KUHP Baru: Antara Spirit Perubahan dan Kontroversinya

KUHP Baru: Antara Spirit Perubahan dan Kontroversinya

KUHP Baru: Antara Spirit Perubahan dan Kontroversinya

Oleh: Dr. Yusuf Saefudin, S.H., M.H., Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Tepat pada 6 Desember 2022, DPR dalam rapat Pleno ke-2 telah menyepakati pemberlakukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut menandakan bahwa Indonesia saat ini telah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru karya bangsa sendiri.

Dekolonialisasi Undang-Undang Rezim Kolonial

Sejak kemerdekaan Indonesia, KUHP yang berlaku merupakan warisan Belanda (Wetboek van Strafrecht). KUHP tersebut dibuat pada era 1800-an dan berlaku di Indonesia sejak 1918. Upaya rekodifikasi KUHP sudah mulai dilakukan sejak Seminar Hukum Nasional I tahun 1963. Sejak saat itu, perumusan terus berkembang dengan mempertimbangkan kondisi karakteristik bangsa Indonesia. Penyusunan KUHP baru ini juga mempertimbangkan kaidah hukum, asas hukum pidana, prinsip dan tujuan pembaruan hukum pidana.

KUHP buatan Belanda mendasarkan pada prinsip Pembalasan ketimbang upaya perbaikan. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan kondisi saat ini, dimana pemidanaan lebih berorientasi pada perwujudkan keadilan restorative yang mengedepankan upaya pemulihan. Oleh akrena itu, dengan diberlakukannya KUHP baru ini, meneguhkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat dengan meninggalkan produk hukum peninggalan kolonial.

Kebaharuan dalam KUHP

Beberapa hal penting dalam KUHP baru ini diantaranya: Pertama, pemerintah memperluas jenis pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku. Pidana tidak lagi mengatur soal penjara dan denda, tetapi juga kerja sosial, pidana pengawasan maupun pidana penutupan.

Kedua, negara tidak menempatkan pidana mati dalam KUHP. Mereka yang diancam hukuman mati harus menjalani hukuman percobaan selama 10 tahun dengan status hukuman mati sebagai hukuman alternatif. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 93 “Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.” Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak serta-merta pidana mati dijatuhkan dengan mudah pada terpidana, melainkan melalui sederet proses yang cukup Panjang”.

Ketiga, KUHP mengatur sejumlah kondisi khusus seseorang yang sebaiknya tidak dipidana. Sebagai contoh, seorang terdakwa  yang masih dibawah umur atau orang tua yang berusia di atas 75 tahun dapat tidak langsung dijatuhi pidana apabila itu perbuatan pertama kalinya. Namun demikian, pengecualian syarat pidana tetap berjalan jika hukuman di atas 5 tahun atau pidana khusus seperti membahayakan atau merugikan rakyat atau merugikan negara/perekonomian negara.

Pengaturan Living Law: Hukum Nasional yang Berkearifan Lokal

Pembahasan KUHP memang tidak lepas dari kritik oleh berbagai pihak. Salah satu pengaturan yang memperoleh kritik ialah mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Disatu sisi, pengaturan ini mempertegas keberadaan living law yang merupakan karakter bangsa Indonesia yang multikultural.

Paradigma kepastian hukum  sebagai  tujuan  utama  dari  penegakan  hukum  yang  bercorak legalitas formil dalam KUHP mengalami pergeseran paradimga secara fundamental dalam  rumusan  KUHP baru, yakni  dari  pemahaman  formal  ke  pemahaman  material.  Karena kepastian  hukum  yang  sesungguh  tidak  boleh  mengabaikan  hukum  yang hidup dalam masyatakat (living law) karena akan menyebabkan ketidakadilan, maka penegakan  hukum  pidana  juga  harus  mengakomidir  keberadaan  nilai-nilai  luhur yang hidup dalam masyarakat Indonesia demi memberikan keadilan

Ilustrasi

Pada rumusan Pasal 2 KUHP dapat menjadi landasan para penegakan  hukum (bukan hanya hakim)  untuk lebih  mengedepankan  aspek  keadilan sebagai marwah dari hukum itu sendiri. Dengan demikian penegakan asas legalitas tetap dijalankan  akan  tetapi  dalam  artian  asas  legalitas  materil  dengan  tidak  saja menegakan hukum tertulis semata, melainkan juga ikut serta dalam penegakan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyatakat.

Berbagai Kontroversi KUHP

Selain pro-kontra mengenai Living Law, yang dinilai tidak berkepastian hukum dan berpotensi terjadi kesewenang-wenangan apparat penegak hukum, juga terdapat berbagai pasal lain yang dinilai perlu dikaji ulang. Pertama, Pasal 433 ayat 1 (Pencemaran nama baik), “Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Pasal tersebut dinilai banyak pihak berpotensi menjadi “pasal karet jilid II”.

Kedua, Pasal 218 (Penghinaan kepada presiden), “Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.

Ketiga, Pasal 256 (Demonstrasi), “Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Aktivis pro demokrasi menilai bahwa pasal ini dapat mengancam kebebasan berpendapat dimuka umum. Namun demikian, catatan nayng harus diperhatikan adalah yang dimaksud dengan “terganggunya kepentingan umum” adalah tidak berfungsinya atau tidak dapat diaksesnya pelayanan publik akibat kerusakan yang timbul dari adanya pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi.

Keempat, Pasal 188 ayat 1 (larangan menyebarkan ideologi selain Pancasila), “Setiap Orang yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”. Pasal tersebut melarang setiap orang untuk mengkaji dan menyebarkan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Pentingnya Sosialisasi KUHP Baru

Terlepas dari sederet kontoversinya, sudah saatnya Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana milik dan buatan bangsa sendiri, bukan warisan kolonial. Hadirnya KUHP ini harus disambut dengan baik. Proses pembentukannya begitu Panjang dengan berbagai lika-liku yang dialami. Memuaskan semua orang tentu bukanlah perkara mudah dan justru cenderung mustahil. Apalagi dengan melihat kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia yang beragam suku, agama eas dan golongan. Suatu perbuatan bernilai baik di daerah tertentu tidak selalu bernilai baik ditempat lain.

KUHP baru akan diberlakukan 3 tahun mendatang. Para stakeholder terkait dan para akademisi mempunyai misi yang tidak mudah, yakni menyosialiasikan KUHP ini kepada masyarakat. Awak media juga memberikan peranan penting untuk mengedukasi, sehinggan KUHPN baru ini dapat diketahui, dimengerti dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Exit mobile version