Muhammadiyah dan Stadion Manahan dalam Lintasan Sejarah

Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48

Stadion Manahan Solo Tempat Pembukaan Muktamar Muhammadiyah - 'Aisyiyah 2022 Dok Media Afiliasi

Muhammadiyah dan Stadion Manahan

Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan, pembukaan Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah jatuh pada hari Sabtu, 19 November 2022 di Stadion Manahan, Solo. Lokasinya sangat strategis; sarana transportasi mudah; dan punya fasilitas yang memadai, maka tidak heran jika Stadion Manahan juga dipilih sebagai lokasi ajang Piala Dunia U-20 2023 mendatang.

Stadion Manahan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 21 Februari 1998. Butuh waktu sembilan tahun untuk membangun stadion tersebut. Ia disebut juga sebagai mini Stadion Utama Gelora Bung Karno karena memiliki beberapa fasilitas mewah dengan kapasitas penonton 20.000 orang. Di Kawasan Stadion Manahan juga ada beragam fasilitas olah raga, seperti kolam renang, GOR manahan, lapangan basket, taman, restaurant, dll.

Nama Manahan dipilih sebagai nama stadion, bukan bermula dari tempat memanah. Nama itu berasal dari nama tokoh legendaris pada abad 15, periode Mataram Islam, Ki Ageng Pemanahan (w 1584 M). Ia lama menetap di daerah tersebut, dan membuat semacam pondok (padepokan), yang menjadi cikal-bakal nama Depok (nama kampung di belakang Stadion Manahan). Kemudian hari, ia dikenal sebagai Raja Mataram yang daerah kekuasaannya sangat makmur.

Ki Ageng Pemanahan mempunyai nama kecil Bagus Kacung. Ia keturunan dari Maulana Maghribi II. Saat dewasa, ia menikahi saudara sepupunya sendiri, Nyai Sabinah, keturunan dari Sunan Giri. Pendidikan Ki Ageng Pemanahan diperoleh dari berguru ke Sunan Kalijaga, tokoh yang memiliki pengaruh luas di beberapa kerajaan Islam Jawa, seperti Demak, Pajang dan Mataram.

Suatu ketika, Ki Ageng Pamanahan mendapatkan hadiah tanah Mentaok (Mataram) dari Sultan Hadiwijaya atau dikenal dengan Jaka Tingkir. Mentaok merupakan daerah bekas kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno yang telah runtuh. Seiring berjalannya waktu, daerah tersebut makin sepi dan akhirnya tertutup hutan lebat.

Dengan optimisme dan semangat pembaharuannya, Ki Ageng Pamanahan menularkan hal itu ke keluarga dan orang terdekat, meski ada saja yang menolaknya. Pada tahun 1577, ia pindah ke Mentaok (Mataram) untuk membabat hutan Mataram dan membuka pemukiman baru yang kemudian menjadi daerah pemukiman yang Makmur dan dikunjungi banyak saudagar asing. Daerah itu kemudian dikenal dengan Kotagede.

Sejarah pun terulang kembali. Ki Ageng Pamanahan telah melakukan sesuatu yang “anti mainstream” dan berani di zamannya. Empat abad kemudian lahirlah KH. Ahmad Dahlan. Ia tidak mendirikan kerajaan, ia mendirikan organisasi Muhmmadiyah tahun 1912 di kampung Kauman, Yogyakarta. Melalui 3 pilarnya: Pendidikan; Kesehatan; Ekonomi dengan tampilan yang modern melampaui zamannya yang masih lestari dan akan terus menyinari semesta.

Pembukaan Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Stadion Manahan, Solo bukan serimonial belaka, namun juga mengingatkan kita akan dua tokoh hebat dibalik nama Muhammadiyah dan Manahan. Keduanya sudah tiada, namun jasanya tetap menginspirasi dan terkenang selamanya. Selalu ada orang-orang hebat di balik sebuah perjuangan. Selamat dan Sukses Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di Stadion Manahan. Semoga memberikan kemaslahatan bagi ummat dan mewujudkan “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.” (Umair)

Exit mobile version