Sang Surya dari Pesisir Pantai Utara: ASA
Oleh: Ismet Laili Rachmawati
Lahirnya Sang Calon Pejuang
Selasa, 20 Desember 1966 bertepatan dengan bulan Sya’ban menjelang Ramadan, di desa Kalinyamat Kulon, Tegal, lahir anak kedua dari pasangan Ahmad Djazuli dan Chotimah. Awalnya, dia diberi nama Sarifudin, tetapi kemudian berganti menjadi Alif Sarifudin. Banyak orang mempertanyakan filosofi dari nama tersebut, mengingat Alif merupakan huruf pertama dalam abjad hijaiyah. Sementara Alif Sarifudin adalah anak kedua dalam keluarganya. Jawaban dari pertanyaan tersebut ternyata berasal dari sang kakak yang apabila ditanya siapa nama adiknya, dia menjawab “Alifudin” karena lidah kanak-kanaknya belum bisa melafalkan huruf “r” dengan jelas. Sejak itu, Sarifudin bayi mendapat tambahan nama depan Alif. Nama itu pula yang tercatat di dalam surat kenal lahir.
Alif kecil hidup dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Selain ayah dan ibunya, sang nenek juga tinggal serumah dengannya. Ayahnya seorang petani penggarap berasal dari daerah Pasar Batang Brebes. Dalam bekerja mengolah sawah, beliau dibantu sang istri yang seorang ibu rumah tangga. Pada masa itu, beras merupakan makanan yang langka. Hanya orang-orang kaya yang bisa menikmatinya.
Begitu juga keluarga Pak Ahmad Djazuli. Sehari-hari mereka mengonsumsi nasi jagung atau gaplek yang terbuat dari singkong. Kalaupun bisa menikmati nasi, jenis nasi aking-lah yang mereka makan. Nasi jenis itu berasal dari nasi basi, sisa-sisa makan orang kaya, kemudian dicuci dan dijemur sampai kering. Biasanya ada penjaja beras aking keliling. Orang-orang berebut membeli sebab harganya relatif murah.
Meskipun kehidupan ekonomi mereka sangat kurang, penanaman akidah dan tauhid menjadi prioritas utama bagi pasangan muda tersebut.
Melaksanakan salat fardu lima kali dalam sehari, telah diwajibkan oleh Pak Djazuli kepada Alif dan kakaknya, Misbakhul Munir, sejak mereka kecil. Begitu pun salat malam, tidak luput dari pengawasan beliau. Setiap hari, di dua pertiga malam, beliau membangunkan kedua anaknya untuk qiyamul lail dilanjutkan menyimak bacaan al-Qur’an sang ayah hingga datang waktu salat Subuh.
Tidak ketinggalan ibadah puasa di bulan Ramadan, yang sudah diamalkan oleh Alif kecil di saat sebagian besar teman bermainnya belum mengenal apa itu puasa. Sang ibu mempunyai andil cukup besar dalam mendampingi sekaligus memberi pengertian tentang keutamaan ibadah-ibadah tersebut kepada Misbakh, Alif, serta kelima anaknya yang lain.
Mengejar Asa ke Ibukota
Ketika Alif duduk di bangku SMP, keluarga mereka diterpa badai. Berawal dari keinginan untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya, Pak Djazuli menjalin kerjasama (bisnis) dengan salah seorang santriwati dari sebuah pondok pesantren tempat beliau mengajar. Takdir kemudian justru mengantarkan Pak Djazuli dan sang santriwati ke jenjang pernikahan. Kehadiran orang ketiga dalam biduk rumah tangganya, membuat Bu Chotimah kehilangan sosok untuk berbagi tanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya. Itu sebabnya, beliau pun merelakan Alif menyusul sang ayah ke Ibukota, selepas SMA.
Tiba di Ibukota, Alif remaja membantu ibu tirinya berdagang makanan di warung tegal milik sang ayah. Setiap hari, dari pagi hingga petang Alif berkutat di warteg sang ibu. Sementara Pak Djazuli, ayahnya, tetap menjalankan aktivitas dakwah berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya.
Kendati demikian, Alif tidak tinggal bersama Pak Djazuli dan istri beliau. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Kontrakan sang ayah hanyalah sebuah rumah petak tanpa sekat. Oleh karenanya, Alif memilih masjid atau musala untuk dia tidur di malam hari. Hampir satu tahun dia menjalani kehidupan seperti itu.
Di tahun kedua Alif merantau, dia meminta izin kepada ayahnya untuk berjualan sendiri. Sang ayah pun menyetujui. Pertama, Alif berjualan mi ayam. Karena hasilnya tidak menguntungkan, dia lalu beralih ke usaha warteg, mengikuti jejak ayah dan ibu tirinya. Namun, usaha yang kedua itu pun tidak memberikan hasil yang menjanjikan.
Akhirnya, untuk sementara waktu Alif menghentikan usaha mandirinya dan kembali membantu ibunya di warteg. Saat itu, benaknya dipenuhi keinginan untuk menimba ilmu. Latar belakang dia sebagai murid teladan pada saat bersekolah dulu, sangat mempengaruhi alur berpikirnya.
Dengan tekad kuat, Alif memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya itu kepada sang ayah. Gayung pun bersambut. Pak Djazuli mengarahkan Alif untuk mengikuti kajian-kajian agama yang marak dilaksanakan di masjid-masjid di Jakarta.
Setiap hari Sabtu dan Minggu, Alif dibebaskan dari pekerjaannya di warteg. Dia memilih untuk mengikuti kajian di kampus IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) di daerah Ciputat. Secara kebetulan, letaknya berdekatan dengan lokasi warteg orangtuanya. Selain pertimbangan tidak perlu mengeluarkan ongkos transportasi, Alif juga berpikir ingin kuliah di kampus tersebut suatu saat nanti.
Hari demi hari dilalui dengan rutinitas yang sama. Hingga kebosanan kembali muncul dalam diri Alif. Suatu siang usai kajian rutin, Alif berbincang dengan seorang pemuda peserta kajian. Dia adalah mahasiswa di kampus itu. Dari perbincangan tersebut, Alif menemukan jalan untuk mewujudkan keinginannya berkuliah. Sang pemuda memberi ide kepada Alif untuk kuliah sambil berdagang gorengan. Dengan pertimbangan modal tidak terlalu besar, namun banyak peminatnya. Sebab harga gorengan lebih terjangkau di kantong mahasiswa.
Setelah berdiskusi dengan sang ayah, Alif mulai berjualan sembari menunggu masa pendaftaran mahasiswa baru dibuka. Di tahun 1989 Alif memulai aktivitasnya sebagai mahasiswa sekaligus penjual gorengan. Semangat tinggi disertai doa, membuahkan hasil yang diharapkan. Tepat empat tahun, Alif menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah.
Pada masa kuliah, selain berjualan gorengan, Alif tetap meluangkan waktunya untuk mempelajari bahasa Arab dan pelatihan dakwah di berbagai pesantren. Dia tidak pernah membiarkan dirinya berleha-leha barang sekejap. Yang dia pikirkan saat itu hanyalah berjuang untuk masa depannya.
Berbekal ijazah sarjana dan kemampuan berbahasa Arab yang dia miliki, Alif melamar pekerjaan di sebuah Yayasan Perguruan Islam di Jakarta, dan dia diberi tugas mengajar SD, SMP dan SMA di sana. Selain itu, Alif juga berdakwah berkeliling kampung dari satu masjid ke masjid lainnya.
Bertemu Jodoh dan Menyempurnakan Setengah Agama
Sekitar tiga tahun setelah Alif bergelar sarjana dan bekerja menjadi guru di Jakarta, sang ibu memintanya untuk pulang dan menetap di kampung halaman mereka. Demi rasa baktinya kepada sang ibu, dia pun memenuhi permintaan itu. Setelah mengundurkan diri dari tempat bekerjanya yang lama, dia melamar sebagai guru honorer di SMP Muhammadiyah 2 Tegal. Di tempat itu pula Alif bertemu dengan Erlina. Seorang gadis berparas cantik yang juga berprofesi sebagai guru.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi keduanya untuk memupuk benih cinta yang telah bersemayam. Mereka pun melangsungkan pernikahan, menyempurnakan setengah agama.
Tepat satu tahun setelah menikah, Bu Erlina melahirkan anak pertamanya. Azkia Nasher Elghizari, lahir pada tanggal 26 Desember 1996. Tidak berselang lama dari kelahiran Azkia, Pak Alif lulus dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan ditempatkan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Tegal.
Pada tahun 2000, tepatnya tanggal 14 Agustus, lahir anak kedua dari pasangan muda tersebut yang diberi nama Mohammad Dipta Aditya. Pada tahun 2004, di usianya yang masih kanak-kanak, Azkia, si sulung, dipanggil kembali menghadap Sang Pemilik disebabkan sakit menahun yang diderita sejak balita. Kendati berbagai upaya telah ditempuh, namun Allah berkehendak lain.
Kemudian, secara berurutan Bu Erlina melahirkan anak ketiga dan keempat, yakni Zulfa Al Muthi’ah (2005) dan Nida An Naziah (2006). Sementara itu, keinginan melanjutkan ke jenjang pendidikan pasca sarjana yang sempat tertunda, kembali muncul. Bu Erlina mendukung keinginan sang suami. Secara kebetulan saat itu ada pendaftaran program bea siswa S2 untuk guru dan tenaga kependidikan di Departemen Agama setempat. Tanpa membuang kesempatan, Pak Alif mendaftarkan diri dan lolos. Alhamdulillah.
Berdakwah Bahagiakan Umat
Perjalanan menempuh jenjang pasca sarjana di UI Jakarta nyaris dilalui tanpa kendala yang berarti. Hanya soal jarak yang memisahkan Pak Alif dengan istri dan ketiga anaknya. Namun, masalah itu pun bisa mereka lalui. Kurang dari dua tahun waktu yang dibutuhkan Pak Alif untuk menyelesaikan program bea siswanya. Kembali ke tengah keluarga tercinta, dengan gelar Magister Humaniora, Pak Alif disibukkan dengan pekerjaan inti sebagai abdi negara sekaligus mubaligh. Ya. Seiring waktu, tawaran untuk mengisi ceramah datang dari berbagai kelompok pengajian. Kemampuan beliau dalam berdakwah semakin diakui banyak pihak. Hal itu tidak lantas membuatnya berpuas diri. Sebaliknya, beliau terus menimba ilmu, memperluas wawasan, untuk kemudian beliau tularkan kepada para jemaahnya. Selain itu, dukungan keluarga pun sangat berperan dalam kegiatan dakwah Pak Alif.
Pada tahun 2009, tepatnya bulan November, Pak Alif bersama istri pergi ke baitullah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Cerita yang diungkapkan oleh Bu Erlina, sang istri, keberangkatan mereka ke tanah suci sungguh di luar dugaan. Secara ekonomi, mereka bukanlah golongan orang mampu. Untuk pelunasan ONH pun mereka menjual sepetak tanah yang luasnya tak seberapa. Uang sisa dari pelunasan lantas mereka bagi dua. Sebagian untuk bekal ke tanah suci, sebagian lagi ditinggalkan untuk nafkah ketiga anak mereka di tanah air. Masyaallah.
Sepulang dari tanah suci, Pak Alif diberi amanat untuk menjadi Pimpinan Muhammadiyah Cabang Margadana. Pada tahun 2016, beliau terpilih sebagai pembimbing haji di KBIH Aisyiah Kota Tegal. Kemudian beliau juga mendapat panggilan untuk mengikuti Uji Sertifikasi Pembimbing Haji Kementrian Agama Republik Indonesia Tahun 2018 dan berhasil.
Selain mengantongi dua sertifikat sebagai pembimbing haji dan sebagai Ketua PCM Margadana, Pak Alif juga duduk dalam jajaran dewan penasehat Masjid Jendral Soedirman di kampung beliau. Sebetulnya masjid tersebut awalnya hanya sebuah musala kecil. Jemaahnya pun tidak banyak. Setiap hari, Pak Alif mengajak istri dan anak-anaknya untuk salat berjamaah di sana. Beliau mengumandangkan azan, ikamah, sekaligus menjadi imam salat. Di bulan Ramadan, Pak Alif dan istri menyediakan takjil dari uang pribadi. Tanpa minta bantuan donasi dari siapa pun. Kegigihan Pak Alif dan keluarga kecilnya akhirnya membuahkan hasil. Jemaah musala terus bertambah. Warga setempat meminta Pak Alif untuk membentuk kepengurusan musala yang kemudian berkembang menjadi masjid.
Indahnya Skenario Allah
Skenario Allah memang sungguh indah. Begitulah yang dirasakan oleh Pak Alif. Di tahun 2018, sang putra, M. Dipta, yang saat itu tengah menimba ilmu di Pondok Pesantren Tazakka Kota Batang, mengalami ujian. Kondisinya cukup parah, hingga dia harus dipindahkan ke rumah sakit daerah dengan fasilitas yang lebih lengkap. Saat sakit diderita Mohammad Dipta Aditya, Allah menyayangi adiknya Nida Haifa An-Nazihah, yang wafat pada tanggal 4 Maret 2018 M. bertepatan dengan 16 Rajab 1439 H.
Laha ma kasabat. Allah menjanjikan pahala bagi hamba-Nya yang ikhlas dengan setiap takdir-Nya. Ikhlas, sungguh sebuah kata yang tidak mudah untuk dibuktikan. Usai ujian yang betubi-tubi, Bu Erlina jatuh sakit. Hampir dua tahun beliau terbaring di tempat tidur, tanpa aktivitas lain, selain salat dan membaca al-Qur’an. Makan, mandi, bahkan bercakap-cakap pun, beliau enggan. Beliau mengundurkan diri dari pekerjaannya. Keluarga, sahabat, kerabat silih berganti datang menghiburnya.
Kesabaran, keuletan serta kegigihan Pak Alif dalam hidup, membawa beliau kepada kedudukan yang meningkat. Amanat dan ujian terus menghampiri beliau. Badai kehidupan telah beliau lalui. Sang istri berangsur pulih dari sakit panjangnya. Begitu pula putra keduanya, setelah menjalani tiga kali operasi tulang, dia dapat kembali berjalan tanpa bantuan tongkat. Pak Alif memindahkan putranya tersebut dari pondok pesantren sebelumnya, ke Madrasah Aliyah Negeri di Tegal. Hal ini sesuai keinginan Bu Erlina untuk berkumpul bersama dua anak beliau yang masih ada.
La Takhaf Wa La Tahzan
Di mata penulis, Bapak Alif Sarifudin Ahmad (ASA) adalah seorang guru, mubaligh, sekaligus sahabat yang sederhana. Awal perkenalan penulis dengan Pak Alif dan Bu Erlina terjadi pada tahun 2009. Saat itu penulis bersama suami tergabung dalam satu kelompok bimbingan haji dengan Pak Alif beserta istri, di KBIH Aisyiah. Kebersamaan selama lebih kurang dua bulan, berlanjut menjadi silaturahmi dua keluarga hingga kini.
Pak Alif, tidak pernah lelah berdakwah. Ber-amar makruf nahi munkar. Ada lawan, namun banyak kawan. Beliau tidak takut menyampaikan kebenaran, namun dengan jalan damai. Beliau terkesan lembek, menurut penulis. Tidak suka kekerasan, bahkan ketika beliau diserang. Kurang cepat mengambil keputusan, namun gigih dalam berjuang.
Kekinian, beliau tidak hanya berdakwah secara tatap muka, namun juga melalui media sosial. Konten dakwahnya bisa dijumpai di channel youtube ASA. Selain itu, beliau juga menulis kumpulan esai yang sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Meraih Bahagia Dunia Akhirat. Karya beliau lainnya, biografi berjudul Gerobak Bodol Dipakoni berisi perjalanan hidup seorang tokoh Muhammadiyah dan pebisnis dari Tegal, bernama KH. Nadhirin Maskha.
Meski jalan berliku beliau hadapi, pun tidak jarang konflik dan kritik beliau dapati, namun prinsip beliau untuk tidak takut dan tidak bersedih, senantiasa beliau pegang teguh. Alih-alih menggurui, beliau memilih untaian kalimat puitis berisi pesan kehidupan, yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumbernya.
Sang surya dari pesisir pantai utara telah bersinar. Semoga cahayanya akan terus menerangi bangsa ini melalui bait-bait puisi penuh nasihat dalam kebenaran dan kesabaran.
ASA, Alif Sarifudin Ahmad, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Tegal.
Ismet Laili Rachmawati. Seorang ibu rumah tangga berprofesi guru. Alumni IKIP Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Negeri Semarang