Abdulllah Wasi’an: Da’i Kristolog, Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur

Abdulllah Wasi’an: Da’i Kristolog, Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur

Abdulllah Wasi’an Da’i Kristolog, Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur

Abdulllah Wasi’an: Da’i Kristolog, Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur

KH Abdullah Wasi’an, da’i kristolog yang lahir di Nyamplungan, Surabaya, pada 9 Juni 1917 silam. Namnya cukup tersohor sebab kepiawaiannya dalam kristologi—cabang ilmu yang mempelajarai seluk-beluk Kitab Injil serta hal yang berkaitan dengan hal tersebut—sangat luas dan mendalam. Tak pelak, ia dijuluki sebagai “Guru bagi hampir semua Kristolog di Indonesia”.

Diantra julukan yang melekat dengannya adalah “Kiai yang Kristolog”, “Benteng Islam Indonesia”, hingga “Kiai yang bisa lebih pendeta dari pada pendeta”. Berbagai gelar tersebut datang bukan tanpa sebab. Pengetahuaanya tentang kristologi, kiprahnya dalam membentengi aqidah umat Islam Indonesia, hingga pemahaman tentang bibel yang melebihi berbagai pendeta dari dalam dan luar negeri, merupakan bukti atas berbagai sematan gelar tersebut.

Perihal tersebut teraktualisasi dalam berbagai diskusi hingga debat yang pernah dilakoninya. Sebut saja seperti dengan pemimpin majalah Kristen Nihemia Jakarta (1990) dr Suradi, ada pendeta internasional asal Selandia Baru, Alex yang sengaja diutus untuk mengkristenkan tokoh-tokoh Islam Indonesia, Pendeta Steven Wehmeyer asal Texas, Amerika, Pendeta Richard Cahrles Lewis dari Califonria, Amerika, Aart Verburger dari Belanda, Pendeta Hamran Ambri yang sebelumnya merupakan pemeluk Islam, hingga beberapa pendeta dari gereja Advent Bandung.

Putra kelima dari sembilan bersaudara pasangan Hayat dan Shalihah itu mengawali langkahnya dengan belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) sekolah belanda untuk bimiputra, serta merupakan sekolah unggulan saat itu. Lulus dari HIS, Abdullah Wasi’an kemudian belajar di Pesantren asuhan KH Mas Mansur di Kawasan Ampel Surabaya.

Pada 5 Mei 1945, Abdullah Wasi’an menikah denga Zulaifah yang tinggal di Kawasan Ampel, serta dikaruniai sembilan anak. Mereka adalah Effi Yulistuti, Edib Wahyudi, Emil Fuhairi, Erif Hilmi, Eni Widyastuti, Ezif Mohammad Fahmi, Erwin Mohammad Fauzi, Elling Pangastuti dan Eddin Fithri.

Kiprahnya di Muhammadiyah dimulai ketika mendapatkan amanah sebagai ketua bagian pendidikan Pemuda Muhammadiyah Surabaya saat usia 19 tahun, tepatnya pada tahun 1936. Salah satu tugasnya adalah mengurus taman Pustaka Pemuda Muhammadiyah Surabaya. Melalui tugas tersebut, Abdullah Wasi’an juga dapat menyalurkan kegemarannya dalam membaca.

Tahun 1950 Da’i yang piawai dalam Bahasa Prancis, Belanda dan juga Jerman ini ditetapkan sebagai pengurus Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya. Sejak saat itu, Abdullah Wasi’an terus mendalami kristologi serta aktif memberikan ceramah di seluruh wilayah Jawa Timur hingga luar Jawa. Pada Muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985, hadir sebagai anggota Tanwir mewakili Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Periode 1990 – 1995 ia diberi amanah sebagai Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur sebagai Koordinator Bidang Kader dan Pengawasan Keuangan.

Selain Muhammadiyah, Abdullah Wasi’an juga pernah aktif di Pemuda Muslimin Indonesia (PMII), sayap kepemudaan Paryai Syarikat Islam Indonesia (PSII), demi memperluas pergaulannya. Tidak hanya itu, ia juga memupuk jiwa seninya dengan bergabung dengan kelompok seni Jamaah Marhabanan dengan nama Dakwatus Syubhan.

Pada masa penjajahan Jepang tahung 1943, saat Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dibentuk, Abdullah Wasi’an sudah aktif sebagai anggota. Demikian juga pada November 1945 Masyumi ‘Baru’ dibentuk sebagai hasil dari Kongres Umat Islam Indonesia di Jogjakarta ia aktif sebagai Sekretaris Cabang Surabaya. Kepiawaiannya dalam berpidato, membawa ia diangkat sebagai jurkam dalam menghadapi pemilu pertama pada 1955. Tugas Abdullah wasi’an sebagai trainer kaderisasi Masyumi di Jawa Timur akhirnya terhenti saat Masyumi membubarkan diri atas desakan Presiden Soekarno tahun 1960.

“Jika dulu berdakwah melalui politik, maka sekarang berpolitik melalui dakwah” demikian utaian pendek penuh makna yang pernah dilontarkan M. Natsir sebagai gambaran estafet perjuangan. Saat M. Natsir membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta pada 26 Februari 1967, Abdullah Wasi’an kemudian bergabung bersama KH. Misbach. Keduanya kemudian membentuk perwakilan DDII Jawa Timur. KH Misbach sebagai Ketua, sementara Abdullah Wasi’an sebagai salah satu wakil ketua. Karena kebolehannya dalam bidang Kristologi, ia ditarik oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai anggota dewan pakar.

Pensiun dari jabatannya sebagai Kepala Bidang Penerangan Agama Islam kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur, dengan tugas memberikan penyuluhan agama Islam di seluruh Jawa Timur, Abdullah Wasi’an semakin meneguhkan perhatiannya pada dakwah. Kini ia aktif memberikan pengajian di Masjid Al-Falah dengan spesialisasi perbandingan agama. Selain itu, ia juga getol dalam membentengi akhidah umat dengan membina kader yang tersebar di berbagai daerah, termasuk di Pondok Modern Gontor mengenai ilmu kristologi.

Tidak banyak da’i yang punya kemampuan lisan dan tulis layaknya Abdullah Wasi’an. Kemahirannya dalam memberikan ceramah, utamanya dalam kristologi tak perlu diragukan. Ratusan pendeta menjadi saksi akan hal itu. Demikian juga dengan kemampuanya dalam mengolah kata dalam tulisan tidak kalah menarik. Buku-buku yang banyak tersebar sebagai buktinya. Beberapa diantaranya seperti 100 Jawaban untuk Misionaris, Jawaban untuk Pendeta, Pendeta Menghujat Kiai Menjawab, Nabi Isa Masih Hidup atau Sudah Wafat, Muhammad dalam Al-Kitab dan Islam Menjawab.

16 Februari 2011 di Sidoarjo, Jawa Timur hari itu, menjadi hari dimana sang Benteng Islam Indonesia berpulang ke rahmatullah. (Dandi)

 

Exit mobile version