Kedahsyatan Doa (8)

tajdid

Foto Ilustrasi

Kedahsyatan Doa (8)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Perlu dipahami baik-baik bahwa berdoa, didoakan, dan ikhtiar merupakan satu kesatuan. Dengan pemahanan yang demikian, kesuksesan atau kegagalan yang berkenaan dengan ikhtiar yang dilakukan selalu dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala.

Pada Kedahsyatan Doa (7) yang disajikan pada Suara Muhammadiyah edisi 2022/12/02 dipaparkan kisah nyata etos kerja pendidik yang sangat tinggi. Sepertinya dia tidak pernah merasa lelah melaksanakan amanah sebagai pendidik meskipun menghadapi berbagai tantangan, bahkan, boleh jadi tentangan. Dia selalu optimistis. Ada keyakinan di hatinya bahwa sesulit apa pun masalah yang dihadapinya, pasti ada solusinya. Semua itu dimilikinya karena ada pengaruh positif yang luar biasa dari berdoa, didoakan, dan ikhtiarnya.

Hatinya bersyukur dan sangat bahagia ketika memperoleh kabar bahwa peserta didiknya sukses karena mau mengikuti nasihatnya. Hal itu membuat rasa percaya diri dan optimistisnya bertambah. Memang demikianlah seharusnya umat Islam dalam bermuamalah duniawi.

Pada Kedahsyatan Doa (8) ini dipaparkan pengaruh positif berdoa dan didoakan terhadap beberapa orang yang mempunyai profesi berbeda. Di samping itu, dipaparkan juga kisah nyata keterpaduan berdoa, didoakan, dan ikhtiar.

Selalu di Hati

Di hati orang yang berdoa dan didoakan selalu ada keyakinan bahwa pada tiap langkah ikhtiarnya pasti ada campur tangan Allah Subhanahu wa Ta’aala. Mereka yakin bahwa Dia pasti memberikan yang terbaik buat hamba-Nya. Namun, apa yang terbaik menurut dirinya, belum tentu terbaik menurut-Nya.

Jika sukses, tidak ada kesombongan sedikit pun yang timbul pada dirinya karena semuanya diyakini diperoleh atas kemahakuasaan Allah Subhanahu wa Ta’aala. Ada kesadaran yang sangat tinggi bahwa dirinya sangat lemah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’aala. Oleh karena itu, mereka mohon pertolongan-Nya melalui doa-doanya. Sukses sebagai apa pun mereka pasti selalu ingat akan peranan Allah Subhanahu wa Taa’aala.

Jika sukses sebagai ulama, akhlaknya satu kata dengan perbuatan. Fatwanya mencerahkan: tegas sebagai pembeda antara yang hak dan yang haram bukan fatwa yang remang-remang yang mengaburkan dan meresahkan. Fatwanya mencerahkan umat. Mereka menjadi teladan sebagai rahmatan lil’aalamiin. Dalam berdakwah, mereka merangkul, bukan memukul. Menasihati dengan hati. Mencegah kemunkaran dengan keramahan, bukan kemarahan. Tidak pernah mereka merasa paling pintar dan paling benar meskipun umat menilainya pintar dan selalu mendakwahkan yang benar.

Jika sukses sebagai cendekiawan, mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa ilmunya bagaikan setetes air yang jatuh dari ujung jarum yang diangkat setelah dicelupkan ke dalam lautan. Mereka  merasa bukan dirinya yang pintar, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’aala yang memudahkan segala urusannya sebagaimana doa yang diucapkannya,

“Ya, Allah! Tidak ada kemudahan, kecuali apa yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau jadikan kesulitan menjadi kemudahan jika Engkau kehendaki.” (Hamisy Musnad Ahmad)

Berkenaan dengan itu pula, mereka tidak menyombongkan diri. Mereka tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.

Jika sukses sebagai pedagang, mereka sadar bahwa kejujurannyalah yang mendatangkan keberkahan usahanya. Mereka sadar bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya mewajibkannya untuk jujur. Kesadaran itu pun mendorongnya selalu menyisihkan sebagian keuntungannya untuk infak, zakat, amal jariah, dan sedekah. Meeka sadar bahwa harta yang dibelanjakannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’aala itulah berdagang sebenarnya; perdagangan yang tidak pernah merugi yang keuntungannya menjadi bekal hidup abadi.

Jika sukses sebagai petani, mereka sadar sesadar-sadarnya Allah-lah yang menghidupkan tanamannya, menumbuhkannya, memberinya buah dengan warnanya, dan menuakannya. Oleh karena itu, mereka taat pada perintah-Nya. Zakat mal yang menjadi kewajibannya dibayarkan tanpa keraguan sedikit pun. Di hatinya tertanam keyakinan bahwa ketaatannya berzakat itu justru mendatangkan keberkahan.

Jika sukses sebagai dokter, mereka menyadari bukan dirinya yang menyembuhkan, melainkan Allah yang menakdirkan. Mereka dengan penuh tanggung jawab melayani sesamanya dalam berikhtiar sebagai wujud ibadahnya. Mereka tanpa keluh membuka pintu setiap saat diperlukan. Tidak pernah meminta imbalan, tetapi selalu memberikan layanan.  Ada keyakinan yang kuat bahwa imbalan dari Allah Subhanahu wa Ta’aala jauh lebih memuliakan.

Jika sukses sebagai pejabat publik, mereka sadar bahwa kesuksesannya bukan karena dirinya hebat, melainkan Allah Subhanahu wa Ta’aala yang senantiasa mencerahkan pikiran dan hatinya dan semua pemangku kepentingan yang terkait. Atas kesadaran itu, mereka justru makin tawaduk. Mereka tinggi prestasi, rendah hati. Bukan sebaliknya: rendah prestasi, tinggi hati!

Jika memperoleh uang sebagai hasil kerja kerasnya, ada pemahaman bahwa di dalam haknya ada juga hak orang lain. Dalam hal berbagi, mereka memahami dan mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam di dalam al-Qur’an, di antaranya, surat al-Baqarah (2): 177, yang artinya “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memer­lukan perto­longan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (me­merdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan me­nu­naikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesem­pitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Pendek kata, ketika sukses sebagai apa pun mereka selalu sadar akan keterbatasan dirinya dan kebergantungannya pada pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’aala. Nah, bagaimana jika  yang sukses adalah kita? Anak kita? Saudara kita? Teman kita? Tetangga kita?

Jika gagal, mereka tidak berputus asa karena yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala pasti memberikan yang terbaik. Dia memahami benar bahwa  di balik kegagalannya, ada hikmah yang luar biasa besar manfaatnya. Oleh karena itu, dia segera dapat move on.

Bagaimana jika yang gagal adalah kita? Anak kita? Saudara kita? Teman kita? Tetangga kita?

Bagi orang beriman, Allah Subhanahu wa Ta’aala selalu di hati. Baik kesuksesan maupun kegagalan pasti berhikmah. Sikapnya yang demikian membuat hatinya selalu lapang.

Pengaruh Positif terhadap Anak

Cukup banyak orang tua yang “terlambat” mendoakan anaknya. Ada orang tua yang ingin mempunyai anak saleh, tetapi baru berdoa setelah anak lahir dan itu pun tidak dilakukannya sendiri. Mereka mengundang tetangga untuk mendoakannya, sedangkan mereka sendiri hanya sibuk menyiapkan “berkat”.

Ada lagi orang tua yang baru mendoakan anaknya ketika janin berusia 4 bulan di dalam kandungan. Orang Jawa menyebutnya ngapati. Setelah itu, mereka baru mendoakannya lagi ketika usia kandungan 7 bulan, yang disebut oleh orang Jawa mitoni.

Salah satu di antara acara itu adalah pembacaan surat Maryam dan surat Yusuf. Dengan pembacaan kedua surat itu, diharapkan jika lahir anak laki-laki dia dapat mencontoh Nabi Yusuf sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur’an surat Yusuf. Jika lahir anak perempuan, dia dapat mengikuti jejak Maryam sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur’an surat Maryam. Sayang, pembacaan kedua surat dilakukan oleh orang lain, sedangkan orang tuanya sendiri ada yang merasa cukup dengan menyediakan berkat dan bisarah bagi orang-orang yang hadir.

Seperti telah dipaparkan, idealnya berdoa, didoakan, dan berikhtiar merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, semestinya peranan orang tua justru paling penting. Memang dalam kenyataan ada tetangga yang mampu berdoa lebih lengkap dan lebih fasih daripada orang tuanya sendiri. Hal inilah yang selalu dijadikan alasan.

Minta didoakan kepada orang saleh yang masih hidup sangat penting. Namun, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesalehan itu pun melekat pada diri orang tua. Hal ini sangat berpengaruh positif terhadap anaknya. Karena kesalehannya, doanya-doanya yang diamini oleh tetangga dan sanak saudara berpeluang mudah dikabulkan. Orang tua yang demikian mempunyai modal yang sangat berharga bagi pendidikan karakter anak pada waktu selanjutnya. Bagi anaknya, mereka adalah teladan.

Bagaimana tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Sejak berikhtiar menjemput calon suami/istri pun, umat Islam diperintah agar berdoa sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an, antara lain, surat Furqan (25): 74,

 رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

 “Ya, Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Tidak berhenti hanya sampai di situ. Ketika suami istri akan berhubungan intim, mereka diperintah agar berdoa juga,

“Dengan nama Allah, ya, Allah, jauhkanlah kami dari gangguan syaitan dan jauhkanlah syaitan dari rezeki (bayi) yang akan Engkau anugerahkan pada kami.” (HR al-Bukhari)

Jika semua tahapan proses untuk memperoleh keturunan anak saleh ditempuh secara utuh, harapan terkabulnya doa tentu sangat besar. Sudah pasti berdoa, didoakan, dan berikhtiar untuk mencapai harapan itu tidak pernah berhenti.

Berkenaan dengan pengaruh positif doa, didoakan, dan ikhtiar terhadap anak, banyak kisah nyata yang dengan mudah dapat kita saksikan dan/atau kita rasakan.

Kiriman Jodoh untuk Anak

Ada contoh kisah nyata yang perlu menjadi bahan renungan. Jodoh yang dijemput melalui doa dan ikhtiar yang sejalan dengan doa itu, mendatangkan keberkahan. Pasangan suami istri yang dianugerahi keberkahan, memperoleh keturunan yang mendatangkan keberkahan pula.

Mereka dianugerahi anak perempuan yang sejak “dilahirkan” hingga dia “melahirkan sendiri” selalu memperoleh bimbingan-Nya. Sejak kecil dia rajin salat berjamaah, termasuk salat subuh.

Dia sangat tertib dalam penggunaan waktu. Sebagaimana lazimnya anak usia 8 tahun, sepulang sekolah dia bermain. Namun, jika berjanji sebelum azan duhur sudah sampai di rumah kembali untuk salat berjamaah, janji itu dipenuhinya. Jika ada PR dari sekolah, sepulang sekolah sebelum bermain, dikerjakannya.

Sejak belajar di sekolah dasar hingga perguruan tinggi dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala. Bahkan, dia dihadiahi-Nya prestasi akademmis yang bagus.

Ada lagi yang dimilikinya. Dia diterima di dua perguruan tinggi “bergengsi.” Tentu saja dia harus memilih salah satu. Setelah melalui salat istikharah, dia baru menentukan pilihan. Dia memilih perguruan tinggi kedinasan.

Selama menempuh kuliah di Jakarta, dalam beribadah mahdah misalnya salat fardu, dia berusaha keras mengamalkan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia berusaha salat berjamaah karena salat berjamaah memperoleh keutamaan yanng lebih tinggi daripada salat sendirian. Dia suka mencari teman-teman yang rajin salat berjamaah. Jika tinggal di rumah sewa dengan teman-teman yang malas salat berjamaah, dia tinggalkan teman-teman itu dan pindah ke tempat lain yang penghuninya adalah orang-orang yang rajin salat berjamaah.

Dia bekerja di instansi pemerintah sesuai dengan latar belakang sekolah kedinasannya. Lagi-lagi, Allah Subhanahu wa Ta’aala membersamainya dalam hal jodoh.

Seperti biasanya, tiap Idul Fitri, ada acara mudik untuk bersilaturahim dengan keluarga orang tuanya, terutama dengan kakek dan neneknya. Sepulang dari acara bersilaturahim dengan keluarga besar ayahnya, sambil nyetir mobil, ayahnya mengubah lirik lagu lebaran sebentar lagi menjadi lamaran sebentar lagi. Berkali-kali ayahnya menyanyikannya. Dia mengamininya dengan serius, bahkan, sampai berkaca-kaca matanya, Namun, akhirnya dia bertanya,

“Lalu, siapa, Pak?”

“Ya, terserah Allah! Kita yakin jika Allah yang memberi, pasti yang terbaik!” Ayahnya meyakinkannya.

“Aamiin.”

Selang kira-kira sepuluh hari, dia memberi tahu ayahnya akan ada orang yang datang untuk taaruf. Benar! Sesuai dengan hari yang disepakati, orang yang dimaksud datang. Ternyata teman kuliahnya, padahal ketika sama-sama kuliah tidak ada tanda-tanda terlahir mencintainya.  Subhanallah!

Ketika berlibur dengan suami dan anaknya di rumah orang tuanya, dia mencuci dan menyetrika pakaian orang tuanya. Rupanya dia mempunyai tujuan yang tersembunyi, yakni memeriksa masih layak tidaknya pakaian orang tuanya. Jika ada yang sudah tidak layak, tanpa memberi tahu, dia mengirimkan pakaian lewat paket.

“Semoga istikamah, anakku! Semoga Allah Subhanahu wa Ta’aala selalu melimpahkan barakah-Nya! Semoga kita dipertemukan di surga-Nya. Aamiin!” teriring deraian air mata doa itu terus terucap setiap saat dari mulut kedua orang tuanya, terutama ibunya.

Mengidam sebagai Modus

Ada mitos pada sebagian warga masyarakat bahwa pada waktu hamil muda, apalagi hamil pertama, ibu tersebut mempunyai keinginan yang luar biasa untuk mengecap sesuatu. Keadaan ibu yang demikian disebut mengidam. Menurut mitos itu, jika keinginan itu tidak dipenuhi, berakibat buruk pada anak yang dikandungnya. Oleh karena itu, apa pun yang diinginkan oleh ibu tersebut harus dipenuhi meskipun sangat sulit, bahkan, mungkin berbiaya besar.

Ada ibu hamil muda yang mengatakan bahwa anak yang dikandungnya ingin mempunyai sepeda motor, mobil, rumah, gelang, cincin, kalung, atau yang lain yang di luar jangkauan kemampuan ayah. Haruskah keinginan itu dipenuhi meskipun dengan jalan utang atau, bahkan, korupsi?

Kadang-kadang ada juga ibu hamil muda yang tiap hari ingin makan rujak. Lagi-lagi, dia mengatakan bahwa yang mempunyai keinginan adalah bayi yang dikandungnya.

Ada masalah besar jika setiap keinginan dipenuhi. Mengapa? Dalam kenyataan, tidak setiap  keinginan terpenuhi. Jika terbiasa keinginannya terpenuhi, apa yang terjadi manakala dia berhadapan dengan kenyataan yang berbeda? Dia pasti mengalami kekecewaan yang luar biasa beratnya.

Ada kisah nyata. Ketika tinggal bersama orang tuanya, Rudi (bukan nama sebenarnya) hidup sangat bahagia. Segala keinginannya terpenuhi karena orang tuanya termasuk orang berada. Di sekolah, Rudi sangat disegani oleh teman-temannya. Boleh dikatakan, teman-temannya ada di dalam kekuasaanya. Disuruh apa pun mereka menurut.

Tiba saatnya dia kuliah. Orang tuanya memilihkannya kuliah di fakultas favorit di perguruan tinggi berkelas internasional di Yogyakarta. Pengalaman hidup masa lalu dijadikannya modal dalam bergaul. Dia sangat yakin bahwa teman-temannya di perguruan tinggi di tempatnya kuliah itu pasti bersikap sama dengan teman-temannya ketika bersekolah di SMA.

Modal itulah yang membuatnya dengan penuh rasa percaya diri, dia menyatakan cintanya pada Anggi (sebut saja begitu). Ternyata Anggi menolaknya. Fatal akibatnya. Rudi sangat malu dan kecewa. Seketika itu juga habislah keberanian untuk mengulang pernyataan cintanya pada Anggi. Dia tidak mampu mengatasi kekecewaan itu.

Dia pun tidak berani bertemu dengan teman-teman kuliahnya. Malahan, dia tidak berani lagi pulang ke rumah yang tergolong mewah yang disewa oleh orang tuanya. Hidupnya menggelandang. Dia tidak berani berkirim kabar kepada orang tuanya. Dia depresi.

Dari kisah nyata tersebut, ada pelajaran sangat berharga yang perlu kita renungkan. Keinginan ibu hamil muda yang kadang-kadang aneh, yang dikatakan berasal dari bayi yang dikandungnya, apakah tidak lebih tepat jika dikatakan sebagai mitos? Tidak lebih baikkah jika keinginan yang aneh-aneh pada ibu hamil muda itu diganti dengan berdoa mohon perlindungan dari keinginan yang tidak wajar itu dan mohon keturunan sebagaimana dituntunkan di dalam al-Qur’an dan hadis?

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version