DENPASAR, Suara Muhammadiyah – Ada tiga presenter dalam Forum Internasional Partnership on Religion and Sustainable Development (PaRD) yang berlangsung sejak 31 Oktober-3 November di Bali berasal dari kader Muhammadiyah.
Rahmawati Hussein & David Efendi yang juga dosen di Ilmu Pemerintahan UMY yang masing-masing menekuni kebencanaan dan gerakan anak muda untuk lingkungan hidup, dan Hening Parlan yang direktur Ecobhineka dan LLHPB PP Aisyiyah.
Ketiganya punya kesamaan isu perihal krisis iklim dan kebencanaan yang menjadikan mereka berkumpul di forum tahunan ini.
Forum yang diselenggarakan setiap tahun ini, PaRD mengumpulkan beragam perspektif mengenai Agama dan Pembangunan Berkelanjutan 2022 berfokus pada Iman dan Kemitraan dalam Mengatasi Krisis Iklim.
Acara ini diselenggarakan oleh International Partnership on Religion and Sustainable Development (PaRD) bekerja sama dengan Kementerian Agama RI.
Acara yang sebelumnya dikenal sebagai Majelis Umum Anggota dan Forum Tahunan memberikan kesempatan untuk berbagi praktik yang baik, membahas rekomendasi kebijakan, dan mengembangkan ide tentang cara sinergis untuk terlibat dalam hubungan agama dan pembangunan.
Lebih dari 100 perwakilan dari kementerian, akademisi/lembaga penelitian, masyarakat sipil, khususnya agama, spiritual, dan tradisi adat, pakar dan praktisi pembangunan berbagi pembelajaran serta mengembangkan rekomendasi untuk memperkuat kontribusi terhadap SDGs dan membuatnya lebih terlihat secara global.
Hari pertama Forum Tahunan PaRD tentang Agama dan Pembangunan Berkelanjutan akan fokus pada majelis umum anggota. Anggota diundang untuk berpartisipasi dalam sesi menarik tentang peluang dan tantangan dalam mencapai tujuan strategis PaRD.
Dari hari kedua dan seterusnya, bagian publik dari konferensi dimulai, di mana tidak hanya anggota tetapi juga teman-teman PaRD dapat berpartisipasi. Keynote akan diberikan oleh H.E. Bapak Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI.
Demi Bumi, Kelompok Iman Wajib Bersatu
Minyak, gas, dan batubara adalah akar penyebab krisis iklim. Terlepas dari kenyataan yang merusak, peringatan terus-menerus dari komunitas ilmiah, dan meningkatnya penderitaan orang-orang yang tidak bersalah, tidak ada kesepakatan global untuk membatasi produksi batu bara, minyak dan gas, atau untuk mengakhiri deforestasi. Penyebab utama perubahan iklim lainnya.
Pada saat yang sama, 700 juta orang tidak memiliki akses listrik. Mereka membutuhkan akses ke listrik yang bersih dan terjangkau untuk pendidikan, perawatan kesehatan, dan mata pencaharian.
Jika pemerintah dan lembaga keuangan tidak mengatasi kenyataan saat ini dengan komitmen yang lebih besar, miliaran orang menghadapi kenaikan permukaan laut yang menghancurkan, gelombang panas dan kebakaran yang belum pernah terjadi sebelumnya, badai yang menakutkan, kekeringan, kekurangan makanan, dan pemindahan paksa.
Ada juga kabar menggembirakan. Peningkatan teknologi energi terbarukan telah membuat biaya listrik bersih menjadi kompetitif dengan bahan bakar fosil. Model-model yang berkembang biak milik lokal, perempuan dan energi terbarukan yang dipimpin masyarakat dan inisiatif pertanian berkelanjutan.
Perkembangan ini menegaskan bahwa masa depan kemakmuran bersama yang berkelanjutan dan kekuatan bersama yang lebih adil memang mungkin.
Dalam lokakarya ini, Green Faith memimpin panel yang menceritakan kisah kelompok agama akar rumput di seluruh dunia yang mengambil tindakan terhadap perubahan iklim sebagai tanggapan langsung terhadap ancaman, tantangan, dan peluang yang ditimbulkan oleh krisis iklim.
Target Ambisius, Mulai dari Small Actions
Orang-orang pemberani dari beragam agama ini menentang proyek bahan bakar fosil baru. Mereka meminta manajer aset dan bank untuk mengalihkan keuangan dari industri yang menghancurkan planet ini. Namun, sebaliknya, meminta investor berinvestasi dalam energi terbarukan dan sistem pangan berkelanjutan. Mereka meminta pemerintah untuk berkomitmen pada pelatihan pekerjaan ramah lingkungan yang dapat mendukung jutaan pekerjaan baru yang mengangkat orang keluar dari kemiskinan.
David Efendi dan Hening membawakan topik bagaimana kekuatan kelompok agama bergerak dalam atasi krisis iklim.
Kisah-kisah ini menawarkan visi tentang peran yang dapat dimainkan oleh komunitas agama dalam perubahan menuju masa depan yang lebih baik dan model untuk diikuti oleh kelompok-kelompok agama saat mereka menjadi lebih aktif dalam perubahan iklim.
Mereka juga menawarkan contoh satu cara di mana kelompok agama dapat menciptakan dukungan yang lebih besar untuk kebijakan perubahan iklim yang ambisius oleh pemerintah dan lembaga keuangan.
“Upaya mereka mencerminkan peran yang dimainkan aktivisme keagamaan di momen bersejarah lainnya,” ungkap Nana Firman yang merupakan perwakilan Greenfaith International yang juga hadir di lokasi.
Direktur Greenfaith, Flecher asal AS, memberikan penekakan akan pentingnya agenda kolaborasi ini. Lokakarya ini akan menawarkan contoh-contoh aktivisme keagamaan tentang perubahan iklim di Eropa Barat, Afrika Timur, serta Indonesia dan Jepang.
Ini akan memberikan kesempatan untuk merenungkan cara-cara di mana pendekatan “aksi langsung” ini harus dikontekstualisasikan di berbagai negara dan wilayah berdasarkan berbagai faktor.
Pembicara akan berbagi kisah perjalanan mereka sendiri ke dalam aksi iklim yang diilhami oleh agama semacam ini, dan menawarkan refleksi mereka sendiri tentang peluang dan tantangan yang mereka alami.
Presentasi juga akan mencakup referensi tentang peran historis agama dalam gerakan sosial termasuk gerakan anti-apartheid Afrika Selatan, Gerakan Hak Sipil AS, Kampanye Bantuan Hutang Jubilee, dan banyak lagi.
“Hasilnya adalah pemahaman baru yang segar tentang potensi kepemimpinan agama dalam perubahan iklim,” pungkas Flecher yang tertarik segera membuka chapter Indonesia untuk Greenfaith Asia.
Hening dan David Efendi merupakan dua relawan Greenfaith sejak tiga tahun lalu yang diberikan signal untuk membangun kerja kolaboratif lintas iman untuk isu krisis iklim dan energi baru terbarukan. (David Efendi)