Merawat Kedermawanan Muhammadiyah
Oleh: Hazim Hamid, Ketua PCIM Hongaria
Indonesia diakui sebagai negara paling dermawan sedunia. Prediket ini mengacu pada hasil survey yang dilakukan oleh Charities Aid Foundation tahun 2018 dan 2021.
Nilai kebajikan tersebut setidaknya dapat dipotret dari karakter warga Muhammadiyah. Sebagai salah satu elemen bangsa, jama’ah persyarikatan sangat dikenal dengan kultur nyah nyoh nya yang kuat. Baik yang bersifat donasi dana, barang, maupun tenaga.
Tetapi, kita diingatkan oleh filosof Herakleitos (540 SM – 480 SM). Bahwa di dunia ini segala sesuatu berubah, tidak ada yang tinggal tetap, satu-satunya yang tetap adalah perubahan itu sendiri.
Artinya, kalau ingin mempertahankan hal yang dinilai baik, harus ada upaya sistematis sesuai dengan konteks zamannya. Demikian halnya ketika hendak menjaga nilai baik warga Muhammadiyah. Untuk itu, tulisan ini bermaksud menawarkan gagasan dalam merawat spirit kebajikan tersebut.
Teologi Filantropi
Pertama, merawat kedermawanan bisa ditempuh dengan cara meneguhkan teologi filantropi. Suatu landasan keagamaan dalam membantu orang lain yang bersumber dari al-Quran maupun hadits.
Dalam tradisi Islam, akar kedermawanan bisa dilacak dari adanya ajaran agama untuk menunaikan zakat, infaq, dan shadaqah.
Selain itu, banyak juga pesan ayat suci maupun hadits yang menyerukan tentang penting memberikan kepedulian dengan sesama ummat manusia. Pesan suci tersebut oleh founding father Muhammadiyah diinterpretasikan secara transformatif yang dikaitkan dengan konteks sosial di sekitarnya.
Misalnya, ketika KHA. Dahlan mengajarkan kepada santrinya tentang surat Al-Ma’un, beliau tidak hanya mengajak membaca, menghafal, atau menerjemahkan, tapi juga meminta agar santrinya dapat mengamalkan ajaran tersebut.
Pendekatan yang demikian, diharapkan mampu melahirkan satu sikap yang seimbang antara keimanaan dan kemanusiaan. Antara kesalehan individu dan kesalehan sosial.
Landasan teologis transformatif ini perlu didiseminasikan dari generasi ke generasi. Materi-materi pengajian tentang kepedulian sosial tidak boleh kalah gencarnya dengan kajian yang membahas produk tarjih tentang fiqih ibadah.
Penguatan teologi filantropi diharapkan mampu menghasilkan satu karakter warga Muhammadiyah yang seimbang dalam memegang teguh keimanan dan jiwa sosialnya.
Pelopor dan Inspirator Filantropi
Kedua, Muhammadiyah perlu selalu menghadirkan figur-figur inspirator sekaligus pelopor filantropi. Mereka berperan sebagai influencers bagi jutaan ummat Muhammadiyah dalam gerakan sosial.
Strategi menghadirkan influencers belakangan banyak diterapkan oleh berbagai pihak, terutama di sektor politik dan bisnis. Goal-nya adalah mempengaruhi publik agar menduplikasi cara berfikir dan perilaku para role models tersebut.
Hanya saja, ada perbedaan substantial antara yang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan lembaga-lembaga pragmatis tersebut. Kalau influencers di Muhammadiyah umumnya bersifat natural, sedangkan di lembaga lain lebih bersifat pencitraan.
Pendahulu-pendahulu Muhammadiyah banyak berperan pelopor filantropi sekaligus sebagai inspirasi. Sosok KH.A Dahlan adalah salah satu model yang sangat menarik diteladani. Cerita kebajikannya tak pernah habis dikuliti.
Dalam catatan H Soedjak (1882-1962) “Cerita Tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan” digambarkan bagaimana upaya yang dilakukan mempelopori kedermawanan untuk kepentingan Muhammadiyah.
Ketika kondisi ekonomi sekolah yang dirintisnya mengalami kesulitan pembiayaan dan harus menangguhkan pembayaran gaji ke para guru, Kyai Dahlan kemudian memutuskan untuk melelang semua aset yang dimilikinya. Tersisa hanya satu surban, satu jas, dua baju dalam dan dua sarung lama.
Menariknya, menurut kalkulasi awal, total barang yang dilelang diperkirakan senilai 500 gulden. Tetapi hasil penjualan yang diperolah mencapai lebih dari 4000 gulden atau setara dengan delapan kali lipat.
Lebih dari itu, semua barang yang sudah dibeli akhirnya dikembalikan lagi kepada Kyai Dahlan. Sehingga barang yang dimiliki tidak berkurang sedikitpun tapi mampu meraih donasi yang cukup signifikan guna kelangsungan persyarikatan.
Kisah lelang ini, menurut catatan Kyai Soedjak, sangat mempengaruhi semangat kedermawanan bagi keluarga Muhammdiyah khususnya dan kaum muslimin simpatisan pada umumnya kala itu.
Peropor dan inspirator kedermawanan ini lazim terjadi di awal-awal rintisan Muhammadiyah di berbagai daerah. Merekalah yang menginspirasi warga Muhammadiyah dalam berlomba-lomba menjemput pahala. Baik bersifat donasi dana, material, maupun tenaga.
Mempertimbangkan peran pentingnya, figur-figur influencers filantropi yang sebisa mungkin terus dihadirkan dan direproduksi. Agar spirit kedermawanan tetap lestari.
Kepercayaan Publik
Cara ketiga dalam merawat kedermawanan adalah dengan menjaga kepercayaan publik. Ini merupakah aset persyarikatan yang tak ternilai harganya. Hal ini bisa dilakukan setidaknya melalui pengelolaan yang amanah dan profesional.
Sudah menjadi rahasia umum, daya tarik bagi warga maupun simpatisan Muhammadiyah menitipkan harta sosialnya melalui Muhammadiyah, baik berupa zakat, infaq, shadaqah, maupun waqaf, adalah karena diyakini bahwa pengelolanya tidak perlu diragukan tingkat kepercayaannya.
Kepercayaan masyarakat karena ke-amanah-an ini harus terus dirawat. Kasus penyalahgunaan yang dilakukan oleh lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) beberapa waktu silam bisa diambil pelajaran. Jangan sampai kasus serupa terjadi di tubuh Muhammadiyah.
Selain itu, kepercayaan publik harus dijaga dengan pengelolaan filantropi yang profesional. Tata kelola profesional merupakan identitas khas organisasi modern, Muhmmadiyah.
Hasil studi disertasinya Amelia Fauzia (2008) menyebutkan, bahwa Muhammadiyah sudah menerapkan sistem pengelolaan filantropi modern sejak masa kolonial. Pengelolaan modern tersebut diindikasikan dengan adanya pengelolaan berbasis kelembagaan secara profesional.
Konsekuensi dari lembaga filantropi modern, mekanisme pengelolaan, baik penerimaan maupun penyalurannya adalah dikendalikan secara organisasi, bukan oleh individu.
Model pendekatan modern yang dikembangkan Muhammadiyah kala itu, kontras dengan praktik pengelolaan filantropi tradisional yang hanya diserahkan pada tokoh lokal, misalnya modin atau kyai lokal.
Dalam perkembangannya, sistem filantropi modern kini telah diadopsi oleh lembaga-lembaga lain. Baik lembaga yang berbasis agama maupun yang business-oriented.
Meskipun demikian, profesionalisme filantropi cara Muhammadiyah tentu berbeda dengan pendekatan lembaga filantropi lain, terutama yang baru lahir dalam dekade belakangan. Masing-masing memiliki konteks sosial dan akar historis yang berbeda.
Kalau filantropi yang berkembang pada institusi lain, seperti YSDF, Dompet dhuafa’ ACT, mereka berperan pada dua sisi, menghimpun dana dan mengembangkan program untuk menyalurkan dana ummat tersebut.
Filantropi di Muhammadiyah dapat diperankan sebagai institusi penopang gerak program majelis dan lembaga terkait. Sistem kerjanya bersifat kolaboratif antar majelis dalam rangka mendukung tercapainya tujuan Muhammadiyah.
Melalui mekanisme yang demikian, salah satu ukuran keberhasilannya bisa dilihat dari sejauh mana pengelolaan dana ummat dapat dikolaborasikan dengan majelis maupun lembaga lainnya untuk memberikan dampak bagi kesejahteraan sosial.
Atau secara kelembataan, filantropi Muhammadiyah lebih strategis jika menfocuskan pada upaya berkontribusi dalam mempersempit kesenjangan antar amal usaha. Sehingga tidak perlu ada kesan amal usaha yang menjadi sumber “mata air” dan yang penuh “air mata”.
Amanah dan profesionalisme sebagaimana diuraikan di atas menjadi karakter filantropi Muhammadiyah sejak awal yang mutlak dijunjung tinggi demi memperkuat kepercayaan publik, baik di kalangan internal Muhammadiyah maupun eksternal.
Akhirnya, ada idiom popular yang patut direfleksikan: “menciptakan sesuatu itu sulit, tapi merawatnya jauh lebih sulit”. Semoga generasi Sang Surya senantiasa mendapatkan kemudahan dalam merawat perilaku prososial warga Muhammadiyah.