Ecofeminist Pedagogy: Membangun Diskursus Pendidikan Islam yang Berkeadilan
Bagi Perempuan, Alam, dan Konstruksi Pikiran
Oleh: Dr Cahaya Khaeroni, MPdI, Dosen FAI UM Metro
Dewasa ini, upaya pengarusutamaan gender dalam ranah kajian pendidikan Islam adalah sebuah langkah yang sangat strategis. Hal ini dipandang penting, karena mengacu pada satu alasan mendasar dimana Islam seringkali dianggap sebagai salah satu ‘alat legitimasi’ terjadinya bias gender, bahkan kaum konservatif maupun feminis muslim sendiri mengklaim bahwa Islam merupakan sebuah sistem patriarki keagamaan yang menganut model hubungan hierarkis dan berketidakadilan gender. (Asma Barlas, 2005:28). Klaim tersebut terjadi salah satunya diakibatkan oleh pola pembacaan yang cenderung keliru terhadap teks-teks suci ajaran Islam. Oleh sebab itulah, sebagian pemikir muslim terutama yang peka terhadap isu gender berusaha melakukan penafsiran ulang atas teks-teks keagamaan yang cenderung bias.
Namun demikian, sesungguhnya ada beberapa persoalan mendasar yang jauh lebih penting dan mendesak untuk diketahui, terutama dalam konteks pengarusutamaan gender di ranah kajian studi Islam. Pertama, bahwa kondisi dunia saat ini sedang dihadapkan pada tantangan yang sangat kompleks yaitu kuatnya arus hegemoni maskulinitas (yakni sebuah ideologi atau prinsip yang lebih menonjolkan sifat kompetitif, dominan, ambisi, vertikal dan cenderung memenuhi kepentingan pribadi). Kedua, secara faktual pengaruh hegemoni maskulinitas itu sendiri juga melanda dalam kerangka berfikir gerakan feminisme (khususnya feminisme modern), dimana perempuan dididik untuk bersaing dalam merebut kesempatan untuk memasuki prinsip maskulinitas. Padahal, sebagaimana dimafhumi bersama bahwa seharusnya gerakan feminisme adalah gerakan yang juga membela ideologi dan nilai-nilai femininitas (cinta, pengasuhan dan pemeliharaan), namun yang terjadi justru sebaliknya, gerakan feminisme malah menggunakan ideologi atau prinsip maskulinitas yang tidak hanya anti femininitas, namun juga anti ekologi. (Mansour Fakih dkk, 2000:43)._
Ketiga, dalam lingkup yang lebih luas, hegemoni maskulinitas juga melanda dalam diskursus developmentalisme (pembangunan), developmentalisme sebagai wacana pembangunan yang banyak disemangati dengan paket ideologi revolusi industri dan proyek modernitas meniscayakan kemajuan ekonomi dan penciptaan keadilan sosial bagi semua golongan, namun dalam prakteknya justru selalu menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat, dan menjadi sumber baru kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, serta kerusakan terhadap alam.
Dalam hal ini, dampak yang paling kentara akibat dominannya prinsip maskulinitas adalah terjadinya kekerasan terhadap perempuan (bahkan hingga di ranah pendidikan termasuk lembaga-lembaga yang religius sekalipun), hancurnya lingkungan, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, terlantarnya anak-anak dalam keluarga. (Ratna Megawangi, 1999: 184). Fenomena tawuran pelajar, bullying, kenakalan remaja, dan masyarakat yang semakin brutal disinyalir erat kaitannya dengan kualitas rumah tangga modern. Ibu dan bapak yang sibuk di luar rumah, kurangnya perhatian pada anak, hilangnya kehangatan keluarga, merupakan sebagian contoh kecenderungan rumah tangga modern. Maka, tidak heran jika sejak dekade 90-an kondisi masyarakat sering dianggap sebagai sebuah kondisi yang berada dalam masa krisis pengasuhan dan kepedulian. Fenomena ini menunjukkan secara jelas betapa kuatnya arus hegemoni maskulinitas yang membentuk konstruksi berpikir dalam masyarakat secara luas.
Hal inilah yang kemudian mengilhami penulis untuk menggagas sebuah upaya akan perlunya dekonstruksi terhadap dominasi prinsip maskulinitas dan menawarkan sebuah pemikiran alternatif, yakni perkawinan antara pemikiran ekologi dan feminisme yang disebut ekofeminisme, (Carol J.Adams, 1993: 01), dan pendidikan, yang kemudian disebut dengan istilah ecofeminist-pedagogy. Dengan menawarkan pendekatan yang lebih holistik, yakni kaitan antara prinsip femininitas, ekologi, dan pendidikan. Pendekatan ini mengacu pada satu prinsip bahwa ‘hancurnya alam juga berarti hancurnya prinsip femininitas. Dalam hal ini, konsep ecofeminist-pedagogy tidak hanya menyumbangkan kesadaran kritis terhadap banyak hal yang selama ini dianggap normal, namun juga membantu menjelaskan akar filosofi dan ideologi ketidakadilan yang jarang dijernihkan oleh analisis feminisme maupun gerakan lingkungan mainstream lain, serta sekaligus berupaya mentransformasikannya sebagai sebuah kerangka berpikir yang disemaikan secara sistematis melalui pendidikan sebagai agen produksi dan transformasi pengetahuan.
Ecofeminist-Pedagogy: apa yang dimaksudkan dan apa yang digelisahkan?
Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai apa itu ecofeminist-pedagogy, penulis ingin memaparkan secara mendalam mengenai apa yang sesungguhnya menjadi problem kegelisahan dan kritik utama yang diusung oleh perspektif gerakan ini, yaitu:
Kritik terhadap disorientasi gerakan Feminisme
Secara historis, Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta adanya suatu usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Meskipun terjadi perbedaan antar-feminis mengenai apa, mengapa, dan bagaimana penindasan serta eksploitasi tersebut terjadi, namun sejatinya mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju sistem yang lebih adil bagi perempuan dan laki-laki (karena tidak sedikit dari laki-laki yang menjadi korban akibat dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil). (Vandana Shiva, 1999:100)
Namun ironisnya, justru terjadi problem akut dalam diri gerakan feminisme itu sendiri, yang kemudian disebut dengan istilah hosting the oppressor’s ideology yakni gerakan yang mencoba menginternalisir ideologi penindas (maskulinitas). Gerakan feminisme yang seharusnya menjadi pembela ideologi femininitas justru mengambil prinsip maskulinitas yang sarat dengan kekerasan dan persaingan sebagai dasar gerakan mereka. Kritik ini terutama sekali dilontarkan kepada gerakan feminisme dominan, yang termasuk diantaranya seperti: feminisme liberal yang berasumsi bahwa kebebasan dan kesetaraan berakar pada rasionalitas. Oleh karena “perempuan adalah makhluk rasional” juga, maka harus diberi hak yang sama dengan lelaki. Untuk mengatasi masalahnya, maka perempuan harus dididik agar mampu bersaing dalam arena kesempatan.
Bagi mereka, mengapa kaum perempuan terbelakang adalah “salah mereka sendiri”, karena tidak bisa bersaing dengan laki-laki. Mereka tidak melihat ketidakadilan struktural dan ideologi patriarki maupun hubungan ketidakadilan gender. Pemikiran liberal dewasa ini mendominasi seluruh pemikiran tentang perempuan, dan menjadi dasar teori modernisasi serta pembangunan. Bagi mereka, perbedaan antara tradisional dan modern adalah pusat masalah. Dalam perspektif feminis liberal, kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irrasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Untuk itulah, industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan. Upaya yang lain lebih dikonsentrasikan kepada usaha pendidikan terhadap kaum perempuan maupun berbagai proyek kegiatan yang ditujukan untuk memberi peranan kepada kaum perempuan, seperti misalnya program “Women in Development” (WID). (Mansour Fakih dkk, 2000:39). Secara umum, hal yang kurang lebih sama juga menimpa pada gerakan feminisme lain, baik itu feminisme radikal, feminisme marxis, dan feminisme sosialis.
Gerakan feminisme yang berkembang saat ini sesungguhnya secara tidak sadar telah turut melanggengkan dan mendukung ideologi maskulin. Mereka secara tidak sengaja mempropagandakan agenda-agenda pembebasan yang bersifat maskulin. Kondisi ini turut mempercepat proses “maskulinisasi feminin”. (Rahmad Hidayat, 2004: 22) Dengan demikian, hampir semuanya secara tanpa sadar, ikut menyingkirkan “prinsip femininitas”, yakni satu pandangan dan ideologi yang ramah sesama manusia dan melindungi lingkungan. Ada beberapa hal yang bisa dianalisis terhadap prinsip maskulinitas yang terinternalisir dalam diri feminisme dominan, diantaranya; feminisme liberal yang bersandar pada paham developmentalisme dan modernisasi serta dengan pendekatan yang sangat positivistik, padahal itu justru menjadi bagian dari masalah ketimbang sebagai solusi. Terlebih feminisme radikal, golongan ini dianggap sangat menggunakan prinsip maskulinitas, yakni ‘persaingan’ untuk mengatasi kaum laki-laki. Demikian halnya dengan feminisme Marxis, selain pendekatannya yang rasional dan cenderung positivistik, pandangan mereka bahwa proses industrialisasi yang akan mengganti peempuan dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak, jelas merendahkan dan mendevaluasi prinsip femininitas serta mengagungkan prinsip maskulinitas.
Kritik terhadap Ilmu pengetahuan Maskulinistik-reduksionistik
Maskulinitas secara luas juga melanda dalam diskursus developmentalisme (pembangunan-isme). Developmentalisme sebagai wacana pembangunan yang banyak disemangati dengan paket ideologi revolusi industri dan proyek modernitas meniscayakan kemajuan ekonomi. Namun, dalam prakteknya selalu menimbulkan beragam ketimpangan dalam masyarakat. Bahkan tidak hanya ‘pembangunan’ yang menjadi sumber kekerasan bagi perempuan dan alam. Pada tingkat yang lebih dalam, ilmu pengetahuan yang melandasi proses pembangunan itu sendiri juga sumber kekerasan. Ilmu reduksionis modern, seperti pembangunan, ternyata merupakan proyek patriarki, yang menggusur perempuan sebagai ahli.
Ilmu pengetahuan modern dijual sebagai sebuah sistem pengetahuan yang bebas nilai, yang menggusur semua sistem pengetahuan dan keyakinan lain. Semua ini dapat terjadi akibat sifat universal serta netralnya, dan logika metodenya untuk bersifat objektif tentang alam. Francis Bacon (1561-1626) sebagai bapak ilmu pengetahuan modern, pencetus konsep lembaga penelitian modern dan ilmu industri, pemberi inspirasi dibelakang Royal Society (Masyarakat dan Keilmuan Bangsawan). Sumbangannya pada ilmu modern dan cara menyusunnya amat penting. Namun dari segi alam, kaum perempuan dan kelompok pinggiran, program Bacon tidak dimaksudkan untuk semua manusia. Ia merancang program khusus yang hanya menguntungkan laki-laki. (Amelia Fauzia dkk, 2004: 4).
Metode eksperimen Bacon menjadi pusat dari proyek maskulin ini. Metode ini mengadakan dikotomi antara laki-laki dan perempuan, otak dan benda, objektif dan subjektif, rasional dan emosional, serta gabungan dominasi dan ilmiah atas alam, perempuan dan unsur non-barat. Metodenya tidak “netral, objektif dan ilmiah”-melainkan cara agresi maskulin pada alam dan dominasi atas perempuan. Masyarakat yang didominasi ilmu modern muncul dengan pola penundukan terhadap perempuan dan alam. karena ilmu modern adalah kegiatan yang secara sadar diberi muatan patriarki dan gender. Ketika alam semakin dilihat sebagai seorang perempuan yang perlu diperkosa, gender pun diciptakan kembali. Ilmu sebagai upaya laki-laki, didasarkan pada penundukan alam dan jenis kelamin perempuan menyediakan dukungan bagi polarisasi gender. Patriarki sebagai kekuatan ilmiah dan teknologi yang baru merupakan kebutuhan politis kapitalisme industri yang sedang muncul. Pada satu sisi ia mengesahkan ketergantungan adanya perusakan alam, pada sisi lain ia mengesahkan ketergantungan perempuan dan kesewenangan pria. Ilmu dan maskulinitas bertautan dalam dominasi atas alam dan sifat feminin, sementara ideologi ilmu dan gender saling memperkuat. (Amelia Fauzia dkk, 2004: 21-24).
Ilmu reduksionis menjadi sebuah agen utama untuk perubahan ekonomi dan politik pada abad-abad mendatang, dengan membuat dikotomi gender dan hubungan kelas serta hubungan manusia dengan alam. Reduksionisme mempunyai sekelompok ciri menonjol yang memisahkannya dari semua sistem pengetahuan non-reduksionis lainnya yang telah ditundukkan dan digantikannya. Asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis dasar dari reduksionisme bertumpu pada homogenitas. Reduksionisme melihat semua sistem sebagai tersusun dari bahan-bahan dasar yang sama, terpisah, tak berhubungan dan atomistik, dan berasumsi bahwa semua proses dasar bersifat mekanis. Metafor-metafor mekanistik paham reduksionis merekonstruksi alam dan masyarakat secara sosial. Berbeda dengan metafor organik dimana konsep tatanan dan kekuasaan didasarkan pada keterkaitan, metafor alam sebagai sebuah mesin didasarkan pada asumsi keterpisahan dan daya manipulasi.
Dalam menyelidiki asal mula dilema lingkungan kita saat ini serta kaitannya dengan ilmu, teknologi dan ekonomi, kita harus melihat kembali pembentukan sebuah pandangan dunia dan suatu ilmu yang merestui dominasi atas alam dan perempuan, melalui rekonseptualisasi kenyataan sebagai sebuah mesin, bukan suatu organisme hidup. Dominasi ini bersifat keras secara inheren, yang dipahami di sini sebagai pelanggaran terhadap integritas. Ilmu reduksionis merupakan kekerasan atas perempuan dan alam karena ia menundukkan dan merampas produktifitas, kekuasaan dan potensi mereka.
Perusakan ekologi dan sistem pengetahuan inilah yang disebut sebagai kekerasan reduksionisme yang menimbulkan: Kekerasan pada perempuan: perempuan, masyarakat sebagai subjek pengetahuan dianiaya secara sosial melalui pemisahan ahli bukan ahli yang mengubah mereka menjadi kaum tidak berpengetahuan bahkan dalam bidang-bidang kehidupan dimana mereka adalah ahli yang sesungguhnya melalui partisipasi sehari-hari. Kekerasan pada alam; alam sebagai objek pengetahuan ketika ilmu modern merusak integritasnya, baik dalam proses persepsi maupun manipulasi.
Ecofeminist Pedagogy: Tawaran visi baru Pendidikan Islam bagi pemulihan Prinsip Feminin yang berkeadilan bagi Perempuan, Alam, dan konstruksi Pikiran
Agenda memulihkan prinsip feminin adalah tantangan intelektual dan politik untuk menghadapi developmentalisme sebagai ide pembangunan dominan yang cenderung mengalami ketimpangan. Ideologi Pembangunan sebagai proyek patriarkis yang melibatkan dominasi, eksploitasi, perusakan, kekerasan dan penundukan, perampasan, serta pengabaian perempuan dan alam. Lebih dari itu, pemulihan prinsip feminin juga perlu dilakukan terhadap ilmu pengetahuan yang melandasi proses pembangunan itu sendiri yang ternyata juga merupakan sumber kekerasan terhadap perempuan dan alam. Termasuk juga kepada feminisme mainstream yang cenderung menginternalisir prinsip maskulinitas dalam pokok gerakannya.
Pemulihan prinsip feminin merupakan tanggung jawab bersama dan membutuhkan proyeksi dalam jangka yang panjang, oleh karena itulah pendidikan menjadi sarana penting untuk mengerjakan hal tersebut sekaligus berperan sebagai agen transformasi dan internalisasi prinsip feminin agar nantinya dapat menjadi sebuah kerangka berpikir yang mapan. Dalam hal ini konsepsi ecofeminist pedagogy hadir untuk menjawab tantangan tersebut.
Secara definisi, Ecofeminist pedagogy merupakan sebuah kerangka berpikir pedagogik yang didasarkan pada teori-teori ekofeminisme, serta memuat teori-teori epistemologis yang meliputi strategi pembelajaran, pendekatan-pendekatan pada materi ajar, praktik dalam kelas, dan hubungan antara guru dan murid. Ecofeminist pedagogy juga menjadi bagian dari model pendidikan kritis yang selalu menganggap bahwa pengetahuan merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial.
Sehingga atas dasar itulah, menurut hemat penulis, ada beberapa hal pokok yang dapat dikerjakan melalui pengembangan konsepsi ecofeminist pedagogy sebagai sebuah visi baru pendidikan Islam. Ide ini dibangun dengan beberapa alasan diantaranya: Pertama, agama sejauh ini sering dianggap biang masalah atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender, (Mansour Fakih, 2004: 128). kedua: warisan tradisi (al-turats) masyarakat yang masih menganggap perempuan sebagai kaum termarjinalkan. Selain itu, sesungguhnya posisi strategis pendidikan islam sangat tepat digunakan sebagai wahana pengarusutamaan gender. Bahkan, menurut Antonio Gramsci pendidikan merupakan aksi kultural bagi civil society untuk membangkitkan kesadaran kritis ‘critical consciousness’ rakyat terhadap sistem dan struktur yang menyebabkan ketertindasan, eksploitasi, dan berbagai sistem sosial yang tidak adil lainnya seperti struktur kelas, relasi gender, dan rasisme.
Penulis setidaknya menawarkan beberapa rumusan konsep Ecofeminist pedagogy yang nantinya dapat dikembangkan melalui transformasi pendidikan Islam, diantaranya yaitu: Pertama, Proses pengarusutamaan gender dalam pendidikan Islam seharusnya tidak berlandaskan pada penanaman prinsip-prinsip maskulinitas, yakni upaya bagaimana agar perempuan sejajar dengan laki-laki (dengan alasan laki-laki lebih tinggi atau maju). Hal ini bertujuan agar proses pengarusutamaan gender tidak dimaknai sebagai proses persaingan atau dominasi antara salah satu identitas seks terhadap identitas seks yang lain (karena menganggap laki-laki lebih tinggi dan mendominasi perempuan, maka sebaliknya perempuan juga harus diarahkan supaya siap dan mampu mendominasi laki-laki).
Kedua, perlunya menanamkan nilai-nilai feminin secara seimbang terhadap perempuan dan laki-laki. Hal ini bertujuan agar nilai-nilai feminin tidak diidentikkan terhadap perempuan, dan meniscayakan peranan laki-laki untuk bersama-sama, dalam tindakan, bertanggung jawab terhadap kehidupan dan pemeliharaan kehidupan (dengan berlandaskan nilai-nilai feminin). Contoh praksis-empiris: proses pembelajaran mengenai pentingnya menjaga kebersihan dan merawat lingkungan harus disosialisasikan tidak hanya terbatas pada perempuan, namun juga perlu disosialisasikan kepada laki-laki. Ketiga, perlu menanamkan kesadaran ekologis secara berimbang dan tepat terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini bertujuan agar, baik perempuan dan laki-laki memiliki sikap sensitifitas pada problem ekologis, sekaligus menghapus cara pandang yang keliru terhadap alam yang umumnya dianggap: 1) seragam dan mekanis, 2). terpisah dan tersekat-sekat sendiri didalamnya, 3) Terpisah dari manusia, 4). lebih rendah dan wajar jika dijarah manusia. Contoh praksis-empiris adalah: materi thoharoh, tidak hanya mengajarkan siswa bagaimana cara bersuci, tapi juga mengajarkan bagaimana pentingnya air sebagai sumber kehidupan, perlunya menjaga kelestarian air dan lain sebagainya.
Keempat, perlunya menghapuskan dikotomi gender yang diciptakan antara pekerjaan “produktif” dan “non-produktif”. Dengan kata lain, perlunya menghapus stereotip bahwa pekerjaan yang menghasilkan nilai dan uang dianggap sebagai satu-satunya pekerjaan produktif, begitu pula sebaliknya menganggap pekerjaan non-produktif adalah pekerjaan yang tidak menghasilkan nilai (uang). Contoh praksis-empiris: perlunya menanamkan kesadaran bahwa pekerjaan domestik dan non-domestik adalah pekerjaan yang sama nilainya. Namun, pekerjaan domestik bukanlah pekerjaan yang harus diidentikkan sebagai pekerjaan perempuan. Dalam makna tindakan, mereka (laki-laki) harus secara sukarela melakukan: kerja rumah tangga, mengasuh anak, memelihara atau merawat orang tua dan orang sakit.
Kelima, Pendidikan Islam seharusnya dituntut untuk lebih berorientasi pada upaya pemupukan wawasan keagamaan dalam kaitannya dengan proses religious intelectual building (pembentukan intelektual-keagamaan) dan pengintegrasian problematika empiris di sekitar peserta didik. Dari situlah diharapkan bisa tumbuh kesadaran kritis dan cerdas pada diri peserta didik terhadap realitas sosio-kultural lingkungannya. Selain itu, menurut hemat peneliti, implikasi etis ini setidaknya bisa diarahkan pada pengembangan tiga variabel yang ada dalam Pendidikan Islam, yang meliputi aspek pendidik, metodologi pembelajaran, serta sumber atau materi pembelajaran. Wallahu a’lamu bil asshawwaab.