Agama, Kesehatan Otak, dan Serangan Bom Bunuh Diri

Agama, Kesehatan Otak, dan Serangan Bom Bunuh Diri

Ilustrasi

Agama, Kesehatan Otak, dan Serangan Bom Bunuh Diri

Oleh: Wildan, Nurcholid Umam Kurniawan, dan Widiastuti

“Carilah dengan apa yang telah dianugerahkan

Allah kepadamu kebahagiaan di akhirat dan

janganlah lupakan bagianmu di dunia ini.

Berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat

baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat

kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak suka

pada orang yang melakukan kerusakan”.

(QS al-Qashash [28] : 77).

Agama dari kata gam (bahasa Sanskerta) yang berarti pergi, sebagaimana kata go (dalam bahasa Inggris) yang juga punya arti yang sama, yaitu pergi. Karena kedua bahasa itu merupakan cabang bahasa dari pohon bahasa yang sama, yaitu Proto-Eropa. Kata gam dapat awalan dan akhiran a, lalu berubah arti, kata agama menjadi berarti jalan, yaitu jalan menuju Tuhan (road to Allah).

Berdasarkan sabda Nabi Muhammad, bahwa substansi dalam hidup beragama adalah membangun interaksi (Shihab., 2000 ). Yang dimaksud dengan interaksi adalah membangun hubungan timbal balik, yaitu membangun interaksi dengan Allah (hablun minallah), membangun interaksi dengan diri sendiri (hablun minafsihi), membangun interaksi dengan sesama manusia (hablun minannas) dan membangun interkasi dengan lingkungan alam (hablun minalalam).

Menurut Mukti Ali (1991), pentingnya agama itu dinamakan Islam, bahwa makna Islam adalah “masuk dalam perdamaian”. Dengan demikian seorang Muslim adalah damai dengan Allah, damai dengan diri sendiri, damai dengan sesama manusia dan damai dengan lingkungan alam. Dengan demikian, pelaku serangan bom bunuh diri, jelas tidak damai dengan diri sendiri, apalagi akan damai dengan orang lain. Hal ini bisa terjadi karena Allah adalah sumber rasa damai yang sejati. Ketika pelaku serangan bom bunuh diri melakukan ritual shalat, dia tidak menghadap Allah, tapi hanya menghadap tembok. Bisa jadi dia saleh ritual, tetapi tidak saleh esensial, pandai beribadah, tetapi tidak pandai berpikir (Madjid, 2015).

Adalah menjadi tugas Islam untuk menciptakan perdamaian di dunia ini dengan menegakkan persaudaraan semua agama di dunia, menghimpun kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam agama-agama yang dulu, membetulkan ajaran-ajaran yang salah, mengganti yang palsu dengan yang benar, mengajarkan kebajikan abadi yang dulu belum pernah diajarkan karena keadaan-keadaan khusus tiap-tiap ras, dan masyarakat dari tingkatan perkembangannnya, dan akhirnya mengajarkan tuntunan-tuntunan moral dan spiritual bagi kemajuan umat manusia (Ali, 1991).

Menurut Shihab (2000), substansi ajaran al-Qur’an tidak bermaksud menciptakan masyarakat yang seragam di seluruh belahan bumi dan sepanjang masa, tetapi memberikan prinsip-prinsip umum yang memungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup di dalam masyarakat tertentu, dan pada gilirannya suasana ketentraman di bawah ridha Tuhan atau menurut istilah al-Qur’an terciptanya baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.

Agama, Ambisi Kekuasaan dan Serangan Bom Bunuh Diri

Manusia menurut al-Qur’an adalah ciptaan Allah yang diberi tugas untuk menjadi khalifah (QS al-Baqarah [2] : 30). di atas Bumi, guna membangun bayangan surga di muka Bumi. Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan ini, manusia tidak dibedakan menurut latar belakang kesukuan maupun jenis kelamin, semua setara di hadapan Allah dan diberi kebebasan untuk berpikir dan bertindak. Namun agar fungsi kekhalifahan ini berjalan sesuai dengan yang dikehendaki Allah, maka Allah memberikan rambu-rambu petunjuk, yang dalam kisah tentang proses penciptaan Adam disebut dengan istilah “kalimat” (QS al-Baqarah [2] : 37). “Kalimat” ini, meminjam istilah Nurcholis Madjid (2015), berfungsi sebagai “spiritual safety net” (jaring pengaman spiritual), yang akan selalu menjadi pembimbing atas kebebasan yang diberikan Allah. Kalau demikian, maka istilah “kalimat” tidak lain dari agama.

Menurut Abu Hafsin (2006), dalam Kata Pengantar buku “Islam dan Humanisme” dengan penulis Hasan Hanafi et al., keyakinan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka Bumi jelas akan melahirkan dua sisi implikasi, yakni implikasi internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan implikasi internal adalah keyakinan kita sebagai umat Islam akan kebenaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai perwujudan dari “kalimat” yang tidak lain dari agama. Mengapa? Karena dalam Islamn keseluruhan ajaran agama ini dapat dipelajari melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasululllah. Apa yang tertulis dalam al-Qur’an dan dipraktikkan oleh Rasulullah merupakan pembimbing bagi manusia agar kebebasan yang diberikan Allah sejalan dengan fungsi kekhalifannya.

Akan tetapi, kalaupun kita sepakat untuk menempatkan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai pedoman, permasalahan yang terkait dengan upaya memanusiakan manusia bukan berarti telah selesai. Misalnya, dalam konteks legislasi al-Qur’an, kebanyakan Ulama beranggapan bahwa arti literal itu sendiri ditujukan sebagai pembimbing sekaligus penjaga manusia dalam upaya “memanusiakan manusia”. Dengan demikian, hukuman potong tangan, hukuman mati, hukuman rajam, hukuman jilid delapan puluh kali bagi yang ketahuan minum khamar atau segala jenis zat yang memabukkan dan hukuman-hukuman lainnya sering dianggap tidak manusiawi dalam sudut pandang Barat, merupakan hukuman yang manusiawi menurut kacamata Islam. Mengapa demikian? Karena semuanya ditujukan untuk menjaga martabat serta hak-hak kemanusiaan yang paling dasar. Hukuman mati untuk menjaga hak hidup, potong tangan untuk menjaga hak kepemilikan, jilid dan rajam untuk menjaga kehormatan keluarga dan keturunan, hukuman jilid bagi pemabuk untuk menjaga kesehatan otak. Jadi hukuman-hukuman itu berfungsi sebagai “sarana” atau “perantara (wasilah)” yang akan menghantarkan pada suatu tujuan, yakni menjaga hak-hak kemanusiaan yang paling asasi (dlarury). Hanya dengan menjaga hak-hak dasar inilah fungsi kekhalifahan manusia akan terjaga.

Persoalan kontroversial di kalangan sarjana Muslim kontemporer, sebenarnya terletak bukan pada perumusan “tujuan” untuk memanusiakan manusia,tetapi pada perumusan mengenai “perantara” yang menghantarkan pada tujuan tersebut. Bagi ulama literalis, “perantara” itu sudah ditetapkan secara baku dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, karena itu tidak ada hak bagi Muslim untuk mengubah ketentuan “perantara” yang tertulis secara jelas dan pasti (sarih dan qath’iy) baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadis. Namun demikian ada sejumlah ulama, meskipun tidak banyak, yang lebih menitikberatkan pada pada pencapaian “tujuan”. Bagi mereka perantara boleh saja berubah asalkan tujuan memanusiakan manusia bisa dicapai. Jadi potong tangan, jilid, rajam dan sebagainya, bisa saja diganti dengan hukuman yang lain selama tujuan itu dapat dicapai.

Islam memandang bahwa fungsi kekhalifan manusia tidak mungkin terwujud dengan baik, atau dalam bahasa yang lebih singkat, bumi ini akan rusak manakala hak-hak dasar kemanusiaan tidak terjaga dengan baik. Jadi undang-undang tentang perlindungan Bumi itu sangat berwatak Qur’ani dan manusiawi, tertib lalu lintas itu sangat Qur’ani dan manusiawi, karena jelas yang dituju adalah keselamatan nyawa manusia. Kebiasaan untuk antri serta kesetaraan gender yang sejalan alam atau qodrat kewanitaan juga sangat Qur’ani dan manusiawi. Mengapa? Karena telah memandang dan menempatkan manusia dalam posisiinya sebagai “manusia”. Jadi yang dilihat bukan sebagai “orang penting” atau “orang yang kurang penting”, bukan pula wanita sebagai sebuah “jenis” tetapi wanita sebagai “manusia”.

Jika kita sepakat bahwa perusakan terhadap alam dan lingkungan akan membawa petaka terhadap nyawa manusia, maka perusak lingkungan selayaknya mendapat hukuman setara dengan yang melakukan pembunuhan. Namun sejauh ini aturan tentang lingkungan tidak pernah mendapatkan tempat khusus dalam fiqih atau hukum Islam. Demikian juga orang yang melakukan pemasungan pemikiran, selayaknya disejajarkan dengan peminum khamr atau zat-zat lain yang dapat merusak otak. Jadi harus diakui secara jujur bahwa hukumn aturan produk Barat terkadang lebih memanusiakan manusia daripada umat Islam.

Menurut Harun Nasution (2001, dalam bukunya “ Islam ditinjau dari berbagai aspeknya”, di kalangan masyarakat Indodnesia terdapat kesan bahwa Islam bersifat sempit. Kesan itu timbul dari salah pengertian tentang hakikat Islam. Kekeliruan paham ini terdapat bukan hanya di kalangan umat bukan Islam, tetapi juga di kalangan umat Islam sendiri, bahkan juga di kalangan sebagian agamawan-agamawan Islam.

Kekeliruan paham itu terjadi, karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di Indonesia ditekankan pada pengajaran ibadah, fiqih, tauhid, tafsir, hadis dan bahasa Arab. Oleh karena itu, Islam di Indonesia banyak di kenal hanya dari aspek ibadah, fiqih, dan tauhid saja. Dan itupun, ibadah, fiqih dan tauhid biasanya diajarkan hanya menurut satu mahzab dan aliran saja. Hal ini memberi pengetahuan yang sempit tentang Islam.

Dalam Islam sebenarnya terdapat aspek-aspek selain dari yang tersebut di atas, seperti aspek teologi, aspek ajaran spiritual dan moral, aspek sejarah, aspek kebudayaan, aspek politik, aspek hukum, aspek lembaga-lembaga kemasyarakatan, aspek misticisme dan tarekat, aspek falsafah, aspek ilmu pengetahuan dan aspek pemikiran serta usaha-usaha pembaharuan dalam Islam.

Sudah barang tentu mengenal bahwa Islam hanya dari tiga di antara aspek-aspek yang demikian berbagainya menimbulkan pengertian yang tidak lengkap tentang Islam. Hal ini dapat membawa kepada paham dan sikap yang sempit. Untuk mengatasi hal ini dirasa amat perlu untuk memperkenalkan Islam dalam berbagai aspeknya kepada masyarakat Indonesia.

Nabi Muhammad berpesan, apabila manusia telah meninggal agar segera dimakamkan. Nabi sendiri baru dimakamkan setelah tiga hari beliau wafat. Hal ini bisa terjadi karena para sahabat “sibuk” dalam perebutan kekuasan untuk menggantikan posisi Nabi sebagai kepala negara (Madjid, 2015). Fatimah, puteri Nabi, sampai marah kepada para sahabat Nabi karena jenazah ayahnya tidak segera dimakamkan (Audah, 2003). Jadi Nabi adalah korban pertama politik perebutan kekuasaan, pasca-Nabi wafat.

Lebih lanjut menurut Harun Nasution (20010, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan politik.

Sewaktu Nabi mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah, beliau belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri sendiri. Umat Islam di waktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi bersama Sahabat dan umat Islam lainnya, seperti diketahui, terpaksa meninggalkan kota ini dan pindah ke Yasrib, yang kemudian terkenal dengan nama Medinah, yaitu Kota Nabi.

Di kota ini keadaan Nabi dan umat Islam mengalami perubahan besar. Kalau di Mekkkah mereka sebelumnya merupakan umat yang lemah yang tertindas, di Medinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara; suatu negara yang daerah kekuasaannya diakhir zaman Nabi meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Medinah Nabi Muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara.

Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Sebagai diketahui dari sejarah pengganti beliau yang pertama ialah Abu Bakr. Abu Bakr menjadi kepala negara yang ada pada waktu itu memakai gelar khalifah, yang arti lazimnya ialah pengganti (Inggris : successor). Kemudian setelah Abu Bakr wafat, Umar Ibn al-Khattab menggantikan beliau sebagai khalifah yang kedua. Namun karena arti khalifah adalah pengganti, maka menurut beliau, jika beliau menggunakan juga gelar khalifah, berarti menjadi penggantinya-pengganti. Oleh karena itu, beliau lebih suka menggunakan sebutan sebagai Amirul Mukminin, lebih kurang artinya Komandan (Madjid, 2015).

Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi khalifah yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalan-persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Ia mengangkati mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah-daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar, khalifah yang dikenal sebagai orang kuat dan tidak tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi khalifah atau orang-orang yang ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul itu. Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang. Di Mesir Amr Ibn al-Aas dijatuhkan sebagai gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerakl dari Mesir menuju Medinah. Perkembangan suasana di Medinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.

Setalah Usman wafat, Ali Ibn Abi Talib, sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Dalam peperangan yang terjadi Talhah dan Zubeir mati terbunuh, sedang Aisyahg dikirim kembali ke Mekkah.

Tantangan kedua datang dari Mu’awiah, Gubernur Damaskus dan anggota keluarga yang terdekat dengan Usman Ibn Affan. Mu’awiah juga tidak mengakui Ali sebagai khalifah bahkan ia menuduh Ali turut campur tangan dalam soal pembunuhan Usman, karena salah satu dari pemuka pemberontak, Muhammad, adalah angkat Ali. Antara kedua golongan akhrinya terjadi peperangan di Siffin, Irak. Tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiah sehingga yang tersebut akhir ini telah bersedia untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiah, Amr Ibn al-Aas, yang terkenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan menangkat al-Qur’an ke atas. Imam-iman yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu dan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan hakam atau arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang : Amr Ibn al-Aas dari pihak Mu’awiah dan Abu Musa al-Asy’aru dari pihak Ali.

Dalam pertemuan mereka berdua, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiah. Dan tradisi menyebut Abu Musa sebagai yang tertua berbicara lebih dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Tetapi Amr, yang berbicara kemudian, mengumumkan hanya menyetujui untuk menjatuhkan Ali sebagai telah dijelaskan Abu Musa dan menolak untuk menjatuhkan Mu’awiah. Peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiah. Mu’awiah yang pada mulanya hanya berkedudukan gubernur kini telah naik derajatnya menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau keputusan ini tidak diterima Ali dan tak mau meletakkan jabatan sehingga ia mati terbunuh di tahun 661 M. Tetapi ia tidak dapat lagi melawan Mu’awiah,bukan hanya karena telah mempunyai saingan dalam kedudukannnya sebagai khalifah, tetapi juga karena kekuatan militernya telah pula menjadi lemah.

Dari sejarah ringkas di atas, bahwa khalifah (pemerintahan) yang timbul sesudah wafatnya Nabi Muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajaaan, tetapi lebih dekat merupakan republik, dalam arti, kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun-temurun. Jelas bahwa cara pengangkatan kepala negara sebagai yang diungkapkan sejarah ini, bukanlah cara yang dipakai dalam sistem kerajaan. Cara itu lebih sesuai untuk dimasukkan ke dalam sistem pengangkatan kepala negara dalam pemerintahan demokrasi.

Menurut Abu Hafsin (2006), jika agama mengajarkan pada para penganutnya untuk menghormati orang lain, hidup berdampingan dengan harmonis dan semua itu sejalan dengan spirit humanisme, maka kekerasan atas nama agama bisa jadi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara semangat keberagamaan dan kemampuan untuk memahami ajaran agama. Semangat keberagamaan yang tinggi tanpa disertai pemahaman yang mendalam akan dimensi esoteris dari agama dapat mengarahkan manusia pada sikap fanatik (fanatical attitude), sikap keberagamaan yang sempit (narrow religiousity) dan fundamentalisme.

Menurut Dadang Kahmad (2019), Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, dalam Prolog : “Islam untuk Keadilan Sosial”, di buku tulisan Deni Asyari, dengan judul “ Islam yang Berpihak : Menelusuri Jejak Pemihakan Islam terhadap Kemanusiaan”, bahwa tak seorang pun yang bisa mengklaim sebagai manusia religius yang seutuhnya jika kurang memiliki kasih sayang dan sensitifitas terhadap penderitaan orang lain. Karena Islam sebagaimana tertuang di dalam al-Qur’an menitik beratkan terhadap empat ajaran penting yang tanpa keempat hal tersebut seseorang tidak dapat disebut sebagai Muslim yang sempurna, Pertama, ‘adl (keadilan); kedua, ihsan (kebaikan); ketiga, rahmah (cinta kasih); dan keempat, hikmah (bijaksana). Jadi seorang Muslim harus adil, berbuat baik, menebarkan cinta kasih serta bersikap bijaksana dalam pergaulan hidup sesama manusia.

Islam selain menjadi dasar bagi gerakan spiritual, gerakan kebudayaan dan gerakan moral, gerakan pembebasan dan kemanusiaan serta gerakan keadilan dalam perjalanan sejarahnya tidak bertahan lama, Islam pun perlahan-lahan mengalami perubahan yang telah jauh dari watak dasarnya. Bahkan ironisnya, jika berbicara persoalan ketidakadilan, pelanggaran HAM, kekerasan agama dan yang lain, tidak jarang Islam masuk dalam isu dan sorotan publik. Hal ini bisa terjadi karena dalam ber-Islam, kini tidak ubahnya ibarat sebuah “mukena” yang berada di masjid-masjid yang dipergunakan dalam waktu-waktu tertentu saja.

Merujuk pada tulisan Azyumardi Azra (2022), yang berjudul “ Buya Ahmad Syafii Maarif : Memadukan Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemanusiaan” dalam buku yang ditulis Abdul Mu’ti dkk. dengan judul “Mencari Negarawan, Sosok dan Pemikiran Ahmad Syafii Maarif”, bahwa Buya Maarif memang sudah lama gundah pada kaum Muslimin yang terpenjara sejarah pahit dan ‘sumbu pendek’ (seperti melakukan serangan bom bunuh diri), baik di Indonesia maupun di bagian dunia lain di Asia Selatan, Timur Tengah, dan di Afrika. Buya juga berharap kepada Azra, sebagai “anak kemaren sore”, untuk senantiasa tegar menghadapi berbagai tantangan yang muncul dari mereka yang terus terjebak dalam romantisme sejarah yang usang dan membelenggu semacam ‘khilafah’.

Menurut Madjid (2015), ketika kita merasa telah menjadi orang-orang yang beriman dan melakukan kewajiban-kewajiban formal, namun janji Allah tidak datang, maka berarti ada sesuatu dari unsur Sunnatullah yang tidak kita penuhi. Itulah yang harus kita cari sehingga kita akan memperoleh Rahmat dari Allah yang tidak hanya sebagai Rahim, tetapi sebagai Rahman. Ini sesuatu yang penting kita renungkan dengan baik dan tentunya hal itu tidak mudah kita capai. Namun demikian, kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu berusaha atau Mujahadah (berusaha sungguh-sungguh). Apabila kita berusaha sungguh-sungguh maka Allah akan menunjukkan berbagai jalan yang tidak hanya satu. Tidak satu jalan keselamantan, tetapi banyak. Tidak sabil tetapi subul. Inilah yang harus kita cari, sekaligus inilah yang harus kita usahakan setiap hari dengan mencurahkan seluruh dana dan daya kita. Umumnya umat Islam hanya sampai pada beribadah, tetapi tidak berpikir. Oleh karena itu, banyak sekali kehilangan unsur-unsur Sunnatulllah yang membuat mereka kehilangan realisasi dari janji-janji Allah yang telah disebutkan dalam Kitab Suci.

Maka,

Berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab akan menjadi kata-kata;

Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab akan jadi perbuatan;

Berhati-hatilah dengan perbuatanmu, sebab akan jadi kebiasaan;

Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebaB akan jadi watak;

Berhati-hatilah dengan watakmu, sebab akan menentukan nasibmu!!!

 

Kesehatan Otak dan Demokrasi yang Damai

Manusia berasal dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin) yang berarti ‘makhluk berakal budi’.

Hukum otak : gunakan atau hilang, use it or lose it. Perintah Tuhan yang pertama kali kepada umat manusia adalah membaca, iqra’. Menurut Nasaruddin Umar, (2015), Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, perintah iqra’ dalam Kitab Suci disampaikan Tuhan empat kali. Maknanya, pertama read, bacalah. Membaca tidak hanya sekedar vokalisasi huruf. Maka, makna kedua, think, pikirkanlah makna-makna (meanings) dan nilai-nilai (values) yang tercantum dalam Kitab Suci. Dengan demikiian, Tuhan berharap agar manusia menjadi manusia yang ulul albab, manusia yang punya pemikiran yang mendalam. Makna ketiga, understand, pahamilah. Untuk memahami Tuhan memberi petunjuk, gunakan kalbumu (otak depan) untuk memahami ayat-ayat Allah, gunakan matamu (otak belakang) untuk memahami kebesaran Allah, gunakan telingamu (otak samping kanan dan kiri) untuk mendengar ayat-ayat Allah. Jika manusia lalai, tidak menggunakan otaknya, perilakunya akan seperti binatang ternak, sehingga mudah digiring ke neraka tinggal bersama dengan jin yang juga tidak menggunakan otaknya (QS al-A’raf [7] : 179). Makna keempat, maintain, jagalah, peliharalah nilai-nilai (values)dalam Kitab Suci dalam bentuk perilaku yang bernilai (amal saleh), seperti yang dilakukan oleh Nabi (the living Qur’an). Apabila hal ini dilakukan oleh manusia, maka akan menjadi manusia yang sesungguhnya manusia sebagaimana yang dikehendaki Tuhan (The King of Mankind). Maka, surah terakhir Kitab Suci yaitu surah ke 114 adalah an-Nas, manusia (the Mankind). Jadi, perintah iqra’ adalah petunjuk Tuhan agar manusia terpelihara kesehatan otaknya !

Abad XXI adalah abad otak, the century of the brain. Al-kisah, pada suatu hari Nabi Muhammad sedang memberi “kuliah” kepada para sahabat. Tiba-tiba masuklah seorang Arab pedalaman, orang Badui, orang yang berpendidikan rendah, “nyelonong” masuk “ruang kuliah” langsung bertanya kepada Nabi. Para sahabat marah, namun dengan sikap sabar dan bijaksana Nabi menenangkan para sahabat. Orang Badui itu bertanya kepada Nabi, tentang “hati nurani” karena dia mendengar dari orang lain bahwa Nabi membei petunjuk, jika orang itu ingin berperilaku baik, haruslah berperilaku berdasarkan hati nurani. Nabi lalu menempelkan tangan beliau ke dada orang itu, dan berpesan jika dia berperilaku buruk akan berdebar-debar jantungnya (bukan hatinya), tidak merasa nyaman, tidak merasa tenteram. Sebaliknya, jika berperilaku baik, tidak terasa debaran jantungnya, merasa nyaman, merasa tenteram. Orang Badui itu melaksanakan petunjuk Nabi, dia tercatat sebagai orang saleh, karena dia dalam berperilaku berdasarkan “hati nurani” (Madjid, 2015).

Ketika Nabi memberi petunjuk kepada Ali bin Abi Thalib, bahwa agama itu akal budi (Madjid,.2015). Karena Ali itu seorang intelektual (hanya dia diantara al Khulafa’ar- Rasyidun yang meninggalkan sebuah karya monumental, ‘Nahj al-Balagh’), yang kecerdasannya diakui Nabi, Nabi berkata : “Saya ini gudangnya ilmu, Ali itu pintu gerbangnya” (Audah 2003). Maka, berbeda ketika menghadapi orang Badui, Nabi tidak perlu sampai memegang jidat Ali, karena Ali sudah paham.

Dulu, ketika Nabi Muhammad Saw. masih hidup, waktu itu abad VII, jika umatnya bertanya kepada kepada beliau dimanakah letaknya takwa (tunduk dan patuh pada kehendak Tuhan)? Beliau akan mengarahkan telunjuknya ke arah dan menuju ke dada (jantung) beliau sendiri.

Now, jika beliau saat ini masih sugeng di abad XXI dan kita sebagai umat beliau, bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti jadul, beliau akan menunjukkan dan mengarahkan jari telunjuknya ke dahi beliau. Atau, ke jidat kita ! Hal itu bisa saja terjadi, jika “menderita” DDR (Daya Dongnya Rendah) ! atau RDB (Ra Dong Blas) !

Menurut Aswin (1995), selama berabad-abad orang merasa yakin pusat perilaku bukanlah otak. Jantung (atau hati) paling sering dikatakan sebagai mekanisme utama kegiatan manusia. Filsuf Yunani Plato (420 – 347 sM) membagi-bagi perilaku di antara tiga bagian tubuh: keberanian dan ambisi berpusat di hati (maksudnya jantung). Penalaran di kepala. Sedangkan sifat-sifat lebih rendah, seperti hawa nafsu dan rasa lapar berpusat di perut.

Manusia bukan sekedar superior animal, tetapi ia diciptakan sebagai makhluk yang unik. Kemampuan adaptasi yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya, kemampuan manipulatif tangan-tangannya yang mengagumkan dan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa. Labih dari itu, menurut Jacob (1975), apa yang merupakan ciri khas manusia ialah kemampuannya berpikir dengan otaknya. Dengan ciri khas otak yang dimilikinya manusia menamakan dirinya Homo Sapiens, yang secara optimistis berarti Manusia, Si Bijak.

Otak dan perilaku saling terkaiti, kedua-duanya sangat kompleks, dan secara evolusioner kedua-duanya berjalan bersama-sama. Setiap perilaku, baik pikiran, perasaan atau pun tindakan manusia berawal di dalam otak. Otak merupakan sumber fisik perilaku dan bertindak sebagai pusat komando pengendalian perilaku.

Dengan kerumitan otaknya yang telah mencapai perkembangan yang menentukan, muncullah bakat berbahasa. Dengan isyarat dan verbal sederhana, manusia purba dapat menyampaikan segala yang mereka pelajari dan alami; pengalaman yang disimpan di dalam otak sebagai ingatan (memory) itu diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian terjadilah evolusi lain, yaitu evolusi nonbiologis, evolusi yang dikendalikan oleh otaknya, yang dapat menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, apa yang disebut peradaban manusia.

Memang kesehatan bukan segalanya, tetapi tanpa kesehetan segalanya menjadi tidak bermakna, health is not everything but without it everything is nothing (Arthur Scopenhauer, 1788 -1860). Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (rohani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Belum ada definisi konkret tentang otak sehat. Karena itu mengacu pada Undang-Undang Kesehatan di atas, maka secara sederhana otak sehat dapat diartikan sebagai otak yang keberadaannya juga sehat secara fisik, mental, spsiritual, dan sosial (Machfoed, 2016)

Otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan seorang manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat alam hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Disebut normal, apabila otak memiliki struktur anatomi dan fungsi apa adanya (anatomical and physiological normally). Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungis secara baik, tetapi juga memilki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan. Bahkan, kepemimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otak secara optimal, sehinggga ia melampaui batas kenormalannya menuju kesehatan otak (Machfoed, 2016).Keunggulan manusia sudah jelas tergantung pada perkembangan otaknya. Fungsi otak memang menjadi ukuran keberadaan otak itu. Yang dinilai bukan ada tidaknya otak, tetapi sejauh mana otak dapat berfungsi. Karena otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa pencerahan pada manusia (Pasiak, 2003).

Menurut Pasiak (2012), Prefrontal Cortex, otak yang letaknya di belakang dahi manusia, adalah otak yang hanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia, hewan tidak. Oleh karena itu, tulang dahi manusia merupakan tulang tengkorak manusia yang paling tebal. Ini ibaratnya seperti untuk melindungi CPU pada komputer.

Budi (Prefrontal Cortex), ibaratnya Menteri Dalam Negeri untuk memimpin dan mengendalikan otak akal-pikiran yang ibaratnya Gubernur dan otak emosi atau otak perasaan, ibaratnya Walikota/Bupati, agar mereka seiring sejalan, sehingga perilaku manusia bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia lainnya. Perilakunya manusia yang manusiawi, bukan manusia yang berperilaku hewani. Hidupnya akan penuh makna (meaningful), tidak tanpa makna (meaningless) akibat melakukan perbuatan keji dan mungkar.

Oleh karena itu, Presidennya pada Presiden, Tuhan Yang Maha Esa, dalam sehari semalam “open house”, memberi peluang kepada Pak Mendagri menghadap dengan cara bersujud meletakkan dahinya di tempat sujud sebagai wujud puncak penghormatan, setelah sebelumnya mengucapkan mohon pertolongan dan petunjuk yang lafalnya berbunyi : “Hanya kepada Tuhanlah manusia mengabdi dan memohon pertolongan, agar dibimbing (diantar) manusia (memasuki) jalan lebar dan luas, (yaitu) jalan manusia-manusia yang Tuhan anugerahi nikmat, bukan (jalan) manusia-manusia yang dimurkai Tuhan dan bukan (pula jalan) manusia-manusia yang sesat” (QS al-Fatihah [1] : 5 – 7).

Menurut Pasiak (2012), adapun fungsi Prefrontal Cortex adalah : 1) Perencanaan masa depan (future planning), Tuhan mengingatkan agar manusia melihat ke depan, menjadi manusia yang visioner, yaitu iman kepada hari Kemudian (the day After) yang merupakan hari pembalasan; 2) Penganbilan keputusan (decision making). Adapun keputusan yang bernilai apabila baik (sesuai dengan ptunjuk Tuhan dalam Kitab Suci), benar (sesuai dengan ilmu pengetahuan), dan adil (sesuai dengan proporsinya); dan 3) Pengendali nilai (value).

Para Nabi adalah manusia yang diutus Tuhan, selain untuk menyampaikan ajaran agama, kabar gembira dan peringatan, juga sebagai contoh manusia yang sukses memfungsikan Prefrontal Cortex-nya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Perilaku para Nabi penuh nilai-nilai moral (moral values). Oleh karena itu, para Nabi punya karakter sama, yaitu sidiq (lurus), jujur (mengatakan apa yang telah dilakukannya) dan berintegritas (melakukan apa yang telah dikatakannya), amanah (dapat dipercaya), menyampaikan pesan kebenaran (tabligh), dan smart, cerdas (fathonah).

Lewat surah al-Alaq [96] : 15, Tuham memberitahu manusia, apabila manusia tidak memfungsikan Prefrontal Cotex-nya sesuai dengan nilai-nilai moral (moral values) yang diajarkan Tuhan dan diperagakan prakteknya oleh para Nabi, kelak ke neraka akan diseret pada jidatnya ! Tuhan sudah memberi Kitab Suci sebagai petunjuk dan para Nabi sebagai contoh suri tauladan agar manusia terbebas dari api neraka !!!

Merujuk pada tulisan Ahmad Najib Burhani (2022), Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN0, budaya berdemokrasi kita, terutama dalam pemilihan umum, kadang diwarnai dengan intrik-intrik, polarisasi, dan perkelahian. Justru kondisinya adem ayem, tanpa konflik, dan berjalan lancar, hal itu dipandang sebagai sesuatu yang tak lumrah. Bahkan, ada tendensi untuk mencurigai sistem pemilihan pimpinan yang tak disertai kesengitan sebagai direkayasa atau tak demokratis.

Dalam pemilu, termasuk pemilihan pimpinan organisasi masyarakat (ormas), money politics seperti sesuatu yang lazim terjadi. Koper-koper berisi uang cash, perputaran uang dari tim sukses ke sejumlah utusan yang hadir, aksi borong kamar hotel oleh calon tertentu, janji dan iming-iming pemberian tiket serta akomodasi kepada pemilih agar mengarahkan suaranya kepada calon tertentu adalah cerita-cerita yang sering didapatkan dari muktamar, termasuk yang dilakukan oleh ormas Islam.

Belum lagi dengan perang spanduk, banner, poster atau flyer, umbul-umbul, dan baliho di arena muktamar. Kadang, begitu kita memasuki kota tempat berlangsungnya muktamar, nuansa dan aroma perang udara melalui baliho besar sudah bisa dirasakan. Kota seperti terkepung dengan foto dari wajah-wajah mereka yang mencalonkan diri sebagai pimpinan ormas tertentu. Begitu masuk waktunya pemilihan, berbagai drama dan kegaduhan pun terjadi. Kadang hingga berdarah-darah dengan adu jotos, lempar kursi, dan berbagai keoranan lain.

Yang terjadi di Muktamar Ke-46 Muhammadiyah di Surakarta, 18 – 20 November 2022, adalah warna yang berbeda dari sebuah proses pemilihan pimpinan. Ormas modernis terbesar di Indonesia ini menjalankan proses demokrasi dalam pemilihan pimpinannya dengan adem ayem, tenang dan damai. Tidak ada kampanye dari setiap calon karena basis pemilihannya adalah rekam jejak (track record) atau prestasi-prestasi yang dicapai setiap calon dalam periode kepengurusan sebelumnya. Bukan semata janji-janji manis menjelang pemilihan. Calon yang terlihat terlalu agresif justru kehilangan dukungan. Tidak bisa seseorang tiba-tiba mencalonkan diri karena semata-mata punya uang. Proses penjaringan calon pimpinan dilakukan jauh-jauh hari sebelum muktamar. Dimulai dengan penyebaran formulir ke daerah-daerah di Indonesia. Demokrasi yang dijalankan berbasiskan pada civic culture, yaitu pemimpin dan yang dipimpin memiliki sikap saling percaya serta menghormati.

Hal yang barangkali tak tampak dalam demokrasi di Muhammadiyah kali ini adalah berbagai warna “ideologis” yang membentuk warga persyarikatan selama ini. Semuanya tampak seragam, tak terlihat yang memiliki kecenderungan salafi, liberal, konservatif, tradisional, nasionalis, atau kecenderungan ideologis lainnya. Warna Yogyakarta, Jawa Tengah, Jakarta, atau Jawa Timur yang biasa berebut pengaruh dalam pemilihan juga sunyi. Ini berangkali yang membuat sebagian melihat pimpinan di muktamar kali ini bersifat datar, kurang gereget, dan kurang heboh.

Singkat cerita, dalam menanggapi Pemilu 2024 yang sering ditanyakan wartawan. Nyaris nada jawabannya seragam bahwa Muhammadiyah bersikap “loyal kritis” terhadap pemerintah. Mungkin ini konsekuensi lain dari sebuah demokrasi yang damai.

Warga Muhammadiyah adalah contoh konkret di jaman now, mampu menggunakan akal budi dalam hidup berdemokrasi, mampu menggunakan otak sehat daripada hanya sekedar otak normal ! Hasilnya demokrasi yang damai !

Akhirnya,

“Hendaknyalah kamu menjadi umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh orang melakukan yang benar dan melarang yang mungkar. Merekalah orang yang mencapai kejayaan” (QS Ali Imran [3] : 110).

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammdiyah Bantul dan Dosen FK-UAD

Widiastuti,S Ag., MM, Manajer Bina Ruhani RS PKU Muhammadiyah Bantul

Exit mobile version