Makin Lama Makin Cinta Muhammadiyah
Oleh: Yandi
Judul ini terinspirasi dari naskah yang ditulis oleh Presiden Sukarno pada saat penutupan muktamar Muhammadiyah ke 50 di Jakarta tahun 1962, dengan judul “Makin Lama Makin Tjinta” yang kemudian pada tahun 2013 diterbitkan menjadi sebuah judul buku.
Dilihat dari masa masa awal perjalanan relijiusitasnya sosok Bung Karno (BK) tidak bisa dipisahkan dari Muhammadiyah. Disaat usianya masih belia, BK bertemu untuk pertama kalinya dengan KH. Ahmad Dahlan di Surabaya, dan langsung tertarik untuk bergabung. Instensitas pertemuan di acara tabligh itu membuatnya mengalami banyak pencerahan keagamaan.
Selanjutnya rekam jejaknya di Muhammadiyah bisa ditelusuri di Bengkulu. Di sana BK pernah tercatat sebagai guru di sekolah Muhammadiyah. Lalu menikah dengan Fatmawati yang merupakan seorang kader Aisyiyah, anak dari Datuk Hasan Dien ketua konsul atau yang sekarang dikenal sebagai Pimpinan Wilayah Muhammadiyah ( PWM) Bengkulu. BK terdaftar sebagai pemegang kartu anggota Muhammadiyah, yang ditanda tangani langsung oleh KH. Ahmad Dahlan.
Ada pesan menarik dari pidatonya yang menggugah kesadaran kita sebagai kader. Kenapa dirinya sejak jadi Presiden tidak pernah ditagih iuran anggota ? Pertanyaan retoris ini bertolak belakang dengan realitas bahwa masih banyak kader Muhammadiyah yang sering mengabaikan iuran anggota , menganggap hal itu sepele sehingga sering terlupakan .
Sulit dipungkiri iuran anggota adalah salah satu indikator komitmen dan kecintaan seorang kader kepada Persyarikatan. Ahmad Norma Permata ketua LPCR Pusat dalam ungkapan yang lain mengatakan, hakikat iuran anggota bukan sekedar nominal angka saja, namun juga bisa dimaknai sebagai bukti adanya ikatan batin antara anggota dan Muhammadiyah, perkumpulan yang telah dipilihnya secara sukarela.
Wujud lain mencintai Muhammadiyah adalah dengan melibatkan diri secara struktural di berbagai level kepemimpinan, berkhidmat baik di cabang atau ranting secara tulus dan ikhlas. Terlibat aktif di semua kegiatan Muhammadiyah sehingga bisa merasakan langsung segala dinamikanya.
Bermuhammadiyah dengan didasari rasa cinta akan mendorong kader selalu siap kapanpun jika ada panggilan Muhammadiyah. Senantiasa berusaha untuk hadir di acara rapat dan datang ke pengajian tepat waktu. Secara sukarela bergotong royong urunan dan berdonasi, itulah manisfestasi cinta, karena mencintai adalah memberi bukan menuntut.
Kini di tengah fenomena “hibridasi identitas ” yang menjangkiti sebagian warga Muhammadiyah, yang berimplikasi melemahkan gerakan Muhammadiyah baik secara ideologi, manhaj maupun organisasi. “Api cinta “ Bung Karno itu penting untuk kita nyalakan kembali. Sebagai “ self reminder” bagi penguatan komitmen, kecintaan dan peneguhan gerakan para kader. Agar tetap terjaga apa yang disebut Abdul Kohar , dewan redaksi Media Group, sebagai “ mental” Muhammadiyah yaitu ketaatan doktrin, otentisitas sikap dan laku, serta konsistensi gerakan.
Jejak BK di Muhammadiyah tinggal sejarah. Namun bagi seorang kader “pesan cinta” yang ditulisnya enam puluh tahun silam adalah sebuah “memorabilia” yang menjadi serpihan kenangan sekaligus renungan. Begitulah sejatinya perasaan terdalam hati seorang kader, makin lama makin cinta Muhammadiyah.
Sebagai penutup ada ungkapan bahasa Inggris yang berbunyi, love grows as time goes on, cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu . Cinta seorang kader kepada Muhammadiyah adalah cinta progresif , sebuah “resultan emosi “ yang terus tumbuh semakin kuat seiring waktu. Dan itu diwujudkan dalam bentuk kerja keras dan ikhlas tanpa pamrih untuk memajukan dakwah Muhammadiyah.
Wallahu ‘alam bishawab
Yandi, Ketua PCM Ciawi-Tasikmalaya