Tadabbur Bencana: Etos Keimanan dan Etos Keilmuan

Tadabbur Bencana: Etos Keimanan dan Etos Keilmuan

Tadabbur Bencana: Etos Keimanan dan Etos Keilmuan

Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.kt, M.A

Gempa 5,6 magnitudo telah terjadi di wilayah Cianjur pada 21 November 2022, pukul 13.20 WIB. Gempa  dengan kedalaman kurang lebih 10 KM telah mengakibatkan 321 orang meninggal, 11 orang belum ditemukan, lebih dari tujuh puluh ribu mengungsi, dan puluhan ribu tempat tinggal rusak berat dan ringan meski gempa terjadi tidak sampai 5 detik. Data tersebut dirilis dari BNPB dan Lembaga kemanusiaan MDMC tertanggal 28 November 2022.

Bencana diklasifikasikan menjadi dua. Pertama bencana alam, diantaranya adalah tsunami, tornado, banjir, tanah longsor, dan likuifaksi. Gempa yang terjadi di Cianjur pun diklasifikasikan sebagai bencana alam. Sedangkan bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan langsung oleh manusia sebagai makhluk sosial. Diantaranya adalah kerusuhan, konflik antar suku, epidemi, gagal teknologi, dan berbagai peristiwa sosial lainnya. Kedua bencana adalah peristiwa negatif yang dirasakan terus menerus dengan kerugian material atau immaterial seperti terjadi di Cianjur beberapa saat lalu.

Selain gempa Cianjur, gempa-gempa berdampak bencana telah terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia. Paling tidak yang lekat dalam ingatan kita dimulai dari gempa Aceh, Yogyakarta, Padang, dan Palu. Kerusakannya bukan hanya berakibat hancurnya infrastruktur, namun hingga hilangnya jiwa berupa kematian dan gangguan psikologis dirasakan oleh para korban.

Keakraban Indonesia terhadap bencana adalah bagian dari konsekuensi melimpahnya kekayaan yang dimiliki. Mulai dari tanah yang subur, cuaca yang ramah, dan beragamnya sumber daya mineral. Selain kekayaan, Indonesia juga didampingi oleh 187 gunung api, dilewati oleh ring of fire (cincin api), dan 16.771 pulau yang dipisahkan oleh selat dan laut. Ditambah data lain yang menunjukan sejumlah fakta bahwa Indonesia adalah negara rangking 1 dari 256 negara terkena resiko tsunami, rangking 1 dari 162 negara terkena tanah longsor, dan rangking 3 dari 153 negara beresiko gempa bumi.

Etos Keimanan

Allah SWT telah mewajibkan atas dirinya sifat kasih sayang (QS. al-An’am (6), 54). Penegasan tersebut menekankan bahwa sifat utama-Nya bukanlah sifat murka-Nya yang berakibat pada azab-Nya. Seluruh semesta yang diciptakan dan berbagai peristiwa yang mengiringinya adalah kasih sayang-Nya. Untuk menjaga keseimbangan semesta bahkan Allah SWT menurunkan Kitāb ar-Rahmah dengan penjelasannya melalui Muhammad Saw sebagai Nabiyu ar-Rahmah.

Meminjam istilah Dr. Hamim Ilyas, bahwa Tauhid yang tertinggi adalah Tauhid Rahamutiyah/Mengesakan Allah yang Maha Kasih. Jika merujuk tafsir At-Tanwir pada penjelasan tentang penciptaan semesta dan manusia adalah penciptaan yang berdasarkan Rububiyah ar-Rahmah. Dalam Aqidah Islam oleh Buya Yunahar, Tauhid adalah hal yang serumpun dengan Aqidah dan Iman. Berdasarkan hal tersebut kita memahami bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang memiliki sifat kasih sayang yang sebagai salah satu sifat utama dari sifat lainnya yang terdapat dalam asma’, sifat, dan af’alNya.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa segala peristiwa yang terjadi di alam semesta sesungguhnya sifat yang paling dominan adalah perwujudan dari kasih sayang-Nya. Jika terkait bencana, Allah SWT sedang memberikan peringatan dan nasehat kepada yang beriman untuk semakin tunduk dan mematuhi segala aturan-Nya. Dengan bencana, dosa orang beriman dapat terhapus sesuai dengan besar dan kecilnya bencana yang dialami. Bahkan seringkali begitu banyak anugerah dari Allah SWT dibalik bencana yang terjadi. Sebagai contoh adalah letusan dan erupsi Merapi yang membawa limpahan kesuburan bagi tanah dan pasir berkualitas tinggi.

Bencana sebelum terjadi telah dituliskan sejak zaman Azali di Lauhul Mahfudz. Ketika bencana telah terjadi maka disebut dengan takdir. Bagi orang beriman sikap pertama dan utama ketika terjadi bencana adalah iman. Yaitu iman kepada takdir atau qadha dan qadar Allah SWT sebagai rukun iman yang keenam sebagaimana dijelaskan melalui jawaban Nabi Saw atas pertanyaan Malaikat Jibril berwujud manusia yang bertanya tentang Iman, Islam, dan Ihsan dalam hadist dari Umar bin Khattab.

Maka wajib bagi kaum beriman meyakini bahwa bencana adalah kasih sayang-Nya sebagai peristiwa yang telah dituliskan sebelum semesta diciptakan. Dengan sikap tersebut maka kita akan semakin merasa bahwa Allah SWT adalah zat yang berkuasa mutlak dan tidak pernah menzalimi umat-Nya dengan pengetahuan-Nya yang mengetahui segala hal yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Boleh jadi korban yang berjatuhan saat bencana adalah wujud keterbatasan dan tidak tuntasnya manusia berkenalan dengan alam sebagai upaya dalam bersikap yang paling tepat untuk mengurangi resiko bencana.

Etos Keilmuan

Perihal resiko bencana kita dapat membuat perbandingan sederhana antara jumlah korban meninggal tsunami di Aceh dengan tsunami di Jepang. Korban meninggal akibat tsunami Aceh berjumlah 230.000 jiwa, sedangkan korban meninggal tsunami Jepang berjumlah 15.900 orang. Perbandingan jumlah korban yang begitu timpang diakibatkan oleh perbedaan Jepang dan Indonesia memandang bencana. Jepang lebih sadar dan kenal dengan tempat tinggalnya melalui pendekatan ilmu pengetahuan. Sedangkan Indonesia kesadarannya akan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai dasar mengenali tempat tinggalnya sangat rendah dan tertinggal.

Rasyid Ridha sebagai murid dari Muhammad Abduh memberikan pengantar atas kitab Risalah at-Tauhid karya Muhammad Abduh dengan penjelasan bahwa Tauhid yang dituliskan dalam kitab tersebut adalah Tauhid murni yang mengajak para pembaca untuk berpikir logis tentang Tuhan melalui berbagai macam penciptaanNya. Tauhid yang demikian mendorong bagi kita untuk mengoptimalkan akal dalam mencapai kemajuan kehidupan bersendikan ilmu pengetahuan sebagai etos utama yang penegasannya terdapat dalam wahyu pertama.

Surat al-Alaq ayat 1-5 sebagai wahyu pertama adalah surat yang mengandung nilai etos penguasaan pengetahuan berbasis pada Zat yang Maha Menciptakan. Perintah tersebut membuka cakrawala agar manusia mampu mengoptimalkan akalnya agar kasih sayang hadir untuk seluruh semesta. Mengenal dan menguasainya adalah perintah Allah Swt agar manusia mengenal alam semesta sekaligus mengenal siapa yang menciptakan-Nya.

Allah Swt sebagai Rabb telah menciptakan makhluk terbaik berupa manusia. Terbaik bercirikan dengan kepemilikan akal padanya. Akal membedakan manusia dengan makhluk lain. Meskipun manusia dan hewan sama-sama memiliki jasad, namun manusia adalah makhluk berjasad berkelebihan akal atau al-Hayawān an-Nātiq. Akal yang ada pada manusia diharapkan mampu dioptimalkan untuk menuntun pada kasih sayang bagi semesta alam.

Kesempurnaan manusia menjadi alasan Allah SWT memilih mereka sebagai khalifah teologis untuk mampu menghadirkan kasih sayang bagi semesta alam. Semesta seluruhnya telah ditundukkan untuk kehidupan dan kesuksesan manusia sebagai Khalifah. Namun pertanyaan Malaikat berdasarkan perintah Allah SWT tentang prediksi manusia yang suka berbuat fasad dan menumpahkan darah telah terbukti akibat manusia tak mampu mengoptimalkan akal budi yang suci.

Ketika manusia beriman disebut oleh Al-Qur’an dengan “kuntum khaira ummah”, maka seharusnya akalnya menjadi wasilah untuk berimtaq (iman dan taqwa) sekaligus beriptek (menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmuan beriman adalah ilmuwan yang menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan semesta alam. Ilmuan beriman adalah ilmuwan yang meyakini bahwa ilmu yang dimiliki tetaplah sangat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ilmu Allah Swt. Ilmuwan yang beriman adalah ilmuwan yang meyakini bahwa kepemilikan mutlak hanyalah Allah Swt dan seluruh semesta termasuk manusia adalah yang dimiliki. Oleh karena itu, ilmuwan beriman adalah ilmuwan yang tugasnya memakmurkan segala hal yang dititipkan kepadanya untuk dapat menghadirkan kasih sayang semua makhluk Tuhan. Itulah ilmuwan yang “ta’murūna bil ma’rūf, wa tanhauna ‘anil munkar”.

Namun jika kita merenungi apa yang terjadi pada bumi, nampaknya yang berilmu saat ini bukanlah ilmuan yang dimaksud di atas. Ayahanda Busyro Muqoddas pernah menyampaikan bahwa saat ini banyak sekali ilmuwan yang tuna moral. Ilmuwan tersebut adalah ilmuwan tukang. Saking geramnya terkadang layak bagi ilmuwan tersebut kita juluki sebagai ilmuwan “tuna susila”. Ilmuwan yang tega melacurkan ilmunya untuk kepentingan segelintir orang dalam menggapai keuntungan sementara. Ilmuwan yang ilmunya mengantarkan pada kerusakan alam dengan cara memperkosanya/eksploitasi tanpa peduli nasib orang lain, makhluk lain, dan ia lupa bahwa masa depan keturunannya pun ikut terancam karenanya.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bencana yang terjadi pada saat ini sesungguhnya adalah perwujudan prediksi malaikat tentang gagalnya manusia menjalankan fungsi kekhalifahan dalam mengoptimalkan akalnya untuk menghadirkan ketentraman bagi seluruh alam. Sebenarnya bukan hanya gempa Cianjur, namun secara makro, dunia saat ini sedang dilanda krisis. Jika terkait dengan krisis ekonomi, para pakar telah menyatakan bahwa krisis dengan inflasi yang terjadi dimana-mana bukanlah hanya disebabkan oleh persoalan keuangan semata. Tapi krisis multidimensi yang berakibat pada krisis ekonomi. Krisis yang diakibatkan oleh berbagai penyebab, terutama oleh rusaknya lingkungan akibat proses produksi yang hanya dominan pada kepuasan, bukan pada kemaslahatan.

Akhirnya, memang kerusakan/bencana yang terjadi adalah akumulasi dari sekian banyak faktor. Namun faktor penyebab utama adalah ketidakmampuan manusia dalam memfungsikan dirinya sebagai wakil Tuhan bagi semesta alam. Dirinya tidak akan berguna ketika tak dimanfaatkan akalnya untuk menghadirkan keseimbangan atau harmonisasi hubungan antara manusia, alam, dan Al-Qur’an. Pada saat akalnya digunakan untuk melakukan penyimpangan, maka manusia menjatuhkan derajatnya di bawah binatang ternak atau bahkan binatang melata. Bencana hanya bisa dikurangi resikonya dengan ilmu, dan ilmu adalah pemberian Tuhan yang penggunaannya tetaplah berdasarkan nilai-nilai dasar yang berpijak dari Aqidah, Syariah, dan Akhlaq yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah. Wallahu a’lam

Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.kt, M.A, Ketua Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok

Exit mobile version