Muktamar Muhammadiyah yang Menggembirakan
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Bersyukur bisa mengikuti hajatan Muktamar Muhammadiyah di Kota Solo pada tahun 2022 ini. Saya hadir atas dua alasan yang bersamaan. Pertama, sebagai ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah di salah satu kampung Ciputat Timur, Tangerang Selatan.
Kedua, saya diminta memandu diskusi dalam side event yang diselenggarakan oleh Program Eco Bhinneka – Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Program ini sangat menarik. Memadukan dua isu besar yang masih menjadi masalah utama manusia. Soal kerukunan dan lingkungan hidup. Panitia mengambil sub topik diskusinya tentang upaya penyelamatan sungai di Indonesia.
Tulisan ini adalah hasil tangkapan batin seorang ketua Ranting Muhammadiyah. Pimpinan Ranting, adalah level kepengurusan paling rendah dalam struktur organisasi Muhammadiyah. Pengurus PRM adalah mereka yang menghidupkan jiwa dan langsung bersentuhan dengan persoalan hidup warga persyarikatan dalam kesehariannya.
Pimpinan ranting, memang tidak termasuk golongan dari para peserta Muktamar yang bisa masuk dalam ruang sidang. Apalagi memiliki hak suara. Kecuali mereka yang mendapatkan mandat untuk menjadi utusan wilayah atau organisasi otonom. Kehadiran para pengurus ranting, rata-rata adalah sebagai penggembira. Umumnya, bersama Pengurus Cabang, mereka susah payah mengorganisir kehadiran para warga persyarikatan yang hendak menghadiri Muktamar. Mengurus semua kebutuhan peserta. Mulai dari kendaraan, penginapan, konsumsi hingga kesehatan selama dalam perjalanan.
Ketika menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo ini, suasana kebatinan saya, percis sama seperti saat menjalankan umroh di Kota Madinah dan Mekkah. Begitu banyak kebaikan yang ditunjukkan oleh orang lain. Sekaligus begitu banyak permakluman dan permaafan di dalam hati saya, ketika menjumpai kekurangan dan kekhilafan orang yang ada di hadapan saya. Ada ribuan orang dari berbagai usia berkumpul dalam satu tempat yang sama. Melampaui perbedaan suku, warna kulit, asal daerah, bahkan agama.
Saya bertemu dua orang penggembira Muktamar dari Pontianak dan Papua. Keduanya beragama Katholik. Saya juga menemukan sekolah-sekolah Kristen dan Katholik di kota SOLO yang meliburkan diri, karena ruang sekolahnya digunakan menginap para penggembira Muktamar. Sungguh mengharukan.
Berlomba dalam Kebaikan
Sejak dalam tahap niat menghadiri acara Muktamar, saya sudah mendapatkan banyak kemudahan. Sebagai karyawan, saya meminta izin cuti dari supervisor saya di kantor @The Asia Foundation. Saya akan meninggalkan pekerjaan selama dua hari, untuk mengikuti Muktamar. Saya takjub, sekaligus terharu dengan sikap baik supervisor dan para pimpinan di kantor.
“Mas, tidak perlu ambil cuti ya. Kehadiran Anda di Solo akan dihitung sebagai kerja. Silahkan mengurus sendiri semua keperluan tiket pesawat dan hotel. Nanti kantor yang membayarnya”. Pesan supervisor saya. Ya Allah, rasanya saya mau menangis saat itu.
Kereta malam yang saya tumpangi tiba di Stasiun Balapan Solo tepat pukul 4.00 pagi. Sementara hotel yang disediakan baru bisa digunakan pukul 14.00 siang. Kemana saya harus menyelesaikan urusan ritual pagi dan merebahkan badan hingga siang hari ya? Dalam hitungan menit, semua pertanyaan itu terjawab.
Saat di atas kereta, saya berkenalan dengan Mbak Istiqomatul Hayati. Wartawati senior Tempo yang hendak mudik ke Solo, sekaligus menghadiri Muktamar. Rumah orang tuanya di Laweyan cukup besar. Singkat cerita, Mbak Isti menawarkan rombongan kami singgah dan tinggal di rumahnya selama Muktamar. Benar saja, di rumah itu ada kurang lebih 21 anak-anak muda dari Pemuda Muhammadiyah yang menginap. Tidak hanya sarana menginap, semua kebutuhan makan, minum pun disediakan.
Pagi itu saya pergi ke masjid untuk sholat Shubuh. Para jamaah masjid dengan ramah menawarkan tempat tinggal sementara di masjid. Kami diperbolehkan mandi, mencuci dan tidur di lantai 2 hingga selesai Muktamar. Saya tidak tahu percis apakah para jamaah masjid tersebut terafiliasi dengan Muhammadiyah. Namun, mereka begitu tulus menawarkan banyak sekali kemudahan. Ini adalah kebaikan lanjutan yang saya terima.
Sebagai penggembira, saya lebih banyak berada di arena bazar yang berlokasi di area bekas pabrik gula Colomadu. Di situ banyak tersedia makanan, minuman dan hiburan yang bisa dinikmati oleh para pengunjung. Bagi para pecinta ilmu pengetahuan, di situ banyak sekali pameran teknologi tepat guna yang didemonstrasikan oleh para ilmuwan dari sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia. Saya menemukan banyak sekali kebaikan-kebaikan yang lebih beragam, diberikan oleh orang lain.
Muktamar Minus Kontestasi
Sebagai pimpinan ranting, saya memang tidak ikut terlibat penuh dalam sidang Muktamar. Apalagi proses pemilihan Pimpinan Pusat. Saya hanya merasakan sama sekali tidak ada aura kontestasi, meski ada agenda pemilihan Ketua Umum. Tidak ada kasak kusuk, lobi lobi, atau kampanye yang dilakukan oleh para calon kandidat. Apalagi tawaran tiket atau penginapan gratis dari tim pemenangan para bakal calon. Dalam proses pemilihan ini, tidak ada satu orangpun yang mencalonkan diri.
Muhammadiyah memang memiliki mekanisme pemilihan ketua umum yang unik. Pintu kontestasi yang secara demonstratif dilakukan di arena mukatamar tertutup rapat. Tidak ada kubu si A atau si B yang terafiliasi dengan kesamaan suku ataupun kedaerahan yang aktif melakukan lobi atau menawarkan iming-iming menggiurkan.
Proses penjaringan sudah dilakukan jauh jauh hari sebelum Muktamar berlangsung. Jika warga Muhammadiyah ada yang ingin mencalonkan diri menjadi ketua umum, maka, paling tidak ia harus terlebih dahulu dikenal oleh para pemilik suara untuk bisa dicalonkan.
Proses penjaringan dilakukan secara rapi. Awalnya ada 216 nama yang terjaring sebagai bakal calon. Dari angka tersebut, mengerucut menjadi 126 bakal calon. Dari 126 menjadi 92 nama calon yang dibawa ke sidang tanwir. Melalui mekanisme internal, 92 nama tersebut akan dipilih menjadi 39 nama. Dari 39 nama itu lalu dibawa ke sidang Muktamar hingga terpilih menjadi 13 Pimpinan Tetap Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pemilihan Ketua dan Sekretaris Umum dilakukan oleh 13 Pimpinan Pusat. Setelah terpilih lalu ditetapkan dalam Sidang Pleno VIII.
Semua proses tahapan pemilihan itu dilakukan dengan hening, berazaskan musyawarah mufakat. Tidak ada debat dan adu gagasan dari para kandidat yang dipandu moderator dan dinilai oleh dewan juri. Tidak ada pidato-pidato dengan suara lantang di atas mimbar. Tidak ada kampanye, perang spanduk ataupun selebaran. Tidak ada janji-janji yang ditebarkan. Tidak ada pengerahan pendukung yang berpotensi bikin gaduh, lempar-lemparan kursi dan siap baku pukul di area Muktamar.
Ada pertanyaan dari seorang kawan yang sedang giat meneliti soal demokrasi. “Sistem pemilihan Ketua Umum di Muhammadiyah demokratis gak ya?”
Sebagai ketua ranting, saya hanya mampu menjawab sebisanya. Hemat saya, demokrasi itu bukan tujuan. Ia hanyalah instrument untuk mencapai kemaslahatan bersama. Sebagai alat ia memang penting. Tapi ia tidak melebihi kepentingan tujuan akhir. Selama mekanisme yang digunakan oleh warga Persyarikatan Muhammadiyah itu berhasil menumbuhkan kemaslahatan, maka demokrasi itu sudah sampai pada cita-citanya.
Steril dari Agenda Politik 2024
Dalam sebuah hajatan pertemuan yang melibatkan massa dalam jumlah besar, biasanya acap dikait-kaitkan dengan agenda Politik 2024. Pada tahun itu, akan ada pemilihan presiden dan wakil presiden. Semua hal bisa tiba-tiba menjadi sangat peka dan serba dikaitkan. Bagi para politisi, calon presiden, gubernur, bupati, walikota ataupun calon legislator, dukungan dari ormas sebesar Muhammadiyah tentu penting.
Namun, saya bersyukur, bahwa dalam hajatan Muktamar 2022 kemarin, tidak ada satupun atribut partai terpasang. Tiga arena utama Muktamar di Solo benar-benar steril dari atribut kepartaian ataupun poster para bakal calon presiden.
Kehadiran ribuan orang dalam arena Muktamar benar-benar sebagai penggembira. Meski mereka lelah, kehujanan, kurang tidur dan seterusnya, namun bisa mendapatkan kegembiraan sejati selama dalam acara Muktamar.
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso – Ciputat Timur