SURAKARTA, Suara Muhammadiyah-Sidang Pleno II muktamar Muhammadiyah ke-48 dengan agenda Pidato Iftitah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, berlangsung di gedung Edutorium UMS, 19 November 2022. Haedar Nashir menekankan bahwa Muhammadiyah menjadi satu-satunya organisasi Islam terbesar dan tertua yang mampu bertahan hingga hari ini. Meskipun demikian, Muhammadiyah menghadapi tantangan-tantangan yang bersifat lokal, nasional, dan global.
Sebab itu, Haedar Nashir menyebut sejumlah agenda dakwah dan tajdid yang perlu menjadi perhatian khusus lima tahun ke depan agar Muhammadiyah dapat menjadi kekuatan strategis yang berpengaruh dalam memimpin masa depan umat dan bangsa.
Pertama, peneguhan paham keislaman dan paham ideologi Muhammadiyah. “Ideologi itu perlu ditanamkan secara simultan dan menyeluruh,” ujar Haedar. Muhammadiyah telah memiliki pandangan keislaman dan pemikiran-pemikiran kemuhammadiyahan yang baku dalam berbagai aspek kehidupan, seperti Manhaj Tarjih, Muqaddimah ADM, Kepribadian, MKCH, GJDJ, Khittah, PHIWM, Dakwah Kultural, Pernyataan Abad Kedua, Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syahadah, dan lain-lain. Pemikiran-pemikiran keislaman dan kemuhammadiyahan tersebut merupakan landasan ideologis yang menjadi karakter khas dan pembeda Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dibanding dengan gerakan yang lain.
Dalam kontes ini, Haedar Nashir mengajukan pertanyaan penting, “Apakah nilai-nilai ideologi gerakan Muhammadiyah tersebut sudah tertanam kuat (internalisasi) dan melembaga (institusionalisasi) di kalangan anggota, kader, dan pimpinan serta segenap institusi di seluruh lingkungan Persyarikatan? Apakah semua sudah berjiwa, berpikir, bersikap, dan bertindak dengan rujukan dan bingkai ideologis Muhammadiyah? Apakah paham keislaman dan kemuhammadiyahan semua anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah sudah sejalan dengan dasar dan pemikiran tersebut?”
Kedua, perluasan dan penyebarluasan pandangan Risalah Islam Berkemajuan. Risalah Islam Berkemajuan yang disusun oleh tim PP Muhammadiyah ini perlu diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di tengah arus baru kehidupan sehari-hari sebagai reaksi atas era disrupsi, globalisasi, dan modernitas yang dianggap mengancam keberagamaan atau keislaman, Muhammadiyah penting mengisi ruang sosiologis keislaman yang berwawasan pencerahan dan berkemajuan agar umat dan warga bangsa memperoleh bimbingan, panduan, dan arah keislaman yang tetap berada dalam koridor Islam sejalan pandangan Muhammadiyah. “Muhammadiyah penting hadir secara aktif dalam menyebarluaskan dan menawarkan orientasi religius Islam yang di satu pihak dapat menjadi obat penawar kehausan beragama di tubuh umat yang benar secara akidah dan ibadah tetapi juga mampu membimbing umat dalam akhlak dan muamalah yang dinamis, mencerahkan, dan berkemajuan,” katanya.
Ketiga, memperkuat dan memperluas basis umat di akar rumput. Muhammadiyah tidak mengandalkan massa yang besar, tetapi kualitas yang yang hebat. “Dalam konteks dakwah Islam sebagai strategi kebudayaan penting bagi Muhammadiyah mereaktualisasikan Dakwah Kultural dan Dakwah Komunitas agar dibangun suatu peta-jalan (road-map) untuk pengembangan Muhammadiyah dalam struktur masyarakat Indonesia yang majemuk dan tengah menghadapi perubahan besar. Agar Muhammadiyah dapat diterima seluas mungkin oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan dan golongan sosial.”
Keempat, pengembangan amal usaha unggulan dan kekuatan ekonomi. “Kita sungguh bersyukur berbagai Amal Usaha Muhammadiyah tumbuh mekar. Tiada hari tanpa peresmian gedung dan peletakan batu pertama. Amal usaha menjadi jalan untuk berdakwah,” ulas Haedar Nashir.
Menurutnya, diperlukan peta jalan pengembangan amal usaha MuhammadiyahAisyiyah yang unggul-berkemajuan. Segenap sumberdaya dan usaha mesti difokuskan pada strategi meraih keunggulan amal usaha Muhammadiyah dan Aisyiyah. Jika terlambat maka boleh jadi amal usaha Muhammadiyah-Aisyiyah akan ketinggalan atau mengalami stagnasi. Para pimpinan di Persyarikatan dan Amal Usaha harus fokus memikirkan dan melakukan usaha strategis tersebut.
Kelima, Berdakwah bagi Milenial, Generasi Z dan Generasi Alpha. Muhammadiyah saat ini berada dalam era menghadapi generasi baru yang dikenal sebagai generasi milenial (generasi Y), generasi Z, dan Post-Z atau generasi Alpha. Jumlah mereka secara sensus, mencapai 60 persen. Bagaimana Muhammadiyah hadir ke kelompok milenial ini. “Kita punya sekolah, tetapi belum punya pengalaman menghadapi generasi baru,” ungkapnya.
Keenam, Reformasi kaderisasi dan diaspora kader ke berbagai lingkungan dan bidang kehidupan. Muhammadiyah saat ini berfastabiqul-khairat dengan berbagai pihak dalam mengisi ruang struktur dan ekosistem kehidupan dengan menempatkan kaderkadernya yang berintegritas dan berkeahlian hingga di berbagai aspek kehidupan. “Para kader Muhammadiyah dengan integritas iman, kepribadian, dan nilai-nilai utama yang diajarkan Islam dan tradisi Kemuhammadiyahan harus mampu berdiaspora di berbagai lapangan dan ranah kehidupan,” katanya.
Ketujuh, Digitalisasi dan intensitas internasionalisasi Muhammadiyah. Digitalisasi merupakan proses yang niscaya bagi Muhammadiyah saat ini dan ke depan, sebagai proses pengalihan informasi dalam bentuk analog ke bentuk digital yang sepenuhnya menggunakan teknologi digital, sehingga informasi bisa diperoleh dan ditransmisikan melalui peralatan dan jaringan internet yang cepat, mudah, akurat, dan bergerak secara sentrifugal yang meluas. “Proses digitalisasi juga menjadi penting satu paket dengan gerakan literasi Muhammadiyah untuk mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta,” tukas Haedar Nashir. (ribas/gsh/budi)