Oleh: Agusliadi Massere*
Mengawali tulisan ini dengan menuliskan judul di atas, algoritmik intelektualitas saya langsung tertuju pada ingatan akan tulisan seorang senior, Koordinator Wilayah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulawesi Selatan: Asratillah. Setetes gagasan yang saya pahami dari Asratillah di antara samudra pengetahuannya bahwa hidup bukan hanya dalam konteks vegetative (nutritive, reproduksi dan tumbuh) maupun dalam konteks animalia (instingtif, sensasional dan mobile).
Hidup yang kita jalani menurut Asratillah, harus melampaui dua konteks tersebut di atas—vegetatif dan animalia—yaitu hidup sebagai hewan yang dapat berpikir. Dirinya meminjam istilah manusia menurut Aristoteles. Pada intinya, Asratillah mengharapkan hidup sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, dan saya sepakat dengannya bahwa inilah makna hidup (the meaning of life) yang sesungguhnya.
Berangkat dari kesadaran dan pemaknaan hidup yang ideal tersebut, maka saya sendiri dalam hidup ini memiliki pandangan bahwa menjalani kehidupan bukan hanya dengan “makan siang” dan “makan malam”, dan termasuk “sarapan pagi” bagi sebagian orang, seperti tuntutan dan kebiasaan saya. Hidup pun membutuhkan “buku”.
Manusia adalah makhluk yang bukan hanya terdiri dari dimensi fisik-biologis, melainkan termasuk pula dimensi psikis-mental-ruhaniah. Memenuhi kebutuhan gizi manusia terhadap dimensi pertama, tentunya melalui gizi makanan yang kita konsumsi. Sedangkan untuk dimensi kedua, pemenuhan “gizi”-nya salah satunya bisa melalui pengetahuan, makna-makna hidup, ibrah kehidupan, motivasi, hal inspiratif yang bisa diserap, di antaranya melalui buku-buku yang dibaca.
Buku menjadi instrumen untuk memenuhi kebutuhan “gizi” psikis-mental-ruhaniah manusia. Sikap adil terhadap diri sendiri, idealnya harus memenuhi kebutuhan gizi kedua dimensi tersebut. Hidup ideal, sejatinya bukan hanya dengan fokus membeli sesuatu yang dikategorikan sebagai sandang, papan, dan pangan atau pakaian, tempat tinggal, dan makan. Sejatinya sebagian rezeki yang diperoleh digunakan untuk membeli buku-buku.
Saya pribadi mulai berkomitmen untuk senantiasa berupaya membeli dan mengoleksi buku dimulai sejak bulan Mei 2004. Dan pada detik saat tulisan ini saya memulainya, koleksi pada Pustaka Pribadi “Cahaya Inspirasi” yang menghiasi ruang tamu rumah sederhana type 36 kami, telah berjumlah 1.045 eksamplar dengan genre bacaan yang sangat beragam: politik, filsafat, tasawuf, psikologi, sosial, agama, pengembangan diri, beberapa jenis kamus, dan lain-lain.
Sebelum mengawali untuk menjadikan aktivitas membeli buku sebagai kebiasaan positif dan komitmen membangun peradaban, sebenarnya sejak sekolah dasar dengan keterbatasan ekonomi yang dimiliki keluarga dan kondisi rezeki yang mengikuti siklus roda berputar atau sederhananya musiman, saya sudah mulai senang membeli buku-buku sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Kebiasaan koleksi buku dengan fondasi berupa komitmen yang kokoh terbangun sejak Mei 2004 itu, hingga kini terus bertahan dan menampakkan konstruksi yang semakin menginspirasi minimal bagi pencinta buku dan/atau ilmu. Jika meminjam istilah Kak Sulhan—sapaan akrab untuk Sulhan Yusuf, CEO Boetta Ilmoe—“telah terbangun sepetak surga” dalam gubuk kami. Dan ini dalam pandangan beliau, Kak Sulhan, adalah warisan terbaik bagi anak-cucu kelak.
Kebiasaan koleksi buku tersebut, dan sejatinya berdasarkan mekanisme kerja alam bawah sadar itu akan tersimpan dalam memori alam bawah sadar. Apapun yang tersimpan di dalamnya, jika kita memahami hierarki pengaruh psikis-fisik dalam diri setiap manusia, sebagaimana—salah satunya—bisa dipahami dengan baik dari pandangan Dedy Susanto (seorang psikolog), itu pengaruhnya akan sangat dahsyat, bisa memengaruhi dan menggerakkan kondisi-kondisi lainnya.
Relasi hierarkis psikis-fisik, mekanisme alam bawah sadar, dan berdasarkan teori habits (kebiasaan), mungkin itu yang sedang teraktivasi dalam diri sehingga suatu waktu ada kejadian dalam hidup yang tidak akan pernah terlupakan karena telah terpahat indah dalam benak ini. Kejadian tersebut ada hubungannya antara buku, makan siang, dan makan malam. Kejadian itu pulalah yang memantik lahirnya judul di atas, dan saya bertekad untuk menyelesaikannya, meskipun sempat tertunda beberapa hari karena kesibukan dan kewajiban di kantor KPU Kabupaten Bantaeng.
Pada tahun 2007, mudah-mudahan tidak salah ingat, saya tidak bisa makan siang dan makan malam karena uang habis setelah membeli buku. Pada saat itu, saya sedang kuliah di Universitas Hasanuddin, jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ) Program Beasiswa Kerjasama antara Kementerian Pendidikan Nasional dan Unhas. Program kuliah ini, mewajibkan kami menjalani perkuliaah selama dua pekan (14 hari) setiap bulan. Untuk diketahui oleh pembaca, bahwa memasuki semester keempat, saya memutuskan untuk berhenti kuliah.
Pada saat itu, saya numpang tinggal selama 14 hari setiap bulan di Asrama Himpunan Pelajar Mahasiswa Bantaeng (HPMB) yang terletak tidak jauh dari Unhas. Istilah yang melekat di asrama tersebut adalah “Bornip” (Borong nipa kepanjangannya, jika tidak salah). Di Asrama itu, tidak ada tradisi memasak di dapur, berdasarkan yang saya rasakan ketika itu. Jika mau makan harus ke warung yang harganya terjangkau bagi mahasiswa, dan selera makan saya yang sederhana tersedia juga di warung tersebut. Ada beberapa warung yang menunya hampir sama dan harganya pun semuanya terjangkau. Cukup dengan uang tiga ribu atau lima ribu setiap kali makan sudah memuaskan dan mengenyangkan.
Pada hari itu (lupa hari, tanggal dan bulannya), dosen sedang tidak masuk mengajar. Kami berkeliaran di sekitaran kampus. Saya sendiri memilih untuk jalan-jalan ke toko buku. Di toko buku, saya tertarik dengan buku 99Q, Kecerdasan 99: Cara Meraih Kemenangan Hidup Lewat Penerapan 99 Asma Allah (2006), karya Sulaiman Al-Kumayi MA. Saya memutuskan untuk membelinya, meskipun uang terbatas.
Setelah membeli buku tersebut, uang di dompet tersisa—jika tidak salah ingat—tujuh ribu. Saya sudah berhitung bahwa masih cukup untuk makan siang, dan makan malam. Dengan harapan bahwa keesokan harinya beasiswa akan cair, yang bisa digunakan untuk memenuhi biaya hidup beberapa hari bahkan termasuk untuk dibagikan dengan keluarga.
Namun, tiba-tiba sepulang dari toko buku dengan sisa uang di dompet cukup untuk makan siang dan malam, ada tugas dari dosen untuk melaksanakan ujian online, termasuk beberapa tugas tambahan yang harus diselesaikan pada hari itu. Untuk bisa melaksanakan tugas dari dosen tersebut, maka satu hal yang saya dan kami lakukan para mahasiswa TKJ-Unhas tersebut adalah ke warnet agar bisa mengakses jaringan internet untuk kebutuhan ujian online dan menyelesaikan tugas lainnya.
Atas tugas dari dosen tersebut, yang tidak bisa ditunda apalagi di antaranya adalah ujian yang menenentukan capaian akademik pada semester berjalan, sehingga meskipun dengan perasaan psikologis yang sedikit terasa berat, uang makan siang dan malam itu harus saya relakan. Akhirnya pada hari itu saya tidak makan siang dan malam.
Andaikan saya tidak membeli buku, tentu saja, saya tetap bisa menikmati makan siang dan malam di warung yang tidak jauh dari Asrama HPMB itu. Malam itu, ketika perut sudah mulai mencari kebiasaannya, saya hanya fokus berdo’a kepada Allah semoga kondisi ini, tidak membuat diri saya jatuh sakit. Inilah harga mahal yang harus saya bayar atas suatu kebiasaan yang telah mengakar kuat dalam alam bawah sadar, sehingga secara hierarkis-psikologis, seakan rasionalitas dan langkah antisipatif atas kebutuhan fisik, yang juga sangat penting, tidak melewati perhitungan matematis yang matang.
Meskipun maqam keilmuan, spirit membaca dan kebiasaan koleksi buku yang terbangun dalam diri ini belum selevel dengan para Mahaguru Peradaban, sebagaimana yang disebutkan oleh Suherman dalam buku karyanya Bacalah: Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban, namun minimal dalam kejadian tersebut di atas, saya bisa menunjukkan kondisi praksis terhadap apa yang ditegaskan oleh Suherman. “Buku merupakan bahan pokok yang lebih utama dari sembako”, itu kesimpulan Suherman.
Perilaku atau aktivitas membeli buku harus pula diupayakan untuk dibawa dalam mekanisme kerja alur pikiran (dan perasaan)-sampai nasib. Terkait alur ini, salah satunya bisa dipahami dengan baik dari buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu. Pada substansinya bahwa perilaku itu, harus dibiasakan dengan komitmen yang kuat. Artinya jika sudah dibiasakan maka kelak akan menjadi karakter. Dan berikutnya setelah menjadi karakter maka bisa diyakini akan menjadi takdir hidup (sebagai kolektor buku, istilah sederhana yang mungkin tidak tepat untuk semua situasi dan sikap).
Terkait kebiasaan koleksi buku, saya sering berpesan kepada adik-adik kader, termasuk pula ke peserta LDK OSIS sekolah-sekolah negeri. “Mumpung belum punya istri/suami, biasakanlah membeli buku sejak dini, dengan cara menabung sebagian uang jajan dari orang tua. Jika dibiasakan sejak dini, dan jika kelak sudah menjadi karakter, maka bisa dipastikan hati ini akan gelisah jika punya uang dan tidak membeli buku. Dan jika telah menjadi takdir hidup, maka yakin saja istri/suaminya kelak tidak akan melarang diri kita untuk membeli buku”, itu yang saya tegaskan kepada mereka.
Saya pribadi merasakan kegelisahan ketika melihat buku yang dijual, apalagi jika judulnya sesuai selera bacaan, lalu tidak membelinya. Bahkan saya punya kebiasaan, berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk membeli pakaian, tetapi khusus untuk membeli buku tidak membutuhkan pikiran panjang. Mungkin inilah yang bisa dimaknai bahwa aktivitas koleksi buku itu telah menjadi karakter.
Membeli buku sebagai satu hal yang membahagiakan, istri saya tidak pernah melarang bahkan tidak pernah menunjukkan raut wajah yang secara psikologis menunjukkan sikap protesnya. Bahkan tidak jarang, terhadap buku-buku tersebut dirinya ikut bersibuk-ria melabeli dan membungkusnya jika ada buku-buku baru.
Membangun kebiasaan membeli buku sejak dini, sebenarnya jika berdasarkan pengalaman pribadi, bukan hanya karena faktor banyaknya penghasilan. Kunci utamanya adalah komitmen yang kuat untuk “membangun sepetak surga” di dalam rumah, dan mempersiapkan warisan terbaik bagi anak-cucu.
Secanggih apapun teknologi hari ini, buku konvensional, buku versi cetak masih yang terbaik, apalagi ketika kita memahami sebagian penegasan Nicholas Carr dalam buku karyanya The Shallows. Kebiasaan membaca melalui perangkat teknologi, berdasarkan yang saya pahami dari Carr, itu akan melumpuhkan semangat membaca kita. Berbeda dengan membaca melalui buku versi cetak, selain membangun relasi dan jarak psikologis yang lebih dekat antara pembaca dan penulisnya atas sentuhan langsung dengan dimensi material buku tersebut, termasuk pula tidak memberikan efek negatif terhadap minat membaca kita.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.