Kedahsyatan Doa (6)

Imam

Foto Ilustrasi

Kedahsyatan Doa (6)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Di dalam Suara Muhammadiyah edisi 2022/11/14, disajikan Kedahsyatan Doa (5). Ada contoh kisah nyata yang disajikan pada edisi tersebut, yaitu (1) ucapan ibu as-Sudais menjadi kenyataan: as-Sudais menjadi penghafal al-Qur’an dan imam Masjidil Haram dan (2) doa ibu Mbak Nugraheni menjadi kenyataan; Mbak Nugraheni mendapat pekerjaan yang lebih baik daripada sebelumnya.  Di samping itu, disajikan pula beberapa kisah nyata sumpah serapah ibu yang menjadi kenyataan. Pelajaran yang harus kita ambil adalah orang tua, terutama ibu, ketika berbicara dan memanggil anaknya, harus dengan kata-kata yang mengandung doa kebaikan bagi anaknya. Pelajaran lain yang perlu diperhatikan pula adalah bahwa sumpah serapah sama sekali tidak boleh diucapkan oleh orang tua, apalagi oleh ibu, kepada anaknya.

Pada edisi tersebut disajikan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam surat an-Nahl (16): 114, yang artinya “Maka, makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”

Selain itu, disajikan pula kutipan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam HR Abu Dawud yang artinya, “Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi.”

Dipaparkan juga HR Muslim, yang artinya, “… kemudian beliau (Nabi) menuturkan seorang lelaki yang memanjangkan perjalanannya, kusut rambutnya, lagi berdebu, dia mengulurkan tangannya ke langit (seraya mengucapkan), “Wahai, Tuhanku! Wahai, Tuhanku! (berdoa kepada Allah), padahal makanannya barang haram, minumannya barang haram, yang dipakainya barang haram, dan yang diberi makan barang haram, maka bagaimana akan dikabulkan doanya yang demikian itu?” Yang terakhir, berkenaan dengan itu, disajikan Tafsir Ibnu Katsir, yang artinya, “Sesungguhnya, orang yang melemparkan sesuap barang haram di dalam perutnya, Allah tidak akan menerima doa darinya empat puluh hari.”

Para ahli tafsir hadis menjelaskan bahwa orang yang dimaksud oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam HR Muslim tersebut adalah orang yang beribadah haji. Jadi, meskipun doa itu diucapkan oleh orang yang berbadah haji, jika dia makan barang haram, minum barang haram, memakai barang haram, dan yang diberinya makan barang haram, doanya tidak dikabulkan.

Dalam hubungannya dengan doa, perlu kita pahami baik-baik bahwa rezeki yang haram menjadi penyebab tertolaknya doa. Jadi, agar doa dikabulkan, kita harus makan, minum, memakai, dan menafkahi dari rezeki yang halal.

Pada Kedahsyatan Doa (6) ini disajikan kisah nyata yang masih berkaitan dengan membuka lebar-lebar pintu rezeki melalui rezeki yang halal.

Mengamini Doa pun Didengarkan

Sore hari. Saya di rumah. Telepon berbunyi. Saya tidak tahu dari siapa. Waktu itu gawai baru dimiliki oleh beberapa orang dan saya belum termasuk orang yang memilikinya.

“Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh.” Saya menerimanya.

“Adi.”

“Oh, ya, Mas. Bagaimana kabar di Aceh?”

“Alhamdulillah. Saya sehat, Pak!”

“Alhamdulillah! Saya senang sekali mendengarnya.”

Adi sudah beberapa bulan bertugas di Aceh untuk membantu melakukan recovery setelah tertimpa tsunami 2004, yang memakan korban 227.898 jiwa. Dia merupakan pimpinan salah satu tim.

“Mau tanya. Ini teman-teman saya ada yang nekat mengambil barang-barang di bawah puing-puing toko yang terkena tsunami. Ada cicin, kalung, gelang, dan lain-lain. Bagaimana ini, Pak?”

“Nggak boleh jika dimaksudkan untuk dimilikinya. Haram, Mas.”

“Saya sudah mengingatkannya, tetapi mereka nekat.”

“Mas Adi, tidak usah ikut-ikutan.”

“Siap, Pak!”

“Mas Adi. Sudah melaksanakan kewajiban mengingatkannya. Insya-Allah tidak berdosa! Saya doakan Mas Adi nanti mendapat ganti rezeki dari Allah yang jauh banyak.”

“Siap, Pak. Aamiin.”

“Mas Adi harus yakin bahwa ganti dari Allah pasti mendatangkan keberkahan. Mendatangkan kemuliaan dunia akhirat!”

“Aamiin. Siap, Pak!”

Mas Adi dan teman-teman yang sebaya sejak kecil memang serius mengaji dan salat. Ketika belajar di SMA, dia aktif di Rohis. Melalui Rohis, dia dan teman-temannya mengadakan kajian Islam secara rutin. Ada juga kajian yang diselenggarakan secara insidental, yakni pada hari-hari besar Islam.

Di kampung dia aktivis remaja masjid. Dengan teman-temannya, dia mengadakan wisata dakwah bagi anak-anak kecil. Kegiatan itu biasanya berlangsung pada hari libur dan pagi hari ini. Wisata dakwah diselenggarakan dengan jalan-jalan untuk mengenal lebih dekat ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’aala. Di tempat-tempat tertentu, jika ada tanaman yang indah dan disukai oleh anak-anak, Mas Adi dan teman-temannya mengajak anak-anak untuk mengamati tanaman itu. Lalu, dijelaskanlah ihwal tanaman itu dan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’aala.  Demikian pula jika ada binatang yang menarik perhatian anak-anak.

Ada hal lain yang menarik juga. Menjelang waktu salat magrib dan isya, Mas Adi dan teman-temannya 10 menit sebelum azan berkumandang, sudah menuju ke masjid. Lebih-lebih lagi, ketika libur sekolah. Setiap menjelang waktu salat mereka yang tinggal berdekatan berangkat bersama ke masjid 10 menit sebelum azan berkumandang.

Olahraga pun menjadi bagian dari kegiatannya. Dia suka dan pintar bermain pingpong. Bahkan, dia pernah memperoleh beasiswa karena menjadi juara pingpong.

Mas Adi tahu kata kunci agar doanya dikabulkan Allah Subhanahu wa Ta’aala, yakni menaati perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Dia memahami juga bahwa balasan bagi orang yang bertakwa sangat banyak. Balasan itu diperolehnya, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika hidup di dunia, dia disenangi oleh sesama manusia sehingga didoa­kan­nya. Bahkan, didoakan tidak hanya oleh sesama orang yang baik, tetapi juga semut. Lebih hebat lagi, malaikat juga mendoakannya.  Jika malaikat pun ikut mendoakan, mana mungkin tertolak?

Kira-kira dua pekan setelah kembali bertugas di Jakarta, dia menelepon saya. Dari suaranya, saya memperoleh kesan bahwa dia sangat bahagia.

“Pak Udin. Alhamdulillah. Benar kata Pak Udin.”

“Ada apa, Mas?”

“Allah memberi saya rezeki dari arah yang tidak saya duga-duga dan jumlahnya berlipat ganda dari yang dibawa teman-teman.”

“Dan halal!” Saya cepat menyambung.

“Ya, halal, Pak.” Dia menekankan.

“Alhamdulillah! Percayalah, Mas. Dengan rezeki yang halal, keberkahan pasti dicurahkan untuk Mas Adi. Rezeki halal, membuka pintu keberkahan!”

“Siap! Aamiin!”

“Tetaplah menjemput rezeki halal dengan cara yang halal juga.”

“Siap!”

Pelajaran di dalam Kisah Mas Adi

Ada pelajaran sangat penting yang harus kita petik dari kisah Mas Adi. Dia memperoleh rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Hal itu sesuai dengan janji Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat ath-Thalaq (65) 2, 3, dan 4, yakni

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar … ”

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ

“Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. …. ”

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا

“Dan barangsiapa yang betakwa kepada Allah, nisca­ya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusan­nya.”

Dalam hubungannya dengan kisah Mas Adi, perlu diketahui amalan apa saja yang telah dan terus dilakukannya. Ibarat gawai pada diri Mas Adi sudah ada piranti yang diperlukan untuk tersambungnya ucapan aminnya dengan janji Allah Subhanahu wa Ta’aala dalam hal mengabulkan doa. Piranti itu adalah Islam, iman, dan yang paling utama adalah takwa.

Pada sisi lain, “Gawai Adi” itu on sesuai dengan ketetapan waktu yang ditentukan, terutama antara azan dan ikamah sebagaimana dijelaskan di dalam hadis yang artinya, “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ditolak doa yang dipanjatkan pada waktu antara azan dan ikamah.”

“Gawai Adi”  itu pun on lebih-lebih pada waktu salat asar dan waktu salat subuh. Kedua waktu salat itu sangat istimewa. Pada waktu salat asar, malaikat yang bertugas siang masih melaksanakan tugas, sedangkan malaikat yang bertugas malam sudah hadir. Mereka mencatat semua amal kebaikan untuk dilaporkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Pada waktu salat subuh, malaikat yang bertugas malam masih bertugas, sedangkan malaikat yang bertugas siang sudah hadir. Mereka mencatat semua amal kebaikan untuk dilaporkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala.

Hal itu dijelaskan di dalam HR Abu Hurairah, yang artinya, “Malaikat malam dan malaikat siang datang bergantian kepada kalian. Mereka berkumpul pada salat subuh dan salat asar. Kemudian, naiklah malaikat yang telah bertugas malam di tengah-tengah kalian. Lalu, Allah bertanya kepada mereka—padahal Dia lebih mengetahui tentang mereka— “Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?” Mereka menjawab, “Kami meninggalkan mereka ketika mereka sedang salat dan kami mendatangi mereka ketika mereka sedang salat (Muttafaqun ‘Alaih)

“Gawai Adi” juga on pada sepertiga malam terakhir, waktu yang lebih makbul untuk berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah tabaaraka wa ta’ala turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman, “Barangsiapa berdoa kepada-Ku, maka akan Aku beri serta barangsiapa meminta ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan lafal dari al-Bukhari)

Kiranya sangat pantas “aamiin” yang diucapkan oleh Mas Adi dijawab oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala dengan memberikan jalan keluar ketika menghadapi masalah dan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Ketika teman-temannya mengambil barang yang bukan haknya, dia diberi solusi. Apa? Dia bertanya tentang tindakan teman-temannya itu dan memperoleh jawaban yang pada dasarnya merujuk pada al-Qur’an dan hadis. Dia tidak melampiaskan kemarahannya. Hal itu berarti bahwa dia diberi solusi dalam mengatasi masalah. Dia dapat mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru!

Dari sisi lain, rezeki yanng diperolehnya jauh lebih banyak daripada yang diambil oleh teman-temannya ketika bertugas di Aceh. Malahan, dari cara pemerolehannya, cara Mas Adi lebih bermartabat. Mas Adi melaksanakan tugas negara dengan penuh tanggung jawab. Dia memperoleh rezeki sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Cara inilah yang justru mendatangkan kiriman rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’aala dari arah yang tidak disangka-sangka dan dalam jumlah yang jauh lebih banyak.

Solusi yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala bagi orang bertakwa adalah solusi yang memuliakan. Mas Adi mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’aala karena ketakwaannya. Bagi sesama orang bertakwa, dia pun pasti dimuliakan. Orang yang paling bertakwalah orang yang paling mulia di sisi-Nya.

Di dalam al-Qur’an surat al-Hujurat (49): 13, Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman,

 اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ

“Sungguh orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

Kita dimuliakan oleh sesama manusia saja sangat senang. Apalagi, dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala! Kita pasti ingin mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’aala karena mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’aala, pasti mulia di mata manusia. Mas Adi insya-Allah menjadi orang yang telah dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala dan dimuliakan juga oleh sesamanya lebih-lebih keluarganya.

Sebaliknya, mulia di mata manusia, belum tentu mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’aala. Ada orang yang merasa “mulia” dengan hartanya yang melimpah. Ada pula orang yang “dimuliakan” oleh sesamanya karena hartanya melimpah. Namun, jika hartanya itu diperoleh dengan cara haram, dia hina di hadapan orang bertakwa. Apalagi, di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’aala!

Oleh karena itu, kita harus yakin bahwa jika kita melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan meninggalkan larangan-Nya pasti mulia di mata manusia. Tidak ada perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala yang mendatangkan keburukan. Menjemput rezeki dengan cara hahal mendatangkan kebaikan. Sebaliknya, semua yang dilarang-Nya pasti mendatangkan keburukan. Menjemput rezeki dengan cara haram mendatangkan keburukan. Banyak orang menghuni bui karena korupsi. Muliakah? Tidak! Kalaupun lolos dari pengadilan dunia, mereka tak bakal lolos dari pengadilan akhirat!

Banyak contoh kisah nyata yang berkenaan dengan ketidakberkahan rezeki yang diperoleh melalui jalan haram. Kita dengan mudah dapat menyaksikannya di sekitar kita. Ada keluarga yang tidak memperoleh keberkahan di dalam hidupnya. Misalnya, orang tua belum meninggal, tetapi anak-anaknya sudah berebut warisan sampai memutus tali silaturahim, bahkan, sampai ada yang membunuh orang tuanya atau saudaranya.

Akibat ketidakberkahan rezekinya, ada suami yang sedang sakit-sakitan, tetapi ditinggal oleh istrinya atau sebaliknya. Pernikahannya hancur! Anak-anaknya tidak terurus. Di antara mereka ada yang terlibat tindakan kriminal.

Ada lagi: kepala keluarga memperoleh rezeki dengan cara haram. Keluarga ini pun tidak memproleh keberkahan. Kepala keluarga sakit-sakitan. Hartanya habis untuk biaya berobat. Setelah hutangnya menggunung, dia meninggal, padahal anak-anaknya masih memerlukan biaya pendidikan. “Siksa” itu pun berkelanjutan. Anak-anaknya menjadi pengangguran karena kualitas akademisnya jauh di bawah standar.

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version