MAKASSAR, Suara Muhammadiyah – Setelah berjuang dan menunggu selama 11 tahun, akhirnya Muhlis Madani berhasil meraih jabatan Guru Besar. Ia menjadi profesor dalam bidang Administrasi Publik di Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, kampus tempatnya mengabdi sebagai PNS sejak terangkat tahun 1989
“Saya sebenarnya sudah mengurus guru besar ini sejak tahun 2011, bersamaan dengan Prof Irwan dan Prof Ratna. Seingat saya, kami sama-sama dapat catatan perbaikan. Tapi mungkin beda rezeki, keduanya lebih dulu jadi Profesor,” jelasnya, sembari tersenyum tipis.
Muhlis mengaku, langkahnya jadi guru besar sempat tersendat karena perubahan regulasi, khususnya kewajiban menulis jurnal internasional terindeks scopus.
“Setelah cukup lama prosesnya terhenti karena kesibukan, akhirnya saya mulai lagi tahun 2019. Setelah pihak kementerian tahu, bahwa saya telah mengurus guru besar sejak 2011, saya pun diundang mengikuti proses audiensi. Alhamdulillah setelah proses yang cukup panjang, SK guru besar saya akhirnya bisa keluar di bulan November tahun ini,” urainya.
Berubah Cita-cita
Muhlis Madani lahir di Parepare, 18 Mei 1963. Bangku sekolah dasar ditamatkannya di Rappang Kabupaten Sidrap tahun 1975. Ia menyelesaikan pendidikan SMP tahun 1979, dan SMA tahun 1982, di kota kelahirannya, Parepare.
Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, Muhlis bercerita, bahwa ayahnya sempat memintanya agar menunda niat melanjutkan kuliah. Kebetulan usaha ayahnya saat itu dalam kondisi surut.
“Saat itu, saya hanya bilang. Izinkan saya ikut tes perguruan tinggi negeri. Jika saya tidak diterima di Unhas dan IKIP, saya tidak usah kuliah. Tentu kuliah di PTN tidak membutuhkan biaya besar, dibanding kuliah di PTS saat itu,” kenang Muhlis.
Setelah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri, ternyata Muhlis dinyatakan lulus di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Unhas, dan Jurusan Pendidikan Kimia di IKIP Ujung Pandang.
Awalnya, ia merasa mampu kuliah di dua kampus dalam waktu bersamaan. “Namun akhirnya, saya berhenti di IKIP. Soalnya sepele, saya teledor memecahkan tabung raksa di laboratorium. Dosen meminta saya mengganti biayanya. Bagi saya saat itu, harganya cukup mahal. Jadi saya memilih fokus menyelesaikan kuliah di FISIP Unhas,” jelasnya mengenang masa lalu.
Saat kuliah di FISIP Unhas, mimpi yang ada di benaknya adalah menjadi birokrat suatu saat nanti. Mimpi itu begitu kuat dalam benaknya hingga menjelang semester akhir.
“Menjelang selesai, ada dosen yang mengajak saya menjadi asistennya. Saya membantu beliau mengajar mahasiswa junior saya. Ternyata saya menikmati aktivitas mengajar. Yang paling saya sukai, saat berjalan menuju kelas, mahasiswa berlomba-lomba masuk kelas dengan berujar ‘adami Bapak’,”ujar Muhlis dengan tersenyum.
Amanah Sang Ayah
Setelah menyandang gelar sarjana dari FISIP Unhas tahun 1987, Muhlis mulai mencoba peruntungan dengan mendaftar PNS. Tahun 1989, ia mendaftar di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk posisi dosen di Kopertis, dan calon pegawai Departemen Penerangan.
Ternyata, dewi fortuna berpihak padanya. Muhlis dinyatakan lulus pada dua posisi tersebut. Kabar baik itu disampaikan Muhlis kepada ayahnya, Madani.
Tanpa ‘ba-bi-bu’ dengan mantap ayahnya langsung meminta agar Muhlis memilih menjadi dosen. “Belum ada keluarga kita yang jadi Profesor. Pilih mi jadi dosen nak,” ungkap Muhlis mengenang pernyataan sang Ayah.
Pesan itulah, kata Muhlis, yang terus terngiang dalam benaknya selama menapak karir sebagai dosen. “Sejatinya, impian jadi professor adalah cita-cita semua dosen. Namun bagi saya, itu bukan sekadar cita-cita, melainkan Amanah Bapak saya,” pungkas Muhlis.
Sang Ayah bukan hanya mendorong anaknya menjadi dosen. Ia juga berharap agar Muhlis mengabdikan diri di kampus milik Muhammadiyah.
“Bapak saya pengurus Muhammadiyah. Ia sangat berharap, saya bisa turut membesarkan Muhammadiyah dengan menjadi dosen di Unismuh,” ungkap Muhlis.
Kebetulan saat itu, lanjutnya, Ayah Muhlis akrab dengan Kiai Nasruddin Razak, salah satu pengurus PWM Sulsel kala itu. Rekomendasi dari Kiai Nas itulah yang Muhlis setor ke Kopertis, hingga akhirnya ditempatkan di Unismuh Makassar sejak terangkat PNS tahun 1989, hingga saat ini.
“Sejak dulu hingga sekarang, saya hanya dikenal orang sebagai dosen Unismuh. Saya tidak pernah pindah home base ke tempat lain. Bagi saya, menjadi dosen di Unismuh, dari staf pengajar hingga Guru Besar, bukan sekadar bekerja mencari nafkah. Ini adalah amanah orang tua, yang bermimpi anaknya menjadi profesor sekaligus penggerak persyarikatan,” tegas Muhlis.
Menurutnya, ruh Muhammadiyah telah ditanamkan sang ayah pada dirinya sejak kecil. “Sejak sekolah, saya telah diikutkan dalam Latihan Tapak Suci. Semboyan ‘Dengan Iman dan Akhlak saya menjadi kuat, tanpa Iman dan Akhlak saya menjadi lemah’, tetap membekas dalam diri saya hingga saat ini,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Amanah sang Ayah, membuat Muhlis menunjukkan dedikasi dan pengabdian dalam berkarir di Unismuh Makassar. Ketekunannya menjadi dosen di Jurusan Administrasi Negara, membuatnya diamanahkan sebagai Pembantu Dekan 1 FISIP Unismuh pada tahun 1993.
Sejak itu jabatan struktural di Unismuh seakan tak pernah berhenti menyapanya. Setelah menjadi Pembantu Dekan, ia pernah menjadi Dekan FISIP Unismuh sejak 2005 hingga 2017. Jabatan terakhir yang selesai diembannya sebelum ditetapkan menjadi guru besar adalah Asisten Direktur II Program Pascasarjana Unismuh Makassar (2017-2022).
“Prinsip saya, saya takkan mengejar jabatan, tapi jabatanlah yang bakal mengejar saya. Caranya, tunjukkan saja kinerja terbaik yang bisa kita lakukan saat diberi jabatan. Setahu saya, ini pulalah prinsip yang dijunjung di Muhammadiyah,” ungkap Muhlis, dengan suara bergetar.
Dosen – Aktivis
Bagi Muhlis, menjadi dosen membuatnya harus terus belajar dan mengembangkan diri. Di zamannya, syarat menjadi dosen cukup dengan ijazah sarjana. Namun ia tak berhenti di situ, Muhlis menyelesaikan S2 di Unhas tahun 1997, dan S3 di Prodi Administrasi Publik Universitas Negeri Makassar tahun 2010.
Meskipun berkutat di dunia kampus, Muhlis tak ingin terperangkap sekadar berada dalam kubangan teori dan pergaulan yang dibatasi dinding kampus. Hobinya berorganisasi sejak pemuda terus dilakoninya hingga saat ini.
Hampir semua jenis organisasi pernah diikutinya. Di masa muda, ia adalah aktivis KNPI, dari tingkat Kota hingga Provinsi. Organisasi profesi guru, PGRI, juga digelutinya. Saat ini ia tercatat sebagai Sekretaris PGRI Sulsel.
Di Muhammadiyah, ia pernah menjadi pengurus Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah pada periode Arsyad Taman. Sempat pula menjadi pengurus Lembaga Hikmah Muhammadiyah Sulsel.
Muhlis juga tercatat aktif di Organisasi yang terkait dengan rumpun ilmu administrasi publik, yakni Indonesian Asscociation for Public Administration (IAPA). Ia pernah menjadi pengurus IAPA Sulsel hingga level Pusat.
Selain itu, ia juga masih aktif di organisasi seperti Kwarda Pramuka Sulsel, Kosgoro Sulsel, hingga organisasi IKM Parepare.
Intelektual Publik
Kiprah Muhlis sebagai akademisi sekaligus aktivis, membuatnya kerap dipercaya sebagai tim seleksi lembaga negara, baik yang bersifat independen, maupun instansi pemerintahan. Tercatat, ia pernah menjadi Tim Seleksi KPU, Panwaslu, hingga Komisi Penyiaran.
Hingga saat ini, ia juga sering diundang sebagai Panitia Seleksi Job & Fit dan Assesment Lelang Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Eselon II, di Kabupaten Bantaeng, Maros, Bone, dan Wajo.
“Alhamdulillah, dalam semua kiprah publik dan pengabdian masyarakat itu, saya dikenal sebagai akademisi Unismuh. Itulah sumbangsih kecil saya dalam memperkuat branding kampus di mata publik,” ujar Muhlis.
Jika melihat aktivitas Muhlis, nampaknya ia tak memiliki waktu untuk menulis. Namun, ternyata asumsi itu tidak benar. Meski sesibuk apapun, Muhlis selalu meluangkan waktu untuk meneliti dan menulis.
“Tanggungjawab dosen, bukan hanya mengajar. Apapun kesibukan saya, saya selalu meluangkan waktu untuk meneliti dan menulis. Jika saya diundang Pemda ke daerah, ya sekaligus saya gunakan kesempatan itu untuk melakukan penelitian, atau menulis topik yang relevan dengan daerah itu,” ungkapnya.
Pernyataan Muhlis bukan pepesan kosong belaka. Ia telah menulis 72 artikel, baik di jurnal nasional, maupun internasional bereputasi.
Rekam jejak Tri Dharma perguruan tinggi itulah yang mengantarnya meraih jabatan Guru Besar dalam Bidang Administrasi Publik di Unismuh Makassar.
Penetapan Muhlis sebagai guru besar, tertuang dalam SK Mendikbudristek Nadiem Makarim Nomor 70401/MPK.A/KP.07.01/2022, yang ditetapkan di Jakarta, 22 November 2022. (Hadi/Riz)