Hukum, Kekuasaan, dan Akhlak Bangsa

Immawan Wahyudi

Foto Istimewa

Hukum, Kekuasaan, dan Akhlak Bangsa

Oleh : Immawan Wahyudi

Membicarakan hubungan hukum, harta dan kekuasaan sesungguhnya bukanlah topic pembicaraan zaman modern saja. Pembicaraan antara hukum, kekuasaan, dan akhlak –dimana kita akan bertemu dengan istilah oligarki –sesuatu yang sedang jadi mimpi buruk bangsa kita– sudah amat sangat tua usianya.

Aritoteles dalam karyanya Politic, menyinggung masalah oligarki dengan sangat jelas. Bahkan sangat relevan dengan kehidupan kita akhir-akhir ini. Dikatakan oleh Aristoteles bahwa; “Di antara oligarki satu verietasnya ialah yang didalamnya pemangkuan jabatan tergantung pada persyaratan harta benda cukup tinggi, sehingga menyisihkan kaum miskin. Meskipun mereka membentuk mayoritas, tetapi disana dimungkinkan bagi siapapun yang mampu memenuhi jumlah harta benda yang ditetapkan untuk mempunyai bagian di dalam konstitusi.”

Varietas kedua, menurut Aristoteles ialah, yang didalamnya persyaratan harta benda tinggi, dan yang didalamnya mereka sendiri memilih para pengganti untuk setiap lowongan. Sedang varietas ketiga ialah bila anak-anak menggantikan ayah mereka. Varietas keempat mempunyai susunan yang sama tetapi sebagai ganti dan pemerintahan berdasarkan hukum para pejabat adalah para penguasa. Varietas ini di kalangan oligarki sama dengan dengan varietas tirani di kalangan monarki atau varietas demokrasi yang disebutkan terakhir di kalangan demokrasi. Oligarki jenis ini disebut “dinasti.” (Narasi-Pustaka Promethea, 2020: 178)

Politik Biaya Tinggi

Awalnya masyarakat apatis mendengarkan keluhan para kandidat dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) bahwa mereka akhirnya kalah karena kurangnya ketersediaan dana. Keluhan semacam dialami baik dalam konteks pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif. Namun lama-lama timbul perhatian masyarakat tentang persoalan ini. Misalnya, masyarakat membicarakan bagaimana cara para kandidat itu akan memperoleh kembali biaya politik –atau mungkin biaya “money politic”—yang demikian besar. Bahkan jika karena “takdir” akhirnya menang atau terpilih menjadi pejabat publik, penghasilan seluruh yang diperoleh selama menjabat jika dibanding dengan biaya politik sangat besar yang dikeluarkan tidak akan pernah mencapai seperempat atau sepersepuluh dari pengeluaran biaya selama mengikuti kontestasi.

Akibat dari perhitungan yang tidak masuk akal ini, maka mulailah muncul praduga atau setidaknya desas-desus tentang korupsi. Bahasa yang paling sarkastis tentang hal ini adalah “setelah terpilih agenda berikutnya adalah bagaimana mencari uang pengganti yang telah dikeluarkan.” Lalu kapan kesempatan untuk memikirkan dan memenuhi janji-janjinya kepada rakyat saat kampanye pemilihan. Penulis menduga cerita rekaan tadi sudah berubah menjadi semacam “pengetahuan umum” masyarakat kita dewasa ini.

Virus Kanker Korupsi

“Virus korupsi kian massif. Bahkan saat ini menyentuh hamper semua lini kehidupan. Dalam kaitan in M.

Busyro Muqoddasbahkan mengaitkan dengan “korupsi politik” dalam bentuknya yang sah – legal sehingga korupsi menjadi musuh besar yang real yang ada di depan mata kita. “Situasi kebangsaan seolah membuat kita menjadi pesimis. Kebohongan demi kebohongan muncul terus, dan kebohongan itu dilembagakan, dan dilegalisasikan dalam bentuk undang-undang,” ujarnya. Pemerintah dan DPR terkesan memaksakan kehendaknya dalam legislasi undang-undang tertentu. Semua masalah bangsa itu berkelindan dengan persoalan korupsi.

Korupsi itu salah satu bagian dari perbudakan, yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan massif. “Ini negeri yang dibangkitkan dengan berdarah-darah. Mengapa sekarang seperti ini?” tanya mantan Ketua KPK itu. Busyro menyebut bahwa forum semisal ini menjadi penting, di saat sebagian masyarakat sipil memilih diam. Para aktivis dikondisikan untuk tidak kritis. Gejala obral jabatan komisaris, kata Busyro, adalah bagian dari pelacuran intelektual. Suara Muhammadiyah Edisi 1 Agustus 2022 dalam berita tentang Sekolah Antikorupsi yang diselenggarakan oleh DPD IMM DIY.

Alangkah sayang dan kecewanya ketika kita bicarakan hukum, harta, dan kekuasaan lalu hukum yang kita bicarakan adalah hukum yang terkurung dalam kubangan penyelesaian kasus korupsi. Tentu menyedihkan dan melelahkan. Sebaliknya, alangkah indahnya jika kata hukum dalam pembicaraan kita tentang harta dan kekuasan adalah bagaimana Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 diaktualisasikan dalam relalitas kehidupan agar tidak menjadi impian kosong sepanjang usia republik.

Misal yang lain lagi, bagaimana hukum ketika kita bicara soal harta dan kekuasan adalah hukum yang melindungi dan menyejahterakan masyarakat. Sangatlah beralasan jika kita semakin hawatir atas hubungan hukum dan kekuasaan tidak berkorelasi positif. Sebaliknya malah berkorelasi negatif yang semakin hari semakin menghawatirkan. Energi warga bangsa bakalan habis percuma jika yang dibicarakan terus menerus adalah topik-topik yang pada satu sisi menyedihkan bahkan mengharukan dan pada sisi lain pembicaraan itu ibarat orang menghasta kain sarung. Maksudnya, seperti sesuatu yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya.

Kesadaran dan Kepentingan Nasional

Pernah digaungkan bahwa Indonesia sedang dalam ancaman bahaya korupsi. Bahasa keren dan populernya: Indonesia dalam darurat korupsi. Namun sekeren apapun bahasa ungkapan itu tidak akan memberikan makna apa-apa jika tidak ada kesadaran bahwa ungkapan dalam bahasa lisan akan kita ujudkan dalam bahasa realita, bahasa kenyataan sosial. Maukah kita sedikit andap asor untuk berguru kepada masa lalu kehidupan poitik bangsa yang –meskipun saat itu masih dalam segala keterbatasan–, namun memberikan kemewahan berupa kesadaran komitmen untuk kehidupan dan kepentingan nasional.

Kita tentu berharap ada lembaga yang secara fungsional bertanggung jawab dan dapat kita harapkan yakni Partai Politik (Parpol). Bukan berarti lembaga lain bisa kita abaikan perannya, tapi Parpol lah yang melahirkan para pemimpin di lembaga ekekutif maupun legislative. Maukah Parpol berkaca dari ide lahirnya partai politik di masa pra kemerdekaan atau awal-awal kemerdekan? Dalam kaitan ini Miriam Budiardjo (2002): 171,  menulis bahwa Parpol pada zaman kolonial lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dimana Parpol memainkan peran penting untuk pergerakan nasional.

Apa yang disangkakan oleh masyarakat dengan adanya Komisi Anti Korupsi (KPK) yang lahir bersamaan dengan transisi politik demokrasi dapat mengerem laju praktik korupsi ternyata tidak seindanh yang dapat dibayangkan. Oleh sebab itu harus kita sadari bersama dalam “statusnya” sebagai extra ordinary crime korupsi tidak bisa hanya ditegakkan oleh lembaga-lembaga peegak hukum Negara yang manapun. Korupsi harus menjadi agenda pembicaraan, pemikiran dan aksi menolak korupsi dengan basis etika, atau moral, atau bahasa yang lebih jernih adalah akhlaq bangsa.

Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) – Alumni S-3 FH UII

Exit mobile version