Bahagia saat Pensiun
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Usai jalan pagi keliling Simpang Lima di Kota Semarang, saya menghampiri warung nasi pecel di ujung jalan. Di situ banyak bapak-bapak ikut mengantri sarapan usai berolah raga. Mereka adalah para pensiunan yang gemar berolah raga. Sepintas, terlihat gesit saat mengayuh sepeda Federal mengelilingi Simpang Lima. Meski begitu, saat memilih menu sarapan, takaran umur mereka bisa ditebak. “Bumbu kacangnya sedikit saja ya Mbak. Asam urat saya sedang kambuh nih”. Ujar seorang bapak berperawakan tambun, berkumis dan berambut gondrong putih terkuncir.
Memperhatikan gaya bicara dan cara mereka berinteraksi, saya bisa menebak latar belakang para pensiunan itu. Mungkin, ada yang berlatar belakang militer atau polisi berpangkat perwira. Gaya komandonnya masih kentara. Bicaranya pendek dan tegas. Kata “siap” selalu menyertai spontanitasnya. Ada juga yang santun penuh empati. Selalu bilang “terima kasih ya, Dik”, sambil senyum tipis. Mungkin profesi sebelumnya adalah guru atau pegawai biasa.
Kebiasaan yang terjadi di lingkungan kerja, memang acap mempengaruhi pembentukan karakter seseorang. Meski sudah pensiun, kebiasaan itu masih tetap ada. Jika tidak dikendalikan, ia akan terus terbawa. Repot bagi mereka yang tidak bisa melepaskannya. Karena akan sulit menyesuaikan dengan lingkungan barunya.
Melatih Diri
Pensiun dari tempat kerja, menjadi perkara serius bagi Pemerintah. Ada kebijakan khusus yang mengatur pembekalan pendidikan dan keterampilan bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan pensiun. Mereka dilatih cara membuat perencanaan dan strategi pengelolaan keuangan. Ada mentor professional yang melatih para calon pensiunan agar memiliki mental entrepreneurship, sehingga mampu mengidentifikasi peluang usaha atau investasi. Saya tidak mengetahui betul seberapa besar tingkat keberhasilannya.
Meski bukan PNS, saya juga akan pensiun. Wajarnya, harus mulai belajar dari mereka sudah berhasil merintis jalan menuju pensiun dengan bahagia. Saya tertarik belajar dari pengalaman Om GSH (bukan nama sebenarnya). Baginya, pensiun itu seperti kematian. Sebuah kapastian yang harus dihadapi. Ia harus disambut dengan suka cita.
Om GSH melatih mentalnya saat akan pensiun. Ketika anak-anak sudah menikah dan tinggal secara terpisah, dia dan istri sepakat untuk memberhentikan PRT di rumahnya. Pasangan ini bertekad melakukan seluruh pekerjaan rumah secara mandiri. Mulai dari menyapu, ngepel, mencuci mobil, memasak, mencuci pakaian, menyetrika dan membereskan semua perkakas rumah serta merawat tanaman. Pasangan ini juga sepakat untuk menurunkan standar ideal kerapihan dan kebersihan rumah. Standar keenakan masakan juga diturunkan.
“Kami berusaha menjadi anak kos lagi Mas. Kadangkala, makan cukup dengan telor dadar, campur kecap dan cabe rawit. Sesekali menikmati mie instan dengan telor, cabe rawit dan daun sawi. Pernah lho rumah berantakan. Pakaian menumpuk selama beberapa hari, karena belum sempat disetrika. Kami mengerjakan semuanya dengan santai dan sesuai mood saja”. Ujarnya.
Pasangan keren ini sudah membayangkan kehidupan di masa setelah pensiun. “Pada akhirnya, kita semua juga akan kembali hidup sendirian. Cepat atau lambat, pasangan kita dan kita sendiri akan pulang. Entah suami atau istri yang berangkat duluan. Kita tidak punya kuasa apa-apa, selain menerima masa itu tiba”. Ucapnya agak sedih.
Pasangan ini berusaha teguh memegang prinsip, bahwa hidup di masa tua, tidak boleh menggantungkan kepada orang lain. Tidak ada pilihan lain kecuali harus berlatih hidup sendiri secara mandiri. Semua harus dipersiapkan secara matang.
Om GSH terus melatih kesiapan batinya untuk bisa hidup sendiri dan mandiri. Dia mempersilahkan istrinya pergi umroh bersama komunitasnya sekaligus jalan-jalan ke beberapa Negara Timur Tengah selama satu bulan penuh. Selama itu pula, dia belajar melakoni kesendirian. Tidak mudah. Hatinya pernah memberontak. Badannya lemes, sulit tidur, nafsu makan hilang dan asam lambungnya naik.
Bayangkan, pasangan ini sudah hidup bersama selama 35 tahun. Lalu harus terpisah dan mengurus rumah sendirian. Namun, kesadaran dirinya bisa cepat bangkit, manakala dia kembali pada tekad awal. Setelah itu, perlahan-lahan semua kegelisahan itu bisa diatasi.
Melebarkan Penerimaan
Dalam hidup ini, manusia selalu dilatih menjadi individu yang memiliki mental untuk bangkit, melawan, bahkan menaklukkan tantangan. Paling tidak, harus bisa bertahan. Ajaran itu ada dalam setiap jenjang kehidupan. Tapi, ketika masa pensiun tiba, ajaran hidup akan berlaku sebaliknya. Dari melawan menjadi menerima.
Bagi Om GSH, salah satu resep meraih kebahagiaan di masa pensiun adalah kemampuannya melebarkan pintu hati untuk bisa menerima. Termasuk menerima hal-hal yang selama ini tidak dia sukai. Banyak manfaat dan kebaikan yang bisa diperoleh oleh mereka yang sudah bisa bersikap menerima apa adanya.
Salah satu pertanda sederhana bahwa seseorang telah memiliki sikap menerima adalah, kesediaanya untuk mengakui, bahwa selain dirinya, ada banyak orang lain yang lebih hebat dan baik. Jika sebelumnya dia memiliki peran sangat penting, gagasan dan pendapatnya selalu menjadi tumpuan dan penentu akhir. Sekarang harus rela melebarkan telinga dan batin, guna mendengarkan gagasan orang lain.
Menebalkan sikap penerimaan dengan mendahulukan orang lain itu penting. Tetapi jauh lebih penting adalah memberlakukan nilai itu kepada diri sendiri. Mulai dari hal-hal sederhana. Misalnya, menerima ketika tubuhnya menjadi mudah lelah. Berarti ia butuh istirahat. Menerima kenyataan bahwa organ tubuhnya tidak lagi bisa mengolah jenis makanan dan minuman yang tadinya paling disuka. Menerima kenyataan bahwa durasi kerja tubuhnya tidak lagi bisa sehebat dulu. Butuh proses untuk bisa menerima kenyataan-kenyataan seperti itu.
Saya pernah berusaha melawan proses penuaan dan pelemahan yang terjadi secara alami. Saya ingin membuktikan bahwa tubuh saya masih kuat, sehat seperti dulu. Apa yang terjadi kemudian? Saya stres dan tumbang. Sakit tanpa diketahui musababnya. Akhirnya bisa perlahan-lahan sehat kembali, setelah belajar menerima realitas hidup dengan hati terbuka. Batin itu memang harus diasah dan dilatih.
Ketika saya sudah berhasil menerima kenyataan dengan jujur dan terbuka, maka sejatinya saya sedang menapaki jalan menuju level tertinggi dalam beragama, yaitu ikhlas. Berjiwa ikhlas itu mulia. Ia menjadi partanda dalam menakar kualitas kemanusiaan seseorang. Ikhlas juga menjadi salah satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Untuk itulah, maka berlaku ikhlas, adalah puncak ketundukan manusia kepada Tuhannya.
Bertindak ikhlas dan bermurah hati, diyakini bisa menjadi kunci yang membuka jalan menuju banyak kemudahan dalam segala urusan. Saya mempercayai nasehat Khalifah Ali bin Abi Thalib; “Banyak permasalahan pelik yang berhasil diselesaikan dengan sikap bermurah hati”.
Terkadang, saya rela melakukan apa saja demi meraih kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan itu semakin menjauh, ketika orientasi hidup saya masih terus dikendalikan oleh syahwat duniawi yang tidak terkendali. Saya tidak akan pernah bisa menikmati hidup, ketika masih terus berburu perak, meski sedang menggenggam emas dan berlian.