Tugas Generasi Muda Muhammadiyah Pasca Muktamar

Ramadhanur Putra

Ramadhanur Putra Dok Istimewa

Tugas Generasi Muda Muhammadiyah Pasca Muktamar

Oleh: Ramadhanur Putra

Muktamar sebagai permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah, kembali mengamanatkan Haedar Nasir dan Abdul Mu’ti menjadi Ketua Umum dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah masa bakti 2022-2027 mendatang.

Selain bertujuan untuk regenerasi kepemimpinan, forum Muktamar menjadi sangat krusial karena membahas isu-isu kekinian dan yang akan datang, baik itu bersifat jangka pendek, menengah, maupun panjang. Secara general, dalam Muktamar Muhammadiyah kemarin dibahas isu-isu keummatan, kebangsaan, dan kemanusian universal.

Bagaimana Kaum Muda Menanggapi?

Mengingat bahwa jalan dakwah Muhammadiyah adalah jalan yang panjang, tentunya generasi muda Muhammadiyah harus mengerti tentang dinamika organisasinya. Syahdan, mau dan tidak mau sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang Muhammadiyah akan diamanahkan pada kita, generasi muda Muhammadiyah.

Berangkat dari isu strategis yang dibahas dalam Muktamar kali ini, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dan dipahami oleh generasi penerus Muhammadiyah dalam berdakwah di ortom yang sedang digeluti.

Penguatan Islam Washatiyah

Menurut Deputi VII Badan Intelejen Negara bahwa 85% millenial rentan terpapar radikalisme (sur, 2021). Fakta ini tentu saja harus tetap menjadi perhatian bagi Muhammdiyah, terutama kaum mudanya sendiri.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk. Termasuk dalam hal agama. Oleh karenanya, bersikap keras terhadap satu paham keagamaan atau agama itu sendiri adalah hal yang tidak baik bagi kerukunan masyarakat di Indonesia. Apalagi ketika memaksakan orang lain terhadap satu paham keberagamaan atau agama tertentu.

Karena hal ini juga, Muhammadiyah memandang bahwa rezimitasi agama tidaklah baik. Muhammadiyah tidak mencoba untuk memisahkan agama dan negara (sekularisasi). Tapi, Muhammadiyah juga enggan untuk menjadikan Indonesia satu agama.

Melainkan yang selalu diupayakan adalah wasathiyah islam (moderasi beragama) yang mengedapankan aspek sikap, perilaku, dan akhlak, bukan sikap beragama agama yang dapat merusak atau memaksakan satu keyakinan pada keyakinan lainnya.

Konsep Islam Wasathiyah hari ini semakin kompleks ketika Indonesia mengalami revolusi 4.0. Ketika Indonesia mengalami kemajuan yang pesat pada bidang teknologi dan informasi.

Berdasarkan data We Are Social, bahwa per Januari 2022 terdapat 204,7 juta pengguna internet di Indonesia (Annur, 2022).  Kemudian, The Wahid Foundation melaporkan kaum muda intensif menggunakan instagram, twitter, facebook, dan linkedin sebanyak 77% dan bahkan belajar agama dari sana secara otodidak (Qodir, 2016).

Bebasnya ruang digital tentu dapat menjadi problem dalam mengatasi radikalisme. Apalagi dengan minimnya literasi digital akan membuat penikmat digital memahami agama dengan sembrono. Disisi lain, tentu ini menjadi peluang dalam mewujudkan Islam Wasathiyah  ditengah-tengah kemajemukan Indonesia.

Namun, ironisnya dalam tataran akar rumput Muhammadiyah gejala neo-puritanisme masih ada. Tentunya ini bisa menjadi ancaman tersendiri bagi Muhammadiyah yang sedari awal telah merumuskan konsep islam berkemajuan, serta akan mencerahkan semesta ini (Azhar, 2022).

Oleh karena itu, generasi muda Muhammadiyah harus bisa menjadi ujung tombak dalam rangka mewujudkan Islam Wasathiyah. Beragama yang mencerahkan. Saleh secara individu dan sosial. Bahkan hari ini kita juga perlu untuk saleh di ruang digital.

Etika dalam Berpolitik

Perhelatan Muktamar Muhammadiyah kali ini diadakan menjelang perhelatan akbar demokrasi Indonesia, yaitu Pilpres 2024. Kentara bagi kita, bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik, sehingga segala agenda politik janganlah melibatkan Muhammadiyah. Apalagi memanfaatkan Muhammadiyah untuk agenda politik-praktis.

Muhammadiyah sendiri telah mengatur bagaimana seharusnya setiap kader berpolitik. Mangatasnamakan Muhammadiyah dalam agenda politik adalah sebuah kesalahan fatal bagi pimpinan Muhammadiyah ataupun kadernya.

Kendatipun demikian, Muhammadiyah tidak melarang kadernya dalam berpolitik. Bahkan, Muhammadiyah sangat mengapresiasi kadernya yang memilih untuk menjadi kader bangsa dengan jalan politiknya masing-masing.

Pandangan Muhammadiyah dalam berpolitik tentunya harus dipahami oleh generasi Muhammadiyah. Dalam beberapa kasus sebelumnya, banyak diantara generasi Muhammadiyah yang gagal dalam memahami hal ini. Bahkan, ada pimpinan yang berani untuk mendeklarasikan diri mendukung paslon dalam agenda politik.

Oleh karena itu, politik yang berkeadaban perlu diimplementasikan ditahun-tahun yang akan datang. Agar tidak ada lagi para generasi muda yang ikut-ikutan saja dalam kontestasi pemilu yang akan datang tanpa mengetahui azas politik Muhammadiyah, atau sebaliknya para kader yang mau terjun ke dunia politik memanfaatkan Muhammadiyah untuk agenda politiknya.

Ini menjadi PR besar ketika Pengamat politik, Saiman Pakpahan menyebutkan bahwa pemilih tahun 2024 akan diisi oleh generasi-Z dan millenial dengan total 60%. Artinya, generasi muda menjadi salah satu penentu politik di tahun 2024 (Syabriya, 2022). Oleh karena itu, politik yang berkeadaban harus dimulai dari generasi muda yang akan menentukan nasib bangsa ini kedepannya.

Selain itu, agenda Muktamar dengan sistem e-voting menjadi contoh dalam reformasi sistem politik Indonesia yang lebih LUBERJURDIL. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menyarankan sistem e-voting dapat diadopsi dalam perheletan demokrasi yang akan datang. Sebab, sistem e-voting lebih bisa dipertanggungjawabkan, efesien, dan mengurangi kecurangan (Purwanto, 2022).

Internasionaliasi Gerakan Muhammadiyah

Per-November 2022 Muhammadiyah telah memiliki 24 Pimpinan Cabang Istimewa yang berdiri di beberapa negara. Keberadaan PCIM juga mendorong Muhammadiyah untuk mendirikan Amal Usaha Muhammadiyah tentunya. Hal inilah yang menopang Muhammadiyah untuk suksesi gerakan internasionalisasinya.

Gerakan internasionalisasi Muhammadiyah tentunya adalah tantangan besar bagi kita semua, terkhusus bagi generasi muda Muhammadiyah. Gerakan internasionalisasi akan tentu tidak memiliki orientasi jangka panjang. Maka, hari-hari yang akan datang generasi muda Muhammadiyah perlu bersiap-sedia untuk dapat melanjutkan dakwah tersebut.

Hari ini, kita bersama melihat bagaimana dunia dipenuhi dengan problematika, konflik, dan lain sebagainya. Misalnya, pemicu konflik intra dan inter negara sangatlah beragam, mulai dari politik, budaya, ras, bahkan agama.

Selain konflik intra dan inter negara, dunia juga dihadapkan dengan permasalahan krusial. Misalnya dakwaan akan terjadinya resesi di tahun 2023, krisis iklim, dan kesenjangan antar negara. Belum lagi dengan menguatnya Xenofobia bahkan Islamophobia sendiri yang akan menimbulkan sikap diskriminatif dan antipati.

Oleh karena itu, generasi muda Muhammadiyah juga diharapkan dapat terlibat dalam gerakan internasionalisai ini. Sebagaimana yang kita lihat, IPM misalnya sebagai salah satu basis massa generasi Muhammadiyah terlibat aktif dalam menanggapi isu pemanasan global.

Kemudian, akhir-akhir ini kita ketahui KTT G20 yang diselenggarakan di Bali juga mendapatkan tanggapan serius dari kalangan mahasiswa dan aktifis Indonesia. Belum lagi Qatar sebagai tuan rumah piala yang berdampak besar pada dunia. Terlepas dari apakah itu hanya agenda islamisasi atau pengilmuan islam. Menurut hemat penulis, tentu saja ini menjadi peluang akan agenda internasionalisasi.

Keberadaan Islam di dunia pada masa yang akan datang, salah satunya menajadi tanggung jawab kita para generasi muda Muhammadiyah. Bagaimana islam dapat diterima dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin sebagaimana yang Muhammadiyah cita-citakan. Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta.

Ramadhanur Putra, Ketua Umum PK IMM FAI UMY

Exit mobile version