Negara Hukum dan Pembentukan Undang-Undang
Oleh : Immawan Wahyudi
Rancangan Undang-undang KUHP telah usai pembahasannya. Oleh karena itu telah ditetapkan menjadi Undang Undang KUHP. Selalu ada kontroversi dalam pembentukan undang-undang. Apalagi undang-udang sepenting dan sestrategis KUHP. Bahkan diantara yang dipandang sebagai kontroversi secara substansi dan juga kontroversi secara sosiologis –karena muncul di era reformasi—adalah pasal-pasal yang dikenal sebagai haatzai artikelen yang sering diartikan sebagai pasal karet.
Sebenarnya hukum secara formil dan juga dalam penegakannya adalah wilayah penguasa. Hukum ada karena ada kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sah lah yang menciptakan hukum. Bahkan untuk menegakkan hukum juga memerlukan adanya kekuasaan. Dalam hal ini Prof. Sudikno mengatakan; “Yang dapat memberi atau memksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum adalah penguasa. Penguasa mempunyai kekuasaan untuk memaksanakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum. Hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.” (Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, 2008, hal. 20).
Apa yang disampaikan Prof. Sudikno adalah statemen teori yang lazim dikenal dalam filsafat positivisme hukum. Namun demikian hukum sebagai parameter kebaikan dan kebenaran memiliki cara berfikir, cara bertindak dan cara mengimplementasikannya sendiri. Hal ini berlaku secara universal maupun berlaku karena telah diatur dalam UUD NRI 1945 dan UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Indonesia sebagai Negara yang dideklarasilkan sebagai negara hukum terikat secara filosofis, secara moral dan secara yuridis untuk berfikir, bertindak dan mengimplementasikannya sebagaimana yang dilakukan di Negara-negara yang menganut faham demokrasi dan hukum sebagai panglima.
Haatzai Artikelen
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana menjelaskan secara rinci poin-poin masalah dari draft terbaru RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) versi tanggal 30 November 2022 yang akan disahkan DPR dan Pemerintah pada Selasa besok, 6 Desember 2022. LBH Jakarta dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI pada hari Senin, 5 Desember 2022.
Arif menyatakan terdapat beberapa pasal karet yang menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil. Di antaranya, masalah penghinaan pemerintah dan lembaga negara (pasal 240), masalah pengaturan pidana denda (pasal 81), masalah pidana mati (pasal 100), masalah larangan unjuk rasa tanpa pemberitahuan (pasal 256), serta masalah pasal subversif yang kembali muncul (pasal 188). Statemen ini dapat diakses di link : https://nasional.tempo.co/read/
Dalam pengertian yang lebih tepat hatzai artikelen adalah pasal yang mengatur delik yang sudah mati (tidak berlaku lagi) tetapi dicoba untuk dihidup-hidupkan. Hal ini bisa kita cocokkan antara arti secara kebahasaan dengan arti secara sosiologis. Secara sosiologi Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan pasal yang berkaitan dengan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. KUHP yang baru disahkan memasukkan pasal pidana penghina Preiden dan Wakil Presiden maka adalah satu bukti kecocokan arti kebahasaan yakni pasal yang telah mati tetapi terus dicoba dihidup-hidupkan.
Sementara itu, di situs dpr ri kita temukan seorang sarjana menulis tentang pentingnya essensi undang-undang dapat mewujudkan kesejahteraan dan bukan membebani rakyat. Tulisan berjudul Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan ini ditulis oleh Joko Riskiyono. Penulis artikel itu adalah seorang yang memiliki “jabatan” sebagai Tenaga Ahli dari Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Artikel itu bahkan diuanggah dalam laman resmi yakni https://jurnal.dpr.go.id.
Hal yang cukup menarik adalah pada ending artikel tersebut Joko memberikan saran antara lain menyatakan; “Konstitusi negara/UUD 1945 yang telah mengamanatkan konsepsi legislasi sebagai negara kesejahteraan, sampai saat ini sulit untuk diraih. Mandat negara kesejahteraan tersebut merupakan konsensus nasional pada saat negara Indonesia berdiri. Undang-undang sebagai produk legislasi diharapkan mampu mewujudkan kesejahteraan, bukan malah membebani rakyat untuk mencapai cita-cita kesejahteraannya.” Joko juga memberikan argumen bahwa, “Undang-undang yang dihasilkan dengan melibatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat, pada umumnya mempunyai nilai-nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Demikian pula sebaliknya, undang-undang yang kurang akomodatif dan tidak partisipatif, berpotensi untuk bertabrakan dengan nilai keadilan dan kemanfaatan sosial. Bahkan berpotensi mengalami konflik dengan kepastian dan kemanfaatan, sedangkan tuntutan terhadap kemanfaatan pada suatu ketika akan bertabrakan dengan keadilan dan kepastian.”
Tentu artikel ini menjadi bagian dari kontroversi. DPR RI dikritik karena membentuk undang-udang dengan mengabaikan aspirasi masyarakat. Sedang artikel yang diunggah di laman resmi DPR RI itu seperti mengajari bagaimana membentuk undang-undang yang baik. Siapapun penulis artikel itu adalah suatu contoh pandangan yang bagus, bahwa hukum itu hidup dijiwa dan pikiran warga masyarakat yang mau memahami hakikat adanya hukum. Tidak terkendala oleh strata pangkat dan jabatan.
Persoalan Keadilan Essensi Undang-undang
Secara normatif pembentukan peraturan perundang-undangan sudah demikian jelas apa kriterianya dan bagaimana proses pembentukannya. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terakhir diubah dengan
Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan; “Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Demikian pula system dan prosedur pembentukan suatu UU sudah demikian jelas tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 yang terakhir diperbaharui dengn UU Nomor 15 Tahun 2019, juga dalam Tata Tertib DPR RI sendiri. Artinya, jika suatu undang-undang dipermasalahkan kelahirannya tentu akibat adanya reistensi dari masyarakat. Dalam hal ini sebenarnya merupakan hal yang sangat wajar jika membahas tentang hukum –dalam bentuknya yang kongkret yakni undang-undang– juga harus dibahas dalam perspektif tentang keadilan. Sifat adil merupakan hal yang seharusnya inheren dalam suatu undang-undang. Sebab secara filosofis hukum adalah wajah depan perjuangan dalam menegakkan harkat dan martabat manusia –yang dimanapun berada– menghajatkan keadilan.
Dalam kaitan penegasan diatas Theo Huijbers mengutip P. Bohannan mengatakan bahwa “hukum yang tidak adil bukan hukum.” Atas dasar hal ini dikemukakan tiga argumentasi yang salah satunya menyatakan bahwa; “dengan bertindak secara tidak adil suatu pemerintah sebenarnya bertindak di luar wewenangnya…” (Huijbers, Fi;safat Hukum, 1995, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal.72.
Atas pandangan-pandangan filosofis seperti tersebut diatas maka hukum diidentikkan oleh teori dengan trilogy yakni: kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Ketiganya seharusnya menyatu menjadi spirit dari suatu produk hukum yang dibentuk oleh Negara. Dengan hanya mengejar kepastian semata maka hukum hanya akan menjadi wakil dari kekuasaan pemerintah dan –boleh jadi—akan menjadi musuh dari mereka yang diatur yakni rakyat.*
Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta – Alumni S3 FH UII