Strategi Gerakan Umat Islam

Strategi Gerakan Umat Islam

Strategi Gerakan Umat Islam

Strategi Gerakan Umat Islam

Oleh: Ramadhanur Putra

Ini adalah series kedua dari tulisan saya sebelumnya yang dipublish oleh madrasahdigital.co pada 09 Desesember 2022 lalu, “RKUHP Sah, Umat Islam Harus Bergerak.” Dalam tulisan tersebut, telah dipaparkan bahwa islam adalah agama perjuangan dengan beberapa prinsip. Oleh karena itu, islam harus dapat hadir dalam menyelesaikan permasalahan disekitar dengan nilai-nilai universal yang dimiliki.

Dalam tulisan kali ini, penulis ingin memaparkan strategi gerakan sosial umat islam. Hal ini menjadi sangat penting dalam melakukan rekayasa transformasi sosial ke arah yang lebih baik dengan spirit keislaman. Agar, nilai-nilai keislaman dapat diterjemahkan secara rasional dan kongkrit, tidak diterjemahkan dalam arti sempit dan kolot.

Setidaknya, ada tiga strategi yang dapat dilakukan oleh umat islam dalam melakukan gerakan sosial.

Epistemologi; Kritis-Objektif

Untuk melihat suatu permasalahan, maka yang sangat diperlukan adalah pikiran yang kritis. Kritis adalah sebuah kompetensi atau daya yang dimiliki oleh seseorang dalam mengurai suatu permasalahan. Mampu untuk mengulur benar merah permasalahan, mengurai, dan membedakan pokok permsalahan agar tidak bercampur aduk.

Itulah yang kita sebut kemudian dengan kritis-objektif. Pikiran yang tetap mengedepankan logika dan rasionalitas. Berbeda dengan kritis-subjektif yang akan lebih cenderung sporadis dan reaksioner. Pada akhirnya, kritis-subjektif inilah yang akan membawa kaum tertindas menjadi penindas baru dalam agenda transformasi sosial.

Paulo Freire menekankan pentingnya kritis-objektif untuk melihat persoalan dalam realitas, ini kemudian yang dia sebut dengan objektivisme realitas. Sebuah kemampuan melihat realitas secara objektif. Oleh karena itu, ia menolak subjektivisme realitas. Karena baginya, subjektivisme hanya membawa kita pada persepsi palsu – perubahan dengan menindas orang lain) (Freire, 2019).

Dalam KUHP misalnya, umat muslim tidak boleh sekonyong-konyong untuk ikut-ikutan dalam mengkritisi kebijakan. Mereka harus berangkat dari realitas secara objektif. Mampu membedakan prinsip universalitas islam dan juga problem yang terjadi dalam realitas. Sebagai contoh, penolakan terkait pasal yang berbicara hukuman mati dalam KUHP. Umat islam harus mengenali prinsip-prinsip kapan seseorang dapat dihukumi mati dan kapan seseorang tidak dapat dihukumi mati dengan memahami realitas secara objektif.

Fikri Asrofi dalam artikelnya yang berjudul (Hukuman Mati dan Keadilan, 2022) memaparkan sebuah scenario untuk melihat proses hukuman mati secara humanis dan juga objektif.

Ada seorang bernama Nurdin, Nurdin merupakan seorang karyawan swasta yang memiliki keluarga kecil yaitu istri dan satu orang anak perempuan berusia 16 tahun. Pada saat nurdin sedang dinas keluar kota nurdin mendapati kabar dari tetangga bahwa anak dan istrinya telah ditemukan meninggal dunia dalam keadaan tanpa busana dengan leher terikat sarung, setelah investigasi ditemukanlah tiga orang pelaku yang ketika dimintai keterangan oleh polisi memang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan secara berencana. Lalu nurdin pun meminta keadilan yang setimpal yaitu hukuman mati sesuai yang berlaku di indonesia namun ada segelintir orang bertamengkan HAM yang menolak hukuman mati tersebut karena menganggapnya tidak bermoral.” 

Maka, terlontarlah sebuah pertanyaan. Siapakah yang tidak bermoral sebenarnya? Apakah Nurdin yang menuntut hukuman mati? Atau si pemerkosa dan pembunuh anak serta istrinya?

Gerakan; Radikal-Profetis

Pemikiran kritis-objektif akan mengantarkan kita pada gerakan radikal-profetis dengan prinsip perjuangan umat islam yang penulis paparkan dalam tulisan sebelumnya. Sebaliknya, pemikiran kritis-subjektif akan membawa kita pada gerakan radikal-ekstrimis.

Sehari pasca pengesahan KUHP, tepatnya tanggal 7 Desember 2022. Terjadi sebuah aksi terror bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung. Aksi terror itu divalidasi dengan data yang menyebutkan bahwa pelaku adalah mantan narapidana terorisme (Prasetya, 2022). Pada motor yang dipakai oleh pelaku, terdapat tulisan, “KUHP, HUKUM SYIRIK/ KAFIR. PERANGI PARA PENEGAK HUKUM SETAN. Q.s 9 : 29”.

Aksi terror tersebut, sangat menunjukkan sikap yang reaksioner, radikal-ekstrimis. Oleh karena itu, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita lakukan demi mewujudkan gerakan radikal-profetis yang berangkat dari pemikiran krits-objektif dan juga prinsip perjuangan umat islam.

Pertama, kontekstualisasi doktrin. Hal ini menjadi sangat penting dalam mewujudkan gerakan islam yang radikal-profetis. Umat islam tidak boleh memahami agama secara tekstual. Ajaran agama harus dapat ditafsirkan kedalam realitas secara objektif. Bahkan, Muhammad Arkoun (1928) memandang kita juga perlu untuk melakukan dekontruksti atas interprestasi ajaran agama sebelum-belumnya. Begitu pentingnya agama dipahami secara kontekstual.

Kedua, memahami realitas. Sebagai upaya melakukan kontekstualisasi ajaran agama. Maka, sangat penting bagi kita untuk memahami realitas. Memahami realitas secara filosofis, sosiologis, normatif, bahkan yuridis. Upaya memahami realitas dapat berwujud pada sikap bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam, banyak agama, suku, ras, dan budaya. Dengan memahami realitas, diharapkan terbentuknya ruang publik yang dialogis dan aman bagi sesama.

Ketiga, literasi digital. Data survei yang dilakukan Pusat Pengkaian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2017 bahwa mayoritas siswa dan mahasiswa mempelajari agama dari sosial media, dengan total 50,89 % (Derina Rahmat, 2019). Hal ini menjadi sebuah ancaman jika seseorang tidak punya pemahaman terkait literasi digital. Memilah informasi yang valid dan juga sikap kritis bermedia. Sebaliknya, ini juga menjadi peluang dalam menuangkan gagasan-gagasan gerakan radikal-profetis dalam rangka menepis ekstrimisme dalam beragama.

Membangun Politik Identitas

Selama ini, mungkin politik identitas yang kita ketahui adalah perilaku kolektif dalam menyikapi politik dengan identitas tertenu yang disematkan. Politik yang seperti ini, pada akhirnya menyebabkan pemisahan sosial dan diskriminasi dalam kelompok-kelompok politik. Hal ini lazim kita temui pasca kemerdekaan, apalagi pada saat pilpres tahun 2019 kemarin dengan adanya label ‘cebong’ dan ‘kampret’ untuk menyebutkan identitas politis.

Padahal, jika kita melihat sejarah kemunculan politik identitas sangat jauh dari apa yang kita pahami sekarang. Istilah politik identitas muncul pada pertengahan dekade 1960. Dan pertama digunakan oleh sebuah kolektif radikal feminis kulit hitam yang berdiri di Boston, AS pada 1974. Kelompok itu bernama Combahee River Collective (CRC).

CRC mengemukakan pengertian politik identitas dengan empat hal pada konteks perjuangan mereka saat itu. Pertama, berpihak pada kaum minoritas; Kedua, tidak mengusung agenda sempit/partikular yang kemudian dipertentangkan dengan kelompok tertindas lainnya; Ketiga, mengampanyekan solidaritas pada semua masyarakat tertindas; dan keempat, politik identitas itu anti kapitalisme, imperialisme, dan patriarki (Pontoh, 2022).

Senada dengan membangun politik identitas yang mengedepankan solidaritas dalam perjuangan kaum tertindas. Pendekatakan gerakan sosial baru harus tetap diupayakan, dalam politik identitas konflik tidak lagi berpusat pada pertentangan kelas. Melainkan dipahami dalam konteks baru, yakni sebagai upaya reformasi politik, mendorong demokratisasi, dan mengurangi dominasi serta hegemoni penguasa.

Abdur Rozaki dalam bukunya Islam, Oligarki Politik, dan Perlawanan Sosial menganalisis reformasi politik yang dilakukan oleh masyarakat Madura dalam melawan struktur oligarki lokal karena kekecewaan politik (political grievance). Analisis yang dilakukan menggunakan pendekatan teori politik pertentangan (contentious politics) yang mensistesiskan kekecewaan politik sebagai faktor internal perlawanan dan memanfaatkan struktur kesempatan politis (political opportunity structure), melakukan pembingkaian isu (framing), memperluas struktur mobilisasi massa (mass mobilization structure), serta langgam pertentangan (repertoire of contention) sebagai faktor eksternal perlawanan. (Rozaki, 2021).

Maka, sudah sedapatnya gerakan umat islam bersatu padu dengan gerakan lain dalam melakukan rekayas trasnformasi sosial. Inklusif dan progresif. Menangkap segala keresahaan kelompok tertindas lainnya lalu menjadi aktor pemersatu dalam mengakomodir segala keresahan tersebut.

Catatan Penutup

Tulisan ini adalah refleksi penulis dalam menyikapi gerakan umat islam hari ini yang cenderung sporadis, ekstrimis (beberapa kasus), dan juga ekslusif. Selain itu, ternyata umat islam masih banyak yang memahami gerakan sosial secara dikotomis dengan gerakan dakwah. Padahal hal tersebut secara prinsip sangatlah sama.

Berbicara perihal gerakan dakwah islam hari ini menjadi hal yang tabu. Dianggap kolot dan konservatif. Pandangan seperti ini, pada akhirnya melahirkan hubungan diametral antara gerakan dakwah dan gerakan sosial. Sehingga, gerakannya cenderung ‘kering’ dan sekuler. Padahal, gerakan yang dibentuk haruslah berangkat dari spirit perjuangan islam itu sendiri.

Sebaliknya, gerakan dakwah yang berangkat dari spirit keislaman tanpa ada upaya yang penulis paparkan diatas, membawa gerakan dakwah cenderung stagnan dan berbahaya. Ekstrim, rasis, dan memahami agama secara dogmatis.

Ramadhanur Putra, Ketua Umum PK IMM FAI UMY

 

Exit mobile version