YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Muktamar Muhammadiyah ke-48 bersamaan dengan Muktamar ‘Aisyiyah telah sukses digelar selama tiga hari di Surakarta, Jawa Tengah (18-20/12). Banyak pihak mengatakan Muktamar kedua organisasi Islam terbesar itu sebagai Muktamar teladan. Tentu ini capaian luar biasa yang seyogianya telah menjadi budaya (culture) yang hidup di lingkungan Persyarikatan. Dan hal itu telah teruji dalam beberapa kesempatan ketika Muktamar digelar.
Implementasi Muktamar sebagai manifestasi dari permusyawaratan tertinggi yang digelar dalam tempo lima tahunan itu telah melahirkan energi positif. Sehingga, kian memacu Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk bergerak ke depan dalam membantu (ta’awun) umat, bangsa, dan negara secara universal.
“Apa yang kita tampilkan dalam Muktamar, baik yang fisik maupun dibalik itu, yakni pelaksanaan permusyawaratannya itu sendiri dengan segala hasilnya, sesungguhnya merupakan energi positif, bisa energi lama yang diperbaharui atau ada energi baru yang itu merupakan satu kekuatan yang hidup dan menyatu dengan DNA (deoxyribonucleic acid) Muhammadiyah,” ujar Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi saat membuka Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (9/12).
Menurutnya, energi baru pancaran dari Muktamar Muhammadiyah dalam memandang masa depan, diletakan dalam satu modal yang diistilahkan dengan energi kinetik. Lewat energi kinetik itu selanjutnya menyatu dari pergerakan satu dengan sebuah pergerakan lainnya. Maujudnya berupa energi potensial yang terdapat di sebuah benda dan memiliki kekuatan tertentu.
“Dimensi energi ini dalam Muhammadiyah itu ada yang terdalam dan kalau kita mengambil pada esensinya, itu hal-hal yang bersifat ruhaniah dan metafisik, bukan sesuatu yang fisik,” ucapnya.
Pengelompokan energi bersifat ruhaniah dan metafisik meliputi tauhid. Energi ini menjadi kekuatan utama untuk menyatukan seluruh energi-energi yang ada. Di sinilah letak dari kekuatan-kekuatan dasar pergerakan Islam (Muhammadiyah). Dalam perspektif Muhammadiyah, energi tauhid tidak diabaikan begitu saja menjadi dogmatik, tetapi dipancarkan hingga seluruh ruang-ruang kehidupan.
“Jadi, tauhid ditampilkan dalam bentuk ikhlas. Dan ikhlas itu tidak dibicarakan di Muhammadiyah, tetapi di praktikan dalam kehidupan lalu menjadi jargon, idiom, bahkan state of main (keadaan utama) dan kesadaran kolektif kita. Energi ikhlas inilah yang menjadi kekuatan Muhammadiyah yang kemudian dipantulkan dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
Lebih lanjut, tauhid dalam tesmak Muhammadiyah, muncul dari manifestasi pikiran dan amaliyah. Tidak stagnan pada pandangan-pandangan tauhid yang tajrid (pemurnian semata). Tetapi juga terdapat dimensi dinamisasi dan dimensi transformasi. Seperti konteks al-Ma’un—ajaran Kiai Dahlan—dimensi tauhid yang memunculkan pergerakan (movement). Dari situlah, melahirkan amal usaha dengan konotasi pada kesehatan, layanan sosial, dan sebagainya.
“Muhammadiyah sudah sejak awal mentransformasikan tauhid ini menjadi sistem kehidupan dan energi kolektif kita untuk beramaliyah. Jadi kesimpulannya, bahwa kita punya energi terdalam yang harus terus hidup. Energi baru dalam sebuah pergerakan kita aktualisasikan dalam sistem, pemikiran-pemikiran, relasi-relasi, dan amaliyah nyata dari Muhammadiyah,” tuturnya.
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu menegaskan bahwa energi pasca Muktamar tidak boleh berhenti, tetapi harus mulai bergerak. Hal itu dimaksudkan agar ada dinamika baru yang menjadi pancaran dari energi baru Muhammadiyah. Pada saat bersamaan juga harus senantiasa membangun kolektivitas, kebersamaan serta dinamika yang memberi ruang pada kerja-kerja inovasi dan quantum life (lompatan-lompatan).
Dalam kolektivitas itu yang bersifat pasif atau normatif di mana bisa menjaga harmoni, tetapi ketika tidak melakukan dinamisasi, maka Muhammadiyah hanya dipandang oleh masyarakat luas sebagai organisasi paguyuban semata.
“Kolektivitas dan kolegialitas itu harus melahirkan kreativitas, inovasi, bahkan transformasi agar organisasi kita maju. Di sinilah ada ruang dinamika untuk bergerak. Tetapi ruang dinamika di Muhammadiyah ada koridornya yakni sistem. Sistem manapun tidak ada sempurna, tetapi sistem kita ini relatif yang kita anggap terbaik dari banyak hal,” pungkasnya.
Dia mengharapkan agar energi baru Muhammadiyah harus dikapitalisasi, transformasi, dan agregasi. Inilah sumbu dari berjalannya sebuah kepemimpinan. Prof Haedar tidak lupa berpesan agar paradigma kepemimpinan di masa yang akan mendatang harus di aktualisasikan menjadi kepemimpinan transformatif. Yakni kepemimpinan yang mampu mendendangkan perubahan, memobilisasi potensi, dan mengagendakan masa depan.
“Kepemimpinan ke depan, harus bergerak dinamis dan transformatif. Agar energi yang kita miliki baik secara ruhaniah maupun alam pikiran dan sistem, menjadi kekuatan sentrifugal untuk membawa kemajuan-kemajuan yang lebih maju, dahsyat, dan meluas,” tukasnya.
Semua itu menjadi komitmen Muhammadiyah dalam Muktamar di Surakarta, Jawa Tengah, di mana telah mengusung tagline lima tahun ke depan, yakni Muhammadiyah Unggul Berkemajuan. Di sinilah Prof Haedar mengharapkan ada energi baru yang perlu diakselerasi, di agregasi, dan di transformasikan oleh seluruh warga Persyarikatan di manapun berada. (Cris)