Allah telah menurunkan penyakit dan juga obatnya dan Dia telah menjadikan obat bagi setiap penyakitnya. Oleh karena itu, berobatlah kamu, dan (tetapi) jangan berobat dengan yang haram.” (HR Abu Dawud)

Jadi, berikhtiar merupakan ibadah karena melaksanakan perintah Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya. Karena bernilai ibadah, apa pun hasilnya, ada pahala yang diperoleh bagi orang yang berikhtiar.

Golongan kedua kadang-kadang mengaji dan salat lima waktu secara rutin. Meskipun demikian, mereka lalai dalam salatnya. Misalnya, lalai waktu, lalai rukun salat, dan lalai keutamaan salat berjamaah. Golongan ini sudah salat lima waktu, tetapi sering menunda waktu salat sehingga salat dikerjakannya tidak pada awal waktu. Mereka salat lima waktu, tetapi tidak tumakninah di dalam salatnya. Mereka salat lima waktu pada awal waktu dan tumakninah, tetapi tidak mau tau sangat jarang berjamaah, padahal salat berjamaah merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya juga.

Golongan ketiga,  tidak pernah mengaji dan baru salat setahun dua kali, yakni salat Idul Fitri dan Idul Adha. Puasa wajib pun tidak dikerjakannya apalagi puasa sunah. Mungkin ada juga di antara mereka yang mengerjakan salat, puasa, dan/atau haji, tetapi niatnya untuk kepentngan duniawi. Misalnya, mereka melakukan semua itu agar memperoleh dukungan suara dalam pemilihan anggota legeslatif, bupati/walikota, gubernur, atau presiden.

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version