Rombongan Aisyiyah Sumut Kunjungi Museum Muhammadiyah
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Rombongan wisata Aisyiyah dari Sumatera Utara ( PW Aisyiyah Sumut, PD Aisyiyah Kota Medan dan PD Aisyiyah Padangsidimpuan) melakukan kunjungan ke Museum Muhammadiyah di Kampus Universitas Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Wisata relijius ini dilakukan setelah usainya Muktamar ke 48 Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Selain mengunjungi Museum Muhammadiyah, rombongan juga mengunjungi makam beberapa tokoh Muhammadiyah, seperti KHA Dahlan sampai Prof. Dr. Yunahar Ilyas. Makam Kyai Haji Ahmad Dahlan terletak di RT 41 RW 11, Kampung Karangkajen, Brontokusuman, Mergangsan, Yogyakarta. Lokasi makam ini berada di belakang Masjid Jami Karangkajen.
Museum yang dimulai pembangunannya sejak 2018 ini pun akhirnya dibuka untuk publik setelah sempat tertunda penyelesaiannya karena pandemi, kurang dari sepekan sebelum gelaran Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo. Hadirnya Museum Muhammadiyah kehadiran museum ini bagi Muhammadiyah setidaknya memiliki dua makna penting.
Pertama, museum ini mengukuhkan eksistensi Muhammadiyah yang menjadi pilar penting bagi keistimewaan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamegkubuwana X pernah menyampaikan bahwa Yogyakarta memiliki empat pilar kesejarahan yang penting yakni Keraton, Universitas Gadjah Mada, Taman Siswa, dan Muhammadiyah. Pernyataan Sultan tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari Yogyakarta. Yogyakarta tidak sekadar tempat kelahiran Muhammadiyah tetapi saksi torehan gerakan Islam berkemajuan yang dilakukan Muhammadiyah lebih dari satu abad.
Rekam Jejak dan Ide Muhammadiyah
Di Museum Muhammadiyah terekam jejak ide dan gagasan Muhammadiyah dalam memajukan Indonesia yang dimulai dari Kauman, kampung tempat lahirnya. Di salah satu diorama Museum Muhammadiyah terdapat replika kapal uap yang mengilustrasikan kapal yang digunakan oleh KH Ahmad Dahlan saat berhaji. Lebih khusus untuk haji yang kedua yang dibantu pembiayaannya oleh Sultan Hamengkubuwana VII, keberangkatan pendiri Muhammadiyah tersebut ke Makkah menjadi pintu awal terbukanya pemikiran beliau untuk memajukan Islam yang saat itu sudah stagnan dan jumud terbenam dalam feodalisme dan ritus agama yang tidak substantif.
Kedua, melalui museum ini Muhammadiyah melengkapi keberadaan 40 museum lain yang telah ada di DIY. Jika sejarah Yogyakarta sebagai kota perjuangan diibaratkan sebuah puzzle besar yang disusun dari informasi-informasi dari berbagai museum di DIY, kehadiran Museum Muhammadiyah melengkapi satu bagian penting dari sejarah perjalanan Yogyakarta yang belum tersaji di museum-museum lain yang sudah ada.
Rombongan wisata Aisyiyah Sumut merasa sangat gembira bisa menyaksikan berbagai informasi seputar Muhamamdiyah melalui berbagai artefak yang ada. Yang pasti, rombongan Aisyiyah Sumut sangat bahagia bisa sampai di museum yang kreeen habis. (Syaifulh)