Membangun Moralitas Bangsa
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Usaha “Membangun Moralitas Bangsa” sangatlah penting dan substansial. Moral adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Moralitas merupakan segi moral dari suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Adapun moral ialah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Dalam agama sering diidentikkan dengan akhlak. Dalam referensi masyarakat Indonesia sering dikaitkan dengan budi pekerti.
Dalam ajaran agama Islam moralitas itu tidak bersifat situasional, baik buruk memiliki standar pasti dari ajaran agama dan tidak selalu menuntut berdasarkan kelaziman atau penerimaan masyarakat. Akhlak ada yang terpuji (al akhlaq al karimah) dan yang tercela (al akhlaq al mazmumah). Akhlak terpuji antara lain ṣiddiq (benar/jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran dan kebaikan), fathanah (kecerdasan akal jernih, akal murni, aqlu-salim), ‘ādl (ādil), ‘afw (pemaaf), wafā’ (menepati janji), ‘iffah (menjaga kehormatan diri), haya‘ (punya punya rasa malu), syajā’ah (berani), ṣabar (sabar), rahmah (kasih sayang), sakhā’ (murah hati), ta‘āwun (penolong), iqtiṣad (hemat), tawaḍu‘ (rendah hati), murū‘ah (menjaga perasaan orang lain), qana‘ah (merasa cukup dengan pemberian Allah SWT), rifq (berbelas kasihan), hilm (lemah lembut), sulh (damai), tawastuh (moderat), dan lain-lain.
Akhlak tercela (mazmumah) lawan dari akhlak atau moral yang terpuji:. Sebutlah sifat tergesa-gesa (‘ajula), takabur (arogansi), berlebihan (israf), ekstrem (ghuluw), aniaya atau menindas (zalim), merusak (fasad), sewenang-wenang (‘itibathiya), otoriter (sulthawiya), merampas hak orang lain (takhud huququl akhar), takhawwur (nekad yang membawa keburukan: ambisi yang membawa kerusakan), banyak utang (gharimiyah: besar pasak daripada tiang), merasa diddaya (thaga, taghbiyah) seperti Firaun, mencaci, dendam, benci, dusta, merendahkan sesama, ghibah, asusila, dan lain- lain.
Menurut Imam al-Ghazali akhlak adalah suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya (Ihya ‘Ulumuddin). Sementara immanuel Kant menempatkan moral menyangkut keyakinan dan sikap batin, yang terkait dengan sejumlah aturan dari luar seperti hukum negara, hukum agama atau hukum adat-istiadat.
Urgensi Moralitas
Betapa pentingnya moral atau moralitas, ajaran agama seperti Islam menempatkannya sebagai risalah utama kenabian: Innama buitstu li utammima makatimal akhlak. Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Nabi sendiri disebut sebagai “berakhlak yang agung”. Menurut Syaikh Musthafa Al-Ghilayini, bahwa bangun dan jatuhnya suatu bangsa atau negara tergantung akhlaknya. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.
Persoalan bangsa saat ini masih klasik. Sebutlah korupsi yang masih tinggi, dan pejabat negeri seolah tidak memiliki efek jera karena terus ada yang tertangkap KPK. Baru-baru ini heboh seorang Bupati yang ditangkap atas dugaan korupsi memiliki jeruji besi “tempat pengkerangkengan” manusia. Kesenjangan sosial belum sampai ke titik rendah, masih melebar meski mulai menurun. Penyalahgunaan kekuasaan yang tidak selalu menyangkut uang juga masih terbuka relatif vulgar. Kekerasan di berbagai aspek terjadi, bahkan ada yang menyebut darurat. Narkoba di angka merah. Plagiarisme belum berhenti di tengah tuntutan rezim akademik yang semakin instrumental-administratif dan mengalami Fabrikasi yang rumit. Microsoft tahun 2021 merilis tingkat kesopanan warga negara Indonesia dalam penggunaan media sosial termasuk paling rendah di ASEAN.
Lebih-lebih pembangunan moralitas bangsa yang menyangkut kehidupan bersama dan melibatkan relasi kekuasaan dan kewargaan yang seringkali rumit dan kompleks. Tahun 1985 ada buku populer yakni “Ironi Pembangunan Di Negara Berkembang” karya Bjorn Hettne. Bagaimana pembangunan berbasis kapitalisme yang angkuh melahirkan kemiskinan dan pemiskinan, serta merusak alam dan lingkungan. Orang dibuat terkesima oleh mimpi-mimpi besar dan indah akan kejayaan bangsa dengan pembangunan fisik yang tampak perkasa itu tetapi hampa dan nirpemerataan, malah menimbulkan nestapa rakyat.
Kekuatan kampus dan kekuatan masyarakat sipil pun dibuat terlena dengan pesona pembangunan yang mercusuar itu dan tidak sedikit yang menjadi stempel manis, meski pembangunan yang meraksasa itu sejatinya membawa ironi bagi rakyat banyak dan masa depan bangsa. Di mana moralitas berada dalam kesadaran kolektif kekuatan sosial yang semestinya mengedepankan nilai moralitas. Hal itu terjadi karena orientasi kepentingan jauh lebih utama ketimbang orientasi dan dasar nilai moral.
Implementasi Moralitas
Moral dan moralitas sangatlah penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Di atas hukum, politik, dan ekonomi terdapat moral. Perlu filsafat moral dalam kehidupan kebangsaan. Sumber nilainya ialah Pancasila, Agama, dan Kebudayaan luhur Indonesia. Agar perjalanan bangsa tidak sekadar maju berdasar nilai guna, tetapi juga nilai kebenaran, kebaikan, dan keluhuran berlandaskan dasar filosofis Negara Indonesia.
Membangun Indonesia itu bukan hanya ragad-fisiknya semata, ujar Mr Soepomo, sebab “Indonesia itu bernyawa”. Soekarno pidato 1 Juni 1945 bicara tentang Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau “Weltanschauung” yaitu sebagai “fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”. Di dalamnya terdapat nilai dan modalitas luhur tentang keindonesiaan sebagaimana tercermin dalam lima sila Pancasila. Dalam bait lagu Indonesia Raya karya WR Soepratman dengan tegas dikumandangkan: “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah badannya”. Sila kedua Pancasila bahkan secara tegas terkandung nilai “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang memiliki dasar nilai pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Namun masalah pembangunan moral selalu pada implementasi, bagaimana implementasinya dalam kebijakan negara dan praktik hidup berbangsa?. Pada era Pemerintahan Soekarno-Hatta dikenal “Nation and Character Building”. Zaman Soeharto populer “Membangun Manusia Indonesia seutuhnya”. Pada era reformasi ada “Pembangunan Karakter Bangsa”.
Indonesia saat ini tengah demam memasuki era Revolusi 4.0, revolusi saintifik berupa kemajuan teknologi informasi atau digital yang spektakuler. Tapi apakah bangsa Indonesia siap dengan era baru tersebut? Indonesia mestinya jangan melompat tanpa prasyarat nilai dan moralitas manusianya. Jangan sampai merancang era metaverse, pengembangan artificial intelegence, revolusi biotek yang canggih, dan bangga atas kemampuan anak bangsa dengan penguasaan teknologi IT, namun tidak disertai dengan dasar nilai dan karakter bangsa yang kuat. Jika tidak ada keseimbangan akan melahirkan “Cultural Shock” (Alvin Toffler) atau “Cultural Lag” (William Ogburn) seperti temuan antropolog Amerika Serikat Edmund Carpenter, yakni terjadi tragedi “technetronic ethnocide” sebagaimana menimpa suatu etnik di Indonesia.
Ketika berbicara tentang era Disrupsi, catatlah bahwa tren-nya bukan sekadar inovasi dan revolusi IT, tetapi menurut Francis Fukuyama perhatikan fenomena “The Great Desruption” yaitu kekacauan sosial besar-besaran dalam lanscape kebudayaan manusia, seperti terjadi di Amerika Serikat, telah mengalami pergeseran besar selama tiga dekade terakhir dalam struktur sosialnya; kriminalitas meluas, kepercayaan menipis, keluarga berantakan, dan individualisme mengalahkan komunitas.
Permasalahan moralitas ialah soal implementasi terutama ketika harus berhadapan dengan alam pikiran yang berbeda dari dasar moral. Apakah pemikiran dan suara moral masih relevan dan didengar di tengah dunia yang didominasi alam pikiran pragmatisme, yakni pemikiran yang didasari bahwa yang benar dan baik itu yang berguna. Demikian juga dengan oportunisme, yaitu alam pikiran yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan diri, kroni, dan kelompok sendiri meski merugikan hajat hidup orang banyak.
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2022