MEMILIH TIDAK TAHU, Cerita Ahsan Jamet Hamidi
Soleman, seorang guru madrasah tamatan Sekolah Menengah Pertama di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO kota Surakarta. Setamat sekolah, dia tidak lagi mampu melanjutkan jenjang pendidikanya. Dia mondok di Pondok Jamsaren di kota yang sama. Di situ dia khusus belajar ilmu agama dan mengaji kitab. Membaca buku-buku sejarah adalah menjadi minat utamanya.
Selesai mondok, dia pulang kampung. Belum ada keahlian khusus untuk dikembangkan sebagai rintisan masa depannya. Menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, dipercaya sebagai garis nasib yang harus dijalani. Penguasaannya pada ilmu sejarah, membuatnya sangat enak ketika mengajar di kelas. Murid-murid tekun sekali menyimak ceritanya. Mereka duduk, diam dan memasang telinga lebar-lebar supaya tidak melewatkan ceritanya. Tampilannya memang khas. Postur tubuhnya kurus tinggi, bersuara bariton, bergigi rapi. Dia selalu tersenyum saat mengajar.
Kisah tentang Dyah Pitaloka Citraresmi (1340-1357) menjadi cerita yang sangat ditunggu-tunggu. Dia berdiri tegak, tangan kanannya memegang kapur putih panjang, tangan kirinya aktif bergerak sesuai irama cerita yang disampaikan. Intonasi suaranya yang ngebas, diksi dan artikulasi setiap kata jelas, enak sekali di telinga. Sangat memukau.
Siang itu, pak guru Soleman memulai cerita tentang putri Sunda yang sangat cantik.
“Dyah Pitaloka Citraresmi, adalah Putri Sunda begitu jelita. Karena cantiknya, raja Majapahit sangat ingin menyuntingnya sebagai istri. Dia takluk saat dijodohkan dengan Hayam Wuruk. Sayang sekali, perkawinan itu gagal. Sang putri rela bunuh diri, setelah mendapati ayahnya (Prabu Maharaja) tewas dibunuh oleh pasukan mahapatih Gajah Mada di Trowulan. Peristiwa itu menimbulkan kesedihan mendalam bagi orang-orang Sunda”.
Dia melanjutkan:
“Persitiwa yang terjadi pada tahun 1300 itu masih terus menyisakan luka hingga ratusan tahun kemudian. Salah satu akibat yang masih dirasakan hingga saat ini, banyak para ibu-ibu dari Pasundan yang tidak terlalu rela, kalau anak perempuannya menikah dengan laki-laki Jawa. Mungkin, mereka khawatir, laki-laki bersuku jawa itu bisa mewarisi sifat kejam mahapatih Gajah Mada”.
Puluhan murid-murid di kelas itu terpana, larut dalam cerita yang disampaikan pak guru Soleman yang ekspresif dan begitu mengagumkan. Ada yang marah dengan kekejaman pasukan Gajah Mada. Ada yang sedih, pilu hingga meneteskan air mata. Mereka begitu terharu dengan keteguhan sikap serta keberanian Dyah Pitaloka yang jelita.
Pulang sekolah, cerita pak guru Soleman terus terpatri di dalam ingatan ratusan murid di sekolah itu. Bahkan hingga puluhan tahun kemudaian. Guru yang pandai bercerita ini disenangi para murid bukan hanya karena kepandaiannya bercerita. Tetapi cara memperlakukan murid-muridnya sungguh tidak terlupakan. Pak guru Soleman selalu memberi nilai 8 dan 9 kepada semua murid-muridnya. Mereka akan mendapat nilai 8 untuk yang sudah ikut ujian. Bagi yang rajin bertanya, akan mendapat nilai 9. Dia tidak pernah memberi nilai 10. Takut muridnya menjadi sombong di kemudian hari.
Ada nilai penting dibalik model dan prinsip penilaian yang ia terapkan. Menurutnya, ketika murid-murid sekolah sudah mau belajar di kelas, lalu ikut ujian, itu sudah bagus. Semangat belajar mereka harus selalu kita rawat dan apresiasi.
“Angka-angka itu saya berikan sebagai bentuk penghargaan kepada mereka yang sudah mau belajar. Kepintaran dalam menjalani hidup, tidak akan pernah bisa dinilai dengan angka. Ketika murid-murid sekolah itu terus kita beri apresiasi, kelak mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang selalu bisa menghargai orang lain. Mampu menghargai orang lain, adalah ciri dasar manusia berbudaya”. Ujarnya.
Laku Hidup Sederhana
Pak guru Soleman menikahi perempuan dari kota, bernama Mukminah. Seorang guru ilmu dagang di Sekolah Menengah Ekonomi Atas. Dulu pernah belajar di Sekolah Dagang Menengah DR. Soetomo Surabaya. Pasangan beda usia 5 tahun ini dikarunia 4 orang anak yang semuanya sudah hidup terpisah dan mandiri. Pasangan ini tetap bugar di usia berkepala 90. Keduanya pensiunan guru non PNS, non sertifikasi di sekolah Muhammadiyah.
Pak guru Soleman selalu meminta permakluman istri dan anak-anaknya untuk bisa tetap merokok lintingan buatannya sendiri. Dia berjanji tidak akan merepotkan keluarga saat sakit karena merokok. “Saya merokok saat sendirian dan berada di luar rumah. Jauh dari cucu-cucu. Mereka memang harus dijauhkan dari asap rokok. Jadi boleh dong saya memiliki privasi”. Pintanya
Pola hidup pasangan ini simple. Sejak menikah, mereka yang sama-sama menjadi guru, sepakat untuk menerapkan prinsip kesalingan dalam berumah tangga. Suami-istri ini tidak pernah saling menggantungkan satu sama lain. Pak Soleman sangat mandiri. Dia biasa mencuci baju sendiri, bahkan, ketrampilan menyetrika pakaiannya, lebih bagus dari dari istrinya. Saat pulang mengajar, dia akan sholat, lalu menghampiri meja makan. Saat membuka tutup saji, tapi tidak ada makanan, maka dia akan bergegas naik sepeda, pergi ke warung lalu membeli nasi, lengkap dengan lauk pauk untuk istri dan anak-anaknya. Semua dilakoninya dengan ringan penuh permakluman.
Pak Soleman hanya bisa makan dua kali dalam sehari. Setiap makan nasi, dia pantang untuk nambah. Seenak apapun rasanya. Dia juga tidak perlu cemilan mahal dari toko roti yang letaknya jauh di kota kecamatan. Kebutuhan ngemilnya bisa terpenuhi oleh buah-buahan hasil dari kebun di sekitar rumah. Kebutuhan rokok dan kopi biasa dibelinya sendiri dari pasar kecamatan. Dia bebas memilih jenis tembakau dan kopi yang paling disukai.
Pagi hari, pak Soleman cukup mengganjal perutnya dengan pisang atau ubi rebus. Tepat pukul 12.30, dia akan mengambil sendiri nasi sepucuk centong, sambel mentah dan lauk apa saja yang ada di atas meja. Dia akan memilih makan di gubuk kecil di kebun belakang rumah. Sambil melahap nasi, dia akan memetik cabe, terong, kacang panjang, daun bayam sebagai lalapan. Bagitupun untuk makan sore. Tepat jam 17.15, dia akan mengulang laku makannya di kebun belakang. Usai makan sore, dia akan memastikan ayam peliharaannya masuk kandang. Kebiasaan itu berlangsung puluhan tahun.
Untuk memenuhi program kebugaran tubuh, dia tidak pernah berenang di kolam hotel mewah, atau nge gym di fitness center. Bersepeda santai adalah kebiasaan lama yang terus ia jalani. Sejak masih aktif mengajar, dia selalu bersepeda sepanjang 15 km setiap hari. Sepeda onthel merk Fongers asal Groningen, Belanda, adalah perkakas paling mewah yang ia miliki. Dia enggan belajar naik sepeda motor. Kendaraan itu terlalu mahal, berpolusi dan bikin badan malas bergerak.
Sebagai bentuk rasa syukur atas matanya yang masih awas, saat pulang usai sholat di Masjid, dia selalu mengambil jalan memutar agak jauh, 5 kali sehari. Dia bisa jalan memutar sambil terus mengawasi jalanan. Berharap bisa menemukan paku, duri, beling, kaleng bekas dan perkakas lain yang mengganggu orang lewat. Dia akan pungut dan membuangnya ke tempat aman. Dengan berjalan kaki, badan bisa lebih sehat, sekaligus bisa menyelamatkan para pengendara kendaraan dari ancaman paku dan halangan lain di jalan. Sederhana sekali prinsipnya.
Falsafah Tidak Tahu
Saat lebaran Iedul Fitri, rumah sederhananya selalu didatangi puluhan mantan murid-muridnya dari berbagai kota besar. Mereka, rata-rata para pasangan muda hebat dan sukses. Ada yang sudah menjadi politisi beken, pegawai BUMN, tukang survey politik yang sering masuk TV, hingga ada yang menjadi polisi, jaksa dan hakim agama. Saat itu, mereka memanggil pak guru dengan sebutan “mbah Soleman”.
Secara kasat mata, para mantan murid-murid itu terbilang sukses dan berkecukupan harta. Tetapi keluhan hidup mereka luar biasa banyak. Tidak sebanding dengan tampilannya. Ada yang mengeluhkan kondisi kesehatan, hubungan yang tidak harmonis dengan pasangan, soal karir yang dirasa mentok, hingga kalah dalam perebutan proyek, hingga kekurangan modal usaha. Semua tentang keluhan.
Ketika keluhan-keluhan itu disampaikan, mbah guru selalu menjawab enteng, “wah, saya tidak tahu!” Sambil senyum tulus. Saat didesak untuk memberikan nasehat, dia akan menjelaskan apa adanya. Gaya bicaranya sama persis seperti dulu saat bercerita tentang Dyah Pitaloka. Ingatan yang tersimpan selama puluhan tahun itu muncul kembali.
“Jujur, saya tidak tahu kenapa masih bisa hidup. Tidak berani menyimpulkan bahwa saya masih sehat. Penyakit apa yang diderita, saya pun tidak tau, karena jarang ke dokter. Semua gejala-gejala yang terjadi di dalam tubuh tua ini, ikhlas saya terima. Mungkin itu pertanda bahwa umur sudah melampaui batas. Itu semua sudah kehendak yang punya hidup. Saya tidak berani menginterupsi apalagi menolak”. Ceritanya
“Mbah guru orangnya pasrah saja ya. Tidak berusaha untuk melawan gitu?”. Tanya seorang murid yang jadi polisi.
“Melawan. Apa yang perlu dilawan? Mungkin, pandangan kita berbeda dalam menjalani hidup. Saat ini, saya hanya sedang menjalani hidup yang semua garisnya sudah diatur oleh Tuhan. Saya tidak punya kuasa apapun untuk melawan kuasaNYA. Kapan saya lahir, dari rahim siapa, jenis kelamin dan bentuk tubuh seperti apa, takaran rezeki seberapa, pasangan hidupnya siapa. Semua sudah ditetapkan. Saya tinggal menapaki jalan yang ujungnya adalah kematian. Tapi, karena tidak punya kuasa apa-apa, maka saya terus berdoa, semoga ketika dipanggil pulang, saya berada dalam kondisi taat kepadaMU ya Tuhan. Itu saja”. Jelasnya
“Lalu bedanya dimana mbah?” ada yang tanya lagi
“Mungkin beda ya. Hidup kalian kan dituntun oleh cita-cita. Ada target yang sudah ditetapkan. Hidup dijalani dengan harapan bisa mencapai setiap target itu. Maka wajar jika perjalanan hidup kalian berat. Karena harus punya perencanaan, bekal cukup, modal besar, usaha sungguh-sungguh, kerja keras. Sebaliknya, saya hidup hanya untuk menapaki jalan menuju arah yang sangat jelas, yaitu kematian dengan selamat. Karena saya tinggal menjalani, maka tidak ada kekuatiran apa-apa. Tidak sedih saat kehilangan atau berbangga saat mendapatkan. Tidak ada yang terlalu”.
Tetap Ada Ujian
Meski sudah hidup dengan pegangan prinsip yang sangat teguh, mbah guru Soleman tetap tidak pernah lepas dari kesedihan layaknya manusia lain. Ia pernah begitu rapuh dan terguncang.
Salah satu putrinya yang dianggap paling berprestasi, ternyata gagal mempertahankan rumah tangga bersama pasangannya. Padahal, pasangan ini sudah menjalin kasih sejak kuliah semester satu hingga keduanya sama-sama meraih beasiswa di luar negeri. Keduanya meraih gelar master dari Eropa. Pergaulan luas, cara berfikir rasional dan strategis, pengetahuan luas, berpengalaman menjelajah dunia, ternyata bukan jaminan untuk bisa mempertahankan harmoni. Mereka mampu menaklukkan orang banyak, tetapi gagal menaklukkan egonya sendiri.
Mbah guru Soleman sangat terguncang mendengar kabar perceraian putrinya. Namun ia memahami sifat keras putrinya, yang selalu ingin serba ideal sesuai angan-angannya. Orientasi hidupnya dituntun oleh cita-cita idealnya. Ketika semua kebutuhan ekstra hidupnya sudah terpenuhi, ia tetap merasa belum cukup. Perasaan serba kurangannya terus terpelihara.
Sejatinya, kehidupan keluarga pasangan sang putri sudah lebih dari cukup. Mereka punya anak, pekerjaan tetap, karir bagus, tempat tinggal permanen, kendaraan, tabungan cukup, jaminan asuransi, semua sudah terpenuhi. Tapi, gairah sang putri masih terus ingin mendapatkan yang lebih ideal lagi. Sehingga hal-hal kecil yang ada pada diri pasangannya, akan terus dianggap kurang ideal. Banyak hal sepele yang diperlakukan terlalu serius. Mulai dari gaya bicara, gaya mengendari mobil, gaya memperlakukan pasangan di saat gembira ataupun sedih. Semua dianggap belum memenuhi standar ideal seperti impiannya.
“Saya berdoa, semoga putri saya dikarunia jiwa penerimaan dan permakluman yang lebih lebar, sehingga bisa bersyukur”. Pintannya
Kisah pak guru Soleman yang santun, berhati lapang, selalu bersyukur, menerima kenyataan hidup sebagai takdir yang harus diterima dengan hati lapang tanpa perlawanan. Namun, manusia tetaplah makhluk yang tidak pernah bisa berkuasa penuh atas dirinya sendiri. Manusia tidak akan pernah bisa merintis jalan hidup dengan kehendaknya sendiri.
Hidup manusia tidak akan pernah bisa lepas dari jerat perkara yang tidak disukai sekalpiun. Bisa jadi, perkara yang sangat kita benci, itu menjadi kebaikan. Sebaliknya, terhadap perkara yang sangat kita sukai, itu justru menjadi keburukan.
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso – Ciputat Timur