Kedahsyatan Doa (5)

Memejamkan Mata Saat Shalat dan Do'a

Ilustrasi

Kedahsyatan Doa (5)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Telah dipaparkan pada Suara Muhammadiyah edisi 2022/10/28 tiga syarat yang harus dipenuhi agar doa kita dikabulkan, yakni (1) mematuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala, (2) beriman kepada-Nya, dan (3) memperbanyak istigfar sebelum berdoa. Di samping ketiga syarat itu, syarat lainnya adalah (4) yakin bahwa doanya dikabulkan oleh Allah Subhanu wa Ta’aala (QS al-Baqarah [2]: 286), (5) langsung berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala (QS al-Fatihah [1]: 5), dan (6) berdoa disertai ikhtiar (QS ar-Ra’d [13]: 11). (cf. Tuntunan Dzikir & Do’a Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah).

Ada hal yang perlu mendapat perhatian lebih serius pada edisi “Kedahsyatan Doa” (5), yaitu syarat (1). Dikatakan demikian karena dalam kenyataan cukup banyak orang yang berdoa terus-menerus, tetapi mengabaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya. Malahan, di antara mereka melanggar larangan.

Pada Suara Muhammadiyah edisi 2022/11/02, dikemukakan dua kisah nyata berkenaan dengan dahsyatnya doa, yakni (1) bayi yang meninggal di dalam kandungan lahir tanpa melalui tindakan operasi dan ibunya selamat dan (2) pemerolehan kiriman kucing yang luar biasa. Kedua kisah itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala tidak pernah mengingkari janji-Nya.

Pada bagian akhir tulisan itu dikemukakan ditolaknya doa kita mungkin karena kita tidak melaksanakan perintah misalnya perintah memelihara silaturahim sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (4): 1, yang artinya “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu dengan yang lain, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.” Dalam hubungannya dengan perintah silaturahim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya, “Hai umat manusia, syiarkanlah salam, hubungkanlah silaturahim, menjamu makanlah, dan salat malamlah kamu pada waktu orang lain tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat sejahtera.” (HR Turmudzi).

Sudah cukup lama bangsa Indonesia sepertinya dihadapkan pada berbagai keadaan yang bertentangan dengan isi doa yang diucapkan, terutama pada upacara peringatan hari-hari bersejarah misalnya hari Pendidikan Nasional, Kebangkitan Nasional, Proklamasi Kemerdekaan, Kesaktian Pancasila, Sumpah Pemuda, dan Pahlawan Nasional. Ada doa yang berisi permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala agar bangsa Indonesia terhindar dari perpecahan sehingga dapat menjaga keutuhan  NKRI. Bahkan, pada khotbah salat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha pun ada bagian doa yang demikian. Namun, doa itu tidak disertai ikhtiar nyata yang selaras dengan isi doa itu. Jadi, doa itu sepertinya baru sekadar pelengkap acara atau retorika.

Sebagai ilustrasi, mari kita cermati kondisi objektif akhlak sebagian dari bangsa kita termasuk elite bangsa, elite umat agama, juga kaum terdidik. Di antara mereka ada yang membiarkan anak bangsa saling mengolok-olok dan saling memfitnah. Kita tidak pernah membaca dan/atau mendengar di antara mereka menasihati dan mencegah agar saling mengolok-olok dan saling memfitnah dihentikan. Saling mengolok-olok dan memfitnah  bertentangan dengan isi doa yang diucapkan. Hal yang sangat memprihatinkan adalah ada di antara elit bangsa yang justru menjadi bagian dari pelaku. Kita dapat membaca dan/atau mendengar kenyataan itu di medsos.

Tampaknya ucapan kasar dan kotor makin mewarnai medsos. Penggunaan kata Jawa bacot, picek, budhek, bajingan, goblok, cocot, tak becus, atau kata-kata kasar yang lain sepertinya menjadi bagian kebiasaan ketika mengolok-olok dan/atau memfitnah. Di antara mereka, adalah bagian dari umat Islam. Jika demikian halnya, berarti mereka tidak melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala. Bukankah Dia dan Rasul-Nya memerintah agar umat Islam berbicara benar dan baik?

Perintah dalam Hal Menjemput Rezeki

Sejak beberapa dasawarsa terakhir ini, krisis ekonomi terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di Amerika. Di Indonesia keadaan yang demikian pun terjadi. Bahkan, yang terjadi di Indonesia tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis akhlak.

Tidak mungkinkah krisis akhlak itu terjadi karena krisis pengamalan nilai agama? Cukup banyak di antara bangsa Indonesia yang akhir-akhir ini menganggap bahwa agama tidak penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya jika ada muslim yang sangat taat melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya dicap fanatik dan intolerant. Ketika ada orang yang melecehkan Allah Subhanahu wa Ta’aala, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan al-Qur’an, ada yang seakan-akan tidak tahu sehingga tidak menanggapinya sebagai bukti “kemarahan”. Berapa orang aparat pemerintah yang berani langsung meresponsnya sebagai bukti cintanya pada Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya jauh lebih besar daripada cintanya pada jabatan? Namun, ketika tokoh ormasnya atau ketua partainya atau pejabat publik yang didukungnya dikritisi, timbul kemarahan yang luar biasa sampai-sampai memolisikan pengkritiknya.

Krisis pengamalan nilai agama berdampak sangat buruk pada cara menjemput rezeki. Pada saat ini ada ungkapan “Jaman edan. Wis direwangi ngedan wae ora kebagian” (Zaman gila. Sudah berperilaku seperti orang gila―dalam mencari rezeki―saja tidak kebagian). Sering juga kita dengar ungkapan, “Mencari yang haram saja sulit, kok mikir yang halal!” Ungkapan-ungkapan itu sungguh bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya dalam hal menjemput rezeki.  Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat an-Nahl (16): 114) berfirman,

فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاشْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

“Maka, makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”

Sementara itu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam HR Abu Dawud bersabda, yang artinya, “Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi.”

Pada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, beliau bersabda, yang artinya, “…. kemudian beliau (Nabi) menuturkan seorang lelaki yang memanjangkan perjalanannya, kusut rambutnya, lagi berdebu, dia mengulurkan tangannya ke langit (seraya mengucapkan), “Wahai, Tuhanku! Wahai, Tuhanku! (berdoa kepada Allah), padahal makanannya barang haram, minumannya barang haram, yang dipakainya barang haram, dan yang diberi makan barang haram, maka bagaimana akan dikabulkan doanya yang demikian itu?”

Berkenaan dengan itu, di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelakan, “Sesungguhnya, orang yang melemparkan sesuap barang haram di dalam perutnya, Allah tidak akan menerima doa darinya empat puluh hari.”

Sangat jelas bahwa menjemput rezeki yang halal merupakan perintah yang wajib dilaksanakan. Jika perintah itu tidak dilaksanakan, berarti syarat (1) dikabulkannya doa tidak terpenuhi.

 

Kedahsyatan Doa Ibu: as-Sudais Menjadi Imam Masjidil Haram

Banyak sekali kisah nyata tentang kedahsyatan doa ibu. Bagi umat Islam, kisah Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz as-Sudais (selanjutnya disebut as-Sudais) merupakan salah satu kisah nyata yang sangat popular. Ucapan ibunya ketika “marah” pun menjadi kenyataan. Bagaimana kisahnya? Secara sangat ringkas, kisahnya dapat dipaparkan sebagai berikut.

As-Sudais diharapkan oleh ibunya menjadi orang hebat, yakni hafal al-Qur’an, dan menjadi imam Masjidil Haram. Oleh karena itu, dia sering dipanggil oleh ibunya dengan panggilan “Ya, Abdurrahman! Ya, Hafidzal Qur’an! Ya, Imamal Masjidil Haram!” 

Seperti lazimnya anak kecil, as-Sudais suka bermain pasir (ada yang menyebut bermain tanah). Ketika itu, ibunya sedang menyiapkan hidangan untuk tetamunya yang akan berkunjung. Hidangan tersaji, tetapi tetamunya belum juga datang.

Tanpa diduga sama sekali, as-Sudais menaburkan pasir ke hidangan tersebut. Tentu saja ibunya sangat marah. Dalam keadaan seperti itu, ibunya mengatakan, “Pergi kamu biar jadi imam di Haram!”

Ucapan ibunya itu terwujud. As-Sudais menjadi penghafal al-Qur’an dan imam Masjidil Haram. Namanya sangat masyhur di seluruh dunia.

Kedahsyatan Doa Ibu: Resign dari ASN, Banyak Pintu Rezeki Lain Terbuka

Ada pesan di GWA keluarga. Hanya satu kalimat, “Alhamdulillah akhirnya saya sudah dapat lepas dari ikatan kedinasan.” Setelah membacanya, denyut jatung ibu berdegup lebih cepat dan lebih keras daripada biasanya. Rasa penasaran berkecamuk. Sangat galau hatinya.

Ya, Allah! Apa yang terjadi pada anak saya?” Hatinya terus bergejolak. Kepalanya terasa sangat berat. Tensinya jika diukur mungkin lebih dari 200 derajat celsius. Namun, dia memilih tidak bertanya kepada anaknya. Dicarinya nomor telepon kantor tempat anaknya bekerja.

“Assalamu ‘alaikum.” Ibu memulai percakapan.

“Wa ‘alaikumsalam.’

“Maaf. Apakah saya bisa bicara dengan Mbak Nugraheni?”

“Dari siapa, ya?”

“Ibunya.”

“Maaf, Bu. Bu Nugraheni sudah resign sejak satu minggu yang lalu.”

Bagai tersambar petir mendengar jawaban demikian. Jantungnya terasa akan lepas. Dadanya terasa sesak dan akan meledak. Lehernya terasa tak kuat menyangga kepala. Tubuhnya lunglai. Namun, Ibu berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan dirinya. Berkali-kali dia meng­ucapkan istigfar.

Setelah tenang, Ibu menelepon Mbak Nugraheni.

“Ibu telepon nyang kantormu. Bener, kowe resign?” (Ibu menelepon ke kantormu. Betul, kamu resign?)

Nggih, Bu. Leres.” (Ya, Bu. Betul)

Lha, ngapa?” (Lha, mengapa?)

Mbak Nugraheni menyebutkan alasan secara rinci dengan lancar. Rupanya dia sudah memprediksi sebelumnya. Cepat atau lambat pasti akan ditanya.

Pertama, percaya bahwa rezeki itu Allah yang mengatur. Kedua, niat yang baik untuk kembali fitrah sebagai istri, bekerja tanpa meninggalkan keluarga. Em … ketiga, ingin memperoleh rida suami. Keempat, ingin memperoleh doa orang tua. Lalu, yang kelima, ikhtiar memantaskan diri untuk mendapatkan yang lebih baik, dan yang keenam, menghindari kesombongan merasa semuanya hasil kerja sendiri karena saya yakin di balik keberhasilan ada peran orang lain; doa orang tua, bantuan dan rida suami, dan doa anak-anak.”

Tiba-tiba darah yang semula terasa beku di kepalanya cair. Dadanya longgar. Kepalanya ringan. Denyut jantungnya terasa teratur. Nafasnya pun lega.

Ya, wis. Yen ngono alasanmu, tak dongake muga-muga entuk ganti penggawean sing luwih apik lan barakah.” (Ya, sudah. Jika demikian alasanmu, Ibu doakan semoga mendapat ganti pekerjaan yang lebih baik dan barakah)

“Aamiin.” .

Selang sepuluh hari setelah resign, Mbak Nugraheni mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan swasta milik teman suaminya. Hubungan antara suaminya dengan pemilik perusahaan itu sangat baik. Oleh karena itu, dia tidak ragu-ragu menerima Mbak Nugraheni bekerja di perusahaannya. Tambahan lagi, portofolio Mbak Nugraheni berisi berbagai informasi tentang kinerjanya yang jempolan.

Gajinya sama dengan gaji terakhir yang diperolehnya sebagai kepala seksi di kantor pada salah satu kementerian dan lebih tinggi daripada yang diminta ketika diwawancarai. Bahkan, dia diberi fasilitas yang lebih baik. Namun, dia lebih memilih naik grab car atau diantar suaminya. Di tempat kerjanya yang baru dia diberi kepercayaan yang makin menambah semangat untuk menunjukkan kinerjanya yang baik. Mbak Nugraheni bisa melakukannya dengan baik sehingga “bosnya” sangat senang.

Baru satu tahun berkerja di perusahaan itu, dia diminta untuk mengurusi keuangan di perusahaan lain yang lebih besar. Lagi-lagi peran suaminya pun sangat besar. Namun, tidak begitu saja Mbak Nugraheni dilepaskan. Ada negosiasi. Dalam negosiasi ini suaminya pun kembali berperan sangat penting. Setelah melalui negosiasi yang penuh saling pengertian, dia diizinkan. Di tempat kerjanya yang baru, tugasnya lebih berat, tetapi gajinya lebih besar.

Kinerja Mbak Nugraheni dalam hal mengurusi keuangan yang bagus menyebabkan cukup banyak perusahaan yang menjadikannya sebagai konsultan. Agar semuanya legal, dia mendirikan perusahaan sendiri untuk melayani konsultasi. Tentu hal ini pun terwujud karena ada kekompakan Mbak Nugraheni, suami, dan anak-anaknya. Juga doa orang tua yang tidak pernah berhenti.

Dari kisah nyata tersebut dapat diperoleh lagi pelajaran yang sangat berharga. Dalam keadaan marah atau kecewa pun ibu harus mampu mengendalikan kemarahan atau kekecewaannya. Jika berbicara kepada anaknya, dia harus berhati-hati. Kata-kata yang digunakannya adalah kata-kata yang mengandung doa untuk kebaikan anaknya.

Kisah tersebut tikak lepas dari komitmen keluarga di dalam menjemput rezeki. Orang tua dan anak meyakini bahwa rezeki diatur oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala. Oleh karena itu, cara menjemputnya harus mengikuti petunjuk-Nya. Apa yang dihalalkan-Nya dilakukan. Apa yang diharamkan-Nya ditinggalkan.

Orang tua Mbak Nugraheni, terutama ibunya, selalu berdoa agar anaknya diberi kekuatan untuk menjemput rezeki dengan cara yang halal. Pada waktu-waktu yang lebih makbul untuk berdoa, mereka selalu mendoakan anaknya agar memperoleh rezeki yang melimpah dan mendatangkan berkah. Anaknya didoakan juga agar menjadi hartawan yang dermawan! Di samping itu, mereka mengontrol rezeki yang diperoleh anaknya: halal, haram, atau subhat!

Sementara itu, anak-anak pun selalu mohon doa kepada orang tuanya agar diberi rezeki yang mendatangkan keberkahan. Mereka sangat senang memperoleh nasihat dari orang tuanya.

Kekompakan itu dikondisikan juga pada sesama orang tua, baik orang tua dari anak kandung maupun orang tua dari menantu. Ayah dan ibu saling mendoakan dan mengontrol. Ayah mendoakan ibu agar diberi kekuatan istikamah mendoakan anaknya dan memantau kehalalan rezeki anak.

Ibu melakukan yang sama juga. Jika menerima amplop berisi uang dari ayah, dia tidak langsung mengucapkan “Alhamdulillah!”, berterima kasih, dan menampakkan kegirangan dengan menciumi amplop itu dan juga ayah seperti kecil yang memperoleh hadiah, tetapi melakukan klarifikasi tentang kehalalan uang tersebut. Jika ayah menjawab dengan mantap, “Halal” barulah ibu berucap tahmid, berterima kasih kepada ayah. Namun, jika ayah tampak ragu, ibu dengan tegas mangatakan misalnya, “Ayah tampak ragu, maka kembalikan uang ini. Caranya, terserah!” Uang itu pun dikembalikan oleh ayah.

Ibu sangat berhati-hati dalam hal hak orang lain. Dia berusaha tidak mengambil hak lain. Jika suatu ketika berbelanja, ternyata penjual salah hitung sehingga uang kembalian lebih banyak dari yang seharusnya, uang lebih itu dikembalikannya meskipun sudah sampai di rumah dan di tempat yang jauh. Jika menemukan uang di jalan berapa pun banyaknya, uang itu tidak dijadikan miliknya.

Hal menarik yang perlu diberi penekanan juga adalah komitmen dalam menjemput rezeki yang halal. Mbak Nugraheni pernah akan disuap dengan uang yang jumlahnya sangat besar, tetapi dia dengan tegas menolaknya. Suaminya tegas-tegas berprinsip, “Makan dari uang haram sama saja makan sampah!” Mertua Mbak Nugraheni bersikap sama, “Makan dari uang haram sama dengan makan bangkai!”

Sementara itu, ayah Mbak Nugraheni menolak management fee yang jumlahnya dapat digunakan untuk membayar ONH. Namun, dia lebih memilih sabar mendengar ejekan temannya daripada beribadah haji dengan uang haram. Waktu itu dia belum beribadah haji, padahal mempunyai kesempatan memperoleh uang yang cukup untuk biaya ONH. Pernah juga dia akan diberi sepeda motor dan mobil gratis. Akan tetapi, dia menolak dan lebih memilih naik kendaraan umum meskipun akibatnya ada yang merendahkannya.

Sumpah Serapah Ibu

Ketika menghadapi anaknya yang sering tidak mematuhi perintahnya, ada sebagian ibu yang lepas kontrol berbicara. Kata-kata kasar, bahkan, sumpah serapah pun keluar dari mulutnya. Misalnya, “Dasar anak bandel! Nakal! Nggak bisa diatur!”Ada juga ibu yang kepada anak kandungnya tega mengucapkan, “Kamu bakal sengsara hidupmu!” atau “Saya doakan kamu jadi perawan tua! Nggak laku sampai mati!” 

Apa yang terjadi? Apa yang diucapkan oleh ibu, menjadi kenyataan. Anak yang dikatakan bandel, nakal, dan nggak bisa diatur benar-benar menjadi bandel, nakal, dan tidak dapat diatur. Anak yang disumpahi sengsara, benar-benar sengsara hidupnya. Anak yang disumpahi jadi perawan tua, benar-benar jadi perawan tua.  Semua itu terjadi.

Dari kisah nyata tersebut ada pelajaran yang sangat penting. Orang tua, lebih-lebih ibu, dalam keadaan marah pun, kepada anak harus mengucapkan kata-kata yang baik. Untuk memanggil anak pun, digunakan kata-kata yang berisi doa yang baik.

Dalam keadaan baik-baik saja, tentu lebih-lebih lagi. Maksudnya, orang tua menggunakan kata-kata yang berisi doa untuk kebaikan anaknya ketika memangilnya. Misalnya, “Razak, anak saleh!” “Nurul, anak saleha!” “Fatimah, anak pintar.” “Sayangku!” “Cantikku!’ Gantengku!” atau yang lain. Pada prinsipnya, kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang berisi doa untuk kebaikan.

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version