Kajian UMKU: Ulama Dunia dan Ulama Akhirat
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah, maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan”. (Al Qur’an Surat Ali Imron : 187)
KUDUS, Suara Muhammadiyah – Dosen Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU), Supardi, S.E., M. Kes., menyampaikan kajian agama dengan tema “Ulama Dunia dan Ulama Akhirat” yang diikuti mahasiswa secara daring yang diselenggarakan pada hari Rabu, 7 Desember 2022 yang diikuti 139 mahasiswa dari Program studi S-1 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Kudus. Materi yang diterima oleh peserta Kajian Agama adalah Ulama Dunia dan ulama Akhirat.
Supardi yang juga Kepala Badan Studi Islam dan Kemuhammadiyahan (BSIK) UMKU menjelaskan ulama terbagi ada 2 (dua) macam, yaitu :
Pertama, Ulama dunia ( Ulama Su’ )
Mereka yang mempergunakan ilmu pengetahuannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan duniawi semata, menjadikan sebagai jembatan untuk mencapai pangkat dan kedudukan semata.
Pangkal kesesatan Ulama Su’ adalah pada niat dan amalan mereka, hati dapat diketahui dari indikator-indikator yang nampak dari amal perbuatannya. Ulama Su’ ini menyeleweng dari ajaran Allah SWT dan Rosul-Nya
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Ali Imran : 182, yang artinya “Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan sesungguhnya Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya”.
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya dengan harga murah, maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan”. (Al Qur’an Surat Ali Imron : 187)
Supardi yang juga anggota Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kota Kudus menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda dalam hadis diriwayatkan Tirmidzi, yang artinya “Barang siapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri dihadapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada diri-Nya, maka Allah akan memasukkan dia ke neraka” (HR Tirmidzi)
Supardi menjelaskan kembali bahwa Ciri-ciri Ulama dunia (ulama Su’) adalah :
Pertama, Ulama yang menyembunyikan kebenaran (Q.S. Al Baqarah : 146
Kedua, Ulama yang orientasinya hanyalah demi kebahagiaan duniawi sebagaimana yang dilarang agama dan menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah (Q.S. Ali Imran : 187)
Ketiga, Ulama Su’ tertimpa kefakiran dan tidak puas dengan anugerah Allah
Keempat, Pikiran materialistis senantiasa mengendalikan jiwanya, sedangkan kehidupan ukhrawi hampir lenyap dari ingatannya. Memanipulasi kebenaran demik mendapatkan keuntungan duniawi yang sedikit (Q.S. Al Baqarah : 79).
Sifat lain Ulama dunia (ulama Su’) misalnya mencampuradukkan antara yang haq dan batil, suka mengingkari janji dan tidak takut kepada Allah, menyuruh orang berbuat baik tetap melupakan diri sendiri, dan ciri-ciri negatif yang lainnya yang tidak pantas untuk diteladani.
Sedangkan ulama yang kedua adalah Ulama akhirat (Ulama Rabbani), Supardi yang juga Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Burikan Kota Kudus menjelaskan kembali Ciri-ciri Ulama Akhirat (Ulama Rabbani), adalah :
Pertama, Tidak mencari kemegahan dunia dengan memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ali Imran : 199, yang artinya “Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya”
Kedua, Konsekuen terhadap perkataannya, artinya perilakunya sesuai dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang untuk berbuat kebaikan sebelum ia mengamalkannya, sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah : 44 yang artinya ”Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?”
Ketiga, Mengamalkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa mendalami ilmu pengetahuan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, dan menjauhi perdebatan yang sia-sia.
Keempat, Mengejar kehidupan dengan mengamalkan ilmunya dan menunaikan berbagai ibadah.
Kelima, Menjauhi godaan penguasa yang jahat.
Keenam, Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari Al Qur’an dan As-Sunnah.
Ketujuh, Senang terhadap ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt, cinta kepada musyahadah (ilmu yang menyingkap kebesaran Allah SWT, muraqabah (ilmu yang mencintai perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dan optimis terhadap rahmat-Nya.
Kedelapan, Berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai derajat haqqul yaqin.
Kesembilan, Senantiasa khasyyah kepada Allah, ta’dzim atas segala kebesaran-Nya, tawadhu’ hidup sederhana dan berakhlak mulia terhadap Allah SWT.
Kesepuluh, Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian hati.
Kesebelas, Memiliki ilmu yang berpangkal dalam hati, sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan hal-hal yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Setiap ulama yang diidealkan oleh Al Qur’an bukanlah sekedar citra manusia berilmu saja, melainkan sekaligus manusia yang bermoral dan berakhlak mulia.
Ulama bukan orang yang memiliki ilmu melainkan harus disertai sikap istislam (menyerah), takut, dan tunduk kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, yang artinya “ Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu hukum karena Allah, dan tidak mencarinya melainkan bukan karena Allah, maka Allah akan menempatkan ke dalam neraka”
“ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S. Fathir : 28)
(Wakhidah Noor Agustina)