Kedahsyatan Doa (4)

Kedahsyatan Doa (4)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Pada Suara Muhammadiyah edisi 28/10/22, dalam hubungannya dengan doa, ada tiga syarat yang dikemukakan yang wajib kita penuhi agar doa kita dikabulkan, yaitu (1) memenuhi perintah Allah, (2) beriman kepada-Nya, dan (3) memperbanyak istigfar sebelum berdoa.  Ketiga syarat itu baru merupakan bagian dari berbagai syarat yang wajib dipenuhi. Jadi, jika ada doa kita yang belum dikabulkan, semestinya kita mawas diri: sudahkah kita memenuhi syarat-syarat tersebut dan juga syarat yang lain?

Pada “Kedahsyatan Doa” (3) pada Suara Muhammadiyah edisi 28/10/22 itu telah disajikan dua contoh kisah nyata, (1) dipertemukannya tukang roti dengan Imam Ahmad dan (2) sembuhnya luka lepuh pada kedua kaki Bu Mam. Ada hal yang perlu mendapat penekanan kembali, yakni berdoa, berzikir, mengucapkan istigfar harus disertai amal saleh terhadap sesama manusia, bahkan, terhadap makhluk lain seperti semut sekalipun.

Dari kisah tukang roti kita ketahui bahwa dia berucap istigfar dan berlaku baik kepada ibnu sabil. Bagaimana halnya Bu Mam? Dia sedikit pun tidak ragu bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’aala dan sabda Rasul-Nya pasti benar. Di samping itu, perlu diketahui bahwa dia berlaku sangat baik terhadap sesama makhluk selain manusia. Di antaranya adalah tidak membunuh semut, bahkan, memberinya makan. Bukankah semut merupakan salah satu hewan yang tidak boleh dibunuh?

Ada lagi yang perlu mendapat penekanan. Orang beriman selalu berbaik sangka pada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Di  dalam hatinya tidak ada keraguan sedikit pun bahwa Dia pasti Maha Tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Namun, yang terbaik menurut hamba-Nya belum tentu terbaik juga menurut Allah Subhanahu wa Ta’aala. Berkenaan dengan keimanannya yang demikian, ketika sakit seberat apa pun tidak pernah mengeluh. Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang mengagungkan, memuliakan, dan memahasusikan Allah Subhanu wa Ta’aala. Malahan, sakit yang dideritanya pun disikapinya sebagai kecintaan-Nya terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia selalu memuji-Nya. Orang seperti ini sampai wafat pun istikamah mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.

Lahir dalam Keadaan Meninggal

Di antara saudara, teman, dan tetangga mungkin ada yang pernah menghadapi keadaan yang membuat cemas. Sakit berat atau bayi meninggal di dalam kandungan biasanya dapat menjadi penyebab keadaan itu. Keluarga kami pun pernah mengalaminya.

Pada suatu sore, saya diminta agar segera menerima telepon dari Bu Lik. Saya penasaran.

“Ada apa?”

“Menurut pemeriksaan dokter, bayi yang dikandung istri Bayu meninggal di dalam kandungan.”

“Terus?”

“Terima saja telepon dari Bu Lik.”  Desak istri saya.

Saya menerima telepon Bu Lik. Dengan suara parau dan sesekali terisak dia menceritakan apa yang dialami oleh menantunya. Tentu dia membayangkan untuk mengeluarkan bayi yang telah meninggal di dalam kandungan menantunya itu diperlukan tindakan operasi. Berkenaan dengan itu, sekurang-kurangnya ada dua masalah besar yang kiranya terlintas pada pikirannya. Pertama, jika harus melalui tindakan operasi, diperlukan biaya yang mahal. Kedua,  menantu meninggal meskipun dioperasi dengan biaya mahal.

Sangat manusiawi jika dia ingin agar bayi lahir tanpa operasi dan menantunya selamat. Lalu, dia minta didoakan agar bayi dapat lahir tanpa operasi dan ibu sang bayi selamat.

Saya mengiyakan. Semua keluarganya saya ajak untuk berdoa. Kami berdoa. Derai air mata tak dapat kami bendung. Isak tangis pun bersahut-sahutan.

Alhamdulillah! Allah Subhanahu wa Ta’aala mengabulkan doa kami. Bayi yang meninggal di dalam kandungan lahir tanpa operasi dan ibunya selamat.

Dapat Kiriman Kucing

Kami pernah tinggal “serumah” dengan tikus. Sering mereka bertingkah laku menjengkelkan.  Ketika kami menonton televisi misalnya, mereka naik turun kabel dengan perilaku seperti “meledek”. Sering juga mereka meloncat-loncat seperti menari pada jarak kira-kira lima meter di depan kami. Mereka benar-benar “ngerjain” kami.

Kami berusaha melawan mereka. Salah satu cara yang kami tempuh adalah menyebarkan silverqueen untuk tikus di berbagai tempat yang biasanya dilewatinya. Ada beberapa tikus yang mati setelah memakannya. Hal itu berlangsung sampai beberapa saat. Namun, kemudian tikus muncul lagi dan beraksi seperti biasanya. Rupanya mereka tidak ingin bernasib sama dengan teman-temannya. Mereka tidak memakan silverqueen.

Kami berpikir keras bagaimana melawannya. Kami terus berikhtiar.

Sepulang dari kampus, saya melihat kucing terjepit di rolling door di ruko yang sedang dibangun di simpang empat Pakelan, Magelang. Dia panik sehingga terus mengeong. Banyak orang lalu-lalang di depannya, tetapi tidak ada seorang pun yang peduli.

Saya melihat keadaan itu. Hati saya tergerak. Saya melihat traffic light. Begitu lampu hijau untuk pejalan menyala, saya bergegas menyeberang jalan yang padat mobil angkutan umum, mobil pribadi, dan sepeda motor.

Bismillah! Saya harus menolongnya. Begitu hati saya berbicara dengan penuh semangat. Saya mendekati rolling door yang menghimpit kucing. Kucing itu justru akan mencakar saya. Makin dekat saya dengan kucing itu, dia tampak makin galak. Mungkin dia mengira bahwa dirinya menghadapi bahaya yang lebar besar.

Ketika menghadapi situasi demikian, saya tidak menyentuh kucing itu. Menurut perhitungan saya, jika saya menyentuhnya, dia pasti mencakar tangan saya. Oleh karena itu, saya mengangkat rolling door yang menghimpitnya. Begitu merasa dapat menggerakkan tubuhnya, kucing itu langsung kabur. Saya tersenyum. Dasar kucing!

Saya lega. Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin. Saya menunggu lampu hijau menyala untuk pejalan yang akan menyeberang. Setelah lampu hijau menyala, saya menyeberang.

Saya naik angkutan umum untuk melanjutkan perjalanan pulang. Di dalam perjalanan, saya terus berdoa di dalam hati. Ya, Allah kirimi kami kucing untuk mengusir tikus dari rumah kami.

Sampai di rumah, menjelang magrib. Namun, masih ada waktu untuk mandi dan mempersiapkan diri pergi ke musala depan rumah untuk mengikuti salat berjamaah. Sebelum berangkat ke musala bersama istri, saya masih sempat juga minum teh panas. Sampai di musala kami memanfaatkan waktu antara azan dan ikamah untuk berdoa.

Sepulang dari musala, saya bersama istri melakukan aktivitas rutin: membaca Al-Qur’an sekitar 50 ayat. Setelah itu, makan.

Azan isya berkumandang. Kami kembali ke musala untuk salat berjamaah. Kami berdoa pada waktu antara azan dan ikamah. Lalu, kami salat berjamaah.

Pulang dari musala, untuk melepas kepenatan setelah seharian bekerja, kami menonton televisi. Namun, baru beberapa menit menonton, kembali kami diganggu oleh perilaku tikus. Pandangan kami terbagi: menonton acara televisi dan melihat perilaku tikus.

“Ini sudah tidak boleh kita biarkan. Tikus itu sudah sangat mengganggu, Pak.” Istri saya bicara dengan geram.

“Ya. Kurang ajar. Sepertinya kita diledek, ya, Bu?”

“Saya sudah menyebar silverqueen. Rupanya mereka tahu bahwa itu racun.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

“Cobalah. Bapak mohon pada Allah.”

“Maksud Ibu … mohon dikirimi kucing?”

“Ya.”

“Em … ya, ya. Baik, Bu. Insya-Allah.”

Pukul 02.30. Kami bangun; sejenak duduk untuk bersyukur atas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’aala dan menghilangkan kantuk. Lalu, kami bersih-bersih diri dan berwudu. Kami tahajud dan berdoa. Di antara doa itu ada doa mohon dikirimi kucing. Semalam. Dua malam. Tiga malam. Empat malam. Lima malam. Enam malam.

Pada malam ketujuh, pukul 02.30 saya dengar suara kucing mengeong. Saya bergegas keluar dari kamar tidur dengan membawa senter. Saya nyalakan senter itu mengarah ke kucing. Masya-Allah! Ada tikus di mulutnya. Sepertinya dia minta dibukakan pintu. Saya seakan-akan tahu keinginannya, maka saya membuka pintu. Kucing itu pun keluar rumah.

Malam berikutnya terjadi hal yang sama. Malam selanjutnya terjadi juga. Malam berikutnya lagi juga. Cukup lama hal itu berlangsung.

Kami aman dari gangguan tikus. Kami dapat menonton televisi dengan nyaman. Di samping itu, tidak ada kekhawatiran akan terkena penyakit yang bersumber pada air kencing tikus.

Setelah cukup lama “menghabisi” tikus, suaranya  tidak kami dengar lagi. Meskipun demikian, selama dua pekan kami tetap nyaman menonton televisi. Beberapa hari kemudian tikus-tikus kembali muncul. Seperti sebelumnya, mereka berperilaku sangat menjengkelkan.

Saya berusaha mencari informasi tentang kucing yang menemani kami dengan menyebut ciri-cirinya. Ternyata, dia telah mati. Ada yang mengatakan bahwa kucing itu mati karena diracun.

Kami sangat sedih. Kami kembali berdoa agar dikirimi kucing. Dua pekan kami lakukan. Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin. Kami dikejutkan ketika sekitar pukul 20.00 ada kucing di dapur di tempat strategis untuk menangkap tikus. Beberapa saat kemudian terdengar suara “braak!”

“Suara apa, Pak?” istri saya kaget.

“Tadi ada kucing di dapur. Mungkin dia menangkap tikus.”

Benar! Selang beberapa saat kemudiaan, dia seakan-akan ingin menunjukkan hasil kerjanya kepada kami. Dia sambil mengeong ke ruang keluarga.

“Ya, Pak. Benar. Tadi suara kucing menangkap tikus.”

“Alhamdulillahi rabbil‘aalamiin doa kami kembali dikabulkan.”

Saya bukakan pintu rumah dan kucing itu pun keluar. Kami bersyukur.

Ya, Allah! Engkau kirimkan kucing-kucing yang luar biasa hebatnya. Tidak ada satu pun di antara dua kucing yang Engkau kiririmkan kepada kami yang mau makan tikus hasil tangkapannya di dalam rumah.

Ada perbedaan yang mencolok antara kucing pertama dan kucing kedua. Kucing yang pertama tidak kami ketahui pukul berapa masuk rumah. Kami hanya mendengar suaranya ketika di mulutnya ada tikus yang diterkamnya pada pukul 02.00 atau pukul 03.00.  Kucing yang kedua pada siang hari pun datang di rumah. Bahkan, dia berperilaku manja. Sering dia menjemput ketika saya masuk rumah dan mengikuti saya sampai di kamar. Ketika saya akan ke kamar mandi pun mau ikut. Dia sering menempelkan tubuhnya pada kaki saya dengan ekornya dikibas-kibaskan.

Pada pukul 20.00 dia siap di tempat strategis untuk menangkap mangsanya. Hampir tiap malam dilakukannya sehingga tidak ada lagi gangguan tikus di rumah kami. Entah, sampai berapa lama saya tidak dapat mengingatnya.

Pada sore hari, 9 Zulhijjah, saya lupa tahun berapa, sepulang dari kampus, saya akan ke kamar mandi. Kucing itu berjalan gontai di depan saya dan akan masuk almari pakaian. Saya mencegahnya. Saya pegang. Dia menurut saja. Suaranya sangat lemah. Saya bawa ke teras. Saya tempatkan di bawah lincak dan saya beri alas agar tidak kedinginan. Dia menurut saja. Saya beri makan, tetapi tidak memakannya.

Selepas salat isya, saya mempersiapkan teks khotbah Idul Adha. Lalu, bersama istri saya, dibantu juga oleh beberapa jamaah musala Al-Islah, mempersiapkan ketupat opor untuk jamaah yang mengikuti takbir keliling dan “takbiran” di musala.

Pukul 22.00 takbiran di musala berakhir. Sebagian jamaah membantu mencuci piring, sendok, dan gelas.

Kami beristirahat. Ketika pukul 03.00 bangun, saya mencium bau bangkai.

Kucing! Ya, kucing itu mati.  Saya berbicara sendiri.

Saya bergegas ke teras. Langsung mata saya tertuju pada kucing. Benar! Bau bangkai itu berasal dari kolong lincak. Kucing itu telah kaku. Saya ambil plastik kresek. Kucing itu saya masukkan ke dalam kresek itu.

Kami tahajud, lalu takbiran.

Azan subuh berkumandang. Kami ke musala. Setelah salat sunah, kami “takbiran”, lalu salat berjamaah.

Turun dari musala, saya langsung menguburkan kucing itu dengan baik. Kemudian, bersama jamaah musala yang lain, saya mempersiapkan salat ‘Idul Adha di halaman musala dan sekitarnya.

Merawat Anak-Anak Kucing

Siang hari, 11 Zulhijjah tahun yang sama, saya dan ART dikejutkan oleh suara gaduh anak kucing. Kami mencari asalnya. Kami temukan suara itu berasal dari kolong tempat tidur di lantai dua. Sejenak kami berpikir bagaimana cara “mengamankannya”.

“Ambil kardus, Mbak” perintah saya kepada ART.

“Ya, Pak.”

Sesaat kemudian dia kembali dengan membawa kardus. Kami berdua berusaha “mengamankan” anak kucing itu. Pada awalnya kami tidak tahu berapa jumlahnya. Ternyata ada empat ekor. Suaranya gaduh sekali.

Tidak mudah kami “mengamankannya”. Ketika akan kami pegang, mereka justru akan “menyerang” dengan cakarannya. Namun, akhirnya mereka dapat juga kami masukkan ke dalam kardus meskipun tidak mengurangi kegaduhan suaranya.

Setelah keempat ekor anak kucing kami tempatkan di dalam kardus, timbul masalah: bagaimana merawatnya. Mereka belum dapat makan sendiri. Usianya mungkin baru dua atau tiga hari.

Saya minta tolong Bu Lik Tun untuk membeli dot, botol susu, dan susu bubuk. Dia penasaran, tetapi saya tidak menjelaskannya.

Satu jam berikutnya, dia datang. Saya suruh dia menyiapkan susu di botol dan memasang dot. Lalu, saya ajak ke garasi. Tahulah dia apa akan saya lakukan.

“O … untuk anak kucing, ta? Punya siapa, Mas”

“Nggak tahu, ya.”

Lalu, saya ceritakan kronologi kejadiannya. Bu Lik Tun tertawa.

Seperti sebelumnya, ketika akan dipegang, anak kucing itu justru akan menyerang. Namun, begitu saya pegang tengkuknya, anak kucing itu hanya dapat menggerakkan kakinya. Saya mulai meminumkan susu. Tidak mudah. Anak kucing menutup rapat-rapat mulutnya. Saya menekan botol susu sehingga air susu menetes di mulutnya.  Lalu, lidah anak kucing itu dijulurkannya, menjilat air susu, dan menelannya.

Di antara empat ekor anak kucing, ada dua yang akhirnya bisa mengisap susu melalui dot. Saya bahagia sekali ketika anak kucing itu mau membuka mulutnya dan mengisap air susu melalui dot.

Yang dua ekor lainnya, tetap saja menutup mulutnya. Sore harinya saya lakukan lagi. Demikian pula hari-hari berikutnya. Sehari tiga kali saya lakukan. Sampai hari kedua, dua ekor anak kucing tetap menutup mulutnya. Oleh karena itu, saya tekan botol susu sampai air susu menetes di mulutnya.

Saya jadi “baper: selama beberapa hari merawat anak kucing. Ke mana pun dan di mana pun selalu teringat padanya. Begitu sampai di rumah, bukannya bermesraan dengan anak dan istri lebih dulu, melainkan langsung menengok anak kucing itu dan melakukan yang terbaik untuknya.

Pada hari kelima, saya bercerita kepada jamaah musala tentang kucing yang mati dan sudah saya kuburkan dan tentang anak-anak kucing yang kami rawat. Ada salah seorang jamaah yang mengatakan bahwa dia kehilangan kucingnya. Sekembali dari musala, dia mengambil anak-anak kucing yang kami rawat. Kami pun memberikannya.

Untuk Renungan

Adakah doa orang tua untuk anak; doa anak untuk orang tua; kita untuk saudara, teman, tetangga, guru, dan pemimpin yang belum terkabul? Pasti ada! Yuk, mawas diri. Boleh jadi, di antara doa-doa kita ada yang belum dikabulkan karena ada perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala yang belum kita lakukan. Misalnya, perintah agar kita memelihara silaturahim sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an surat an-Nisa (4): 1

 وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu dengan yang lain, dan (peliharalah) silaturahim.”

Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya, “Hai umat manusia, syiarkanlah salam, hubungkanlah silaturahim, menjamu makanlah, dan salat malamlah kamu pada waktu orang lain tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat sejahtera.” (HR Turmudzi)

Pertanyaan yang timbul adalah sudahkah perintah itu kita amalkan dengan penuh ketaatan? Jika kita justru memutus silaturahim, tentu hal ini menjadi kendala terkabulnya doa sebagaimana dijelaskan di dalam hadis yang artinya, “Diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiadalah seorang muslim yang berdoa tanpa disertai ada dosa dan pemutusan tali silaturahim, melainkan diberi oleh Allah salah satu dari tiga hal: doanya segera dikabulkan, atau ditabung untuknya di akhirat, atau ia dijauhkan dari keburukan yang sebanding dengan doa itu. Mereka (para sahabat) berkata, “Jadi, kami (harus) banyak berdoa?” Rasulullah bersabda, “Sebutlah  nama Allah yang Mahabanyak (karunia-Nya).” (HR Ahmad)

Dari Hadis tersebut dapat diketahui bahwa penyebab doa ditolak adalah (1) dosa (2) dan pemutusan silaturahim. Oleh karena itu, mari kita berusaha secara sungguh-sungguh meninggalkan perbuatan berdosa, apalagi dosa besar seperti syirik dan durhaka kepada orang tua. Di samping itu, mari kita jaga dan kuatkan silaturahim lebih-lebih dengan keluarga dan sesama muslim. Jangan sampai ada di antara kita yang justru saling mengolok-olok dengan keluarga sendiri dan sesama muslim sebab hal itu menjadi kendala terkabulnya doa kita.

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version