Muhammadiyah: The Guild of Modernist Muslems
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Muhammadiyah sejak awal dikenal secara luas sebagai organisasi dan gerakan Islam yang moderen (modernist muslem movement). Saya tidak tahu pasti sejak kapan Muhammadiyah disebut modernis dan siapa yang pertama kali menyebutnya demikian. Dalam teori klaim memang dikatakan siapa yang pertama kali membuat klaim maka akan memenangkannya. Artinya, orang akan cenderung menerima dan mengikuti klaim pertama tersebut. Jadi siapa yang pertama membuat klaim maka dia akan memenangkannya. Lihat saja PDIP dengan klaimnya “Partai Wong Cilik”, Amerika dengan klaimnya “kampium Demokrasi”.
Pernah ada kelompok yang iri predikat kemodernan Muhammadiyah tersebut sampai memviralkan sebuah foto tentang dua orang tokoh: yang satu tokoh Muhammadiyah lama yang kebetulan mengenakan sarung dan sorban yang dikerumuni jamaahnya dan diciumi tangannya; yang satunya foto seorang tokoh yang mengenakan setelan jas lengkap dengan dasinya dari salah satu organisasi yang selama ini disebut oleh para sarjana sebagai tradisional. Di bawah foto yang disandingkan itu dibuat caption yang berbunyi: “Siapa yang moderen, siapa yang tradisional?”. Tentu pembaca maklum apa maksud postingan tersebut. Meski sempat viral, foto tersebut tidak mengubah konstelasi.
Sungguh bisa dimengerti jika ada orang luar yang iri hati dengan dengan predikat kemoderenan Muhammadiyah itu. Lantas mereka dengan penuh semangat menolak dan atau menggugat klaim tersebut. Tetapi akhirnya mereka menyerah juga dan tidak berdaya untuk membatalkan klaim kemoderenan Muhammadiyah tersebut. Pasalnya, klaim kemoderenan Muhammadiyah itu sudah berurat dan berakar, serta bukan hanya didukung oleh kalangan yang lebih netral, bahkan malah diajukan oleh kalangan ilmuwan sosial dan humaniora, baik dari dalam maupun luar negeri yang selama ini dikenal dan terkenal memiliki reputasi sebagi Indonesianis dan Islamis yang baik.
Maka agak mengherankan jika akhir-akhir ini saya melihat ada indikasi beberapa kalangan di Muhammadiyah sendiri yang lupa atau bahkan menolak bahwa Muhammadiyah mempunyai klaim historis sebagai gerakan Islam moderen (modernisme Islam) tersebut. Ada orang Muhammadiyah yang menolak atau mulai sungkan (reluctant) dengan modernisme Muhammadiyah yang nota bene di-klaim dengan semangat oleh para founding fathers (al-sabiqun l-awwalun) Muhammadiyah sendiri.
Tentu perkembangan itu, jika benar, perlu dicermati. Pasalnya, organisasi-organisasi Islam yang lain justru terus bergerak semakin maju dan moderen. Nahdlatul Ulama (NU), saudara muda Muhammadiyah, dalam empat dasawarsa terakhir ini telah bergerak menjadi moderen dan progresif. Herbert Feith dan Lance Castle dalam Kata Pengantar-nya untuk buku Indonesian Political Thinking 1945-1965 edisi bahasa Indonesia, menegaskan bahwa “Dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB NU) pada tahun 1984, NU dapat dikatakan telah memperoleh wajah moderen” (lihat Herbert Feith dan Lance Castles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1978, hal. xxvii).
Apalagi setelah tahun 1999, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat. Laksana lokomotif, Gus Dur menarik dengan cepat sekali gerbong NU menjadi sangat moderen. Lihat saja sekarang, NU bukan hanya mulai membangun rumah-rumah sakit dan universitas-universitas seperti halnya Muhammadiyah, melainkan juga secara politik dan sosial memiliki pandangan-pandangan yang sangat progresif.
Modernisme tanpa liberalisasi
Sangat meyakinkan sejak awal Ahmad Dahlan tampak sekali memiliki pandangan-pandangan keislaman yang maju dan moderen. Pengalaman hidupnya di tengah-tengah bangsanya yang terjajah dan terbelakang, kemudian belajar Islam di Mekkah dan menyelami kehidupan sosial di sana yang sangat tradisional dan terbelakang, membuat jiwa Dahlan risau dan gelisah. Di Arab Saudi dan sekitarnya dia melihat Islam yang pernah menjadi mercusuar kemajuan peradaban dunia itu telah menjadi dekaden, jumud dan buku. Sementara di tanah airnya sendiri dia menyaksikan kolonialisme dan imperialism yang laksana monster benar-benar berwajah bengis, opresif, represif dan eksploitatif.
Rakyat yang mayoritas beragama Islam alih-alih memiliki posisi sosial yang terhormat dan bermartabat sebagaimana layaknya agama unggulan, sebaliknya berada di lapisan paling bawah dalam stratifikasi sosial yang ditandai oleh dengan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Kerisauan dan kegelisahan tersebut menemukan jalan keluar setelah kontak-kontaknya dengan pemikiran reformisme dan modernisme Islam yang dicanangkan oleh Mohammad Abduh, Mohammad Rasyid Ridho, dan lain-lainnya. Dahlan akhirnya sampailah pada keyakinan bahwa umat Islam harus dibikin berkemajuan.
Dalam konteks situasi seperti itu dari Langgar kecil di Kauman Yogyakarta Dahlan mulai membangun peradaban yang berkemajuan. Kata “maju”, “berkemajuan”, atau “kemajengan” (Bahasa Jawa), sangat mungkin sekali digunakan pertama kali di Nusantara adalah oleh Ahmad Dahlan. Tegasnya, Dahlan adalah orang Indonesia pertama, setidaknya salah satu yang pertama, yang menggunakan kata “maju” atau “berkemajuan” untuk menggambarkan arah yang harus dituju oleh umat Islam dalam suatu perubahan sosial yang direncanakan.
Pasalnya, Dahlan pernah bertutur sebagai berikut: “Awit miturut paugeraning agama kito Islam sarta cocok kaliyan pikajenganipun jaman kemajengan” (SM No. 2, 1915). Artinya, kira-kira, “karena mengikuti kaidah Agama Islam, serta sesuai dengan harapan zaman kemajuan.” Frase tersebut dalam bahasa Indonesia lengkapnya adalah “Kalian hendaknya menjadi orang-orang Islam yang berkemajuan, yang dapat mendorong dan mengikuti perkembangan zaman tetapi tetap taat pada ajaran agama Islam”. Dahlan menyampaikan kata-kata itu pada tahun 1913, hanya beberapa waktu setelah mendirikan sebuah organisasi yang moderen, Muhammadiyah.
Dahlan meyakini bahwa seorang Muslim dengan Islam saja sangat bisa menjadi maju dan moderen. Asal saja pemahamannya tentang agama Islam itu otentik dan benar. Pasalnya, berbeda dengan agama yang lain, Islam adalah agama yang mengajarkan hidup berkemajuan, moderen atau progresif. Berbeda dengan orang Barat, jika orang Barat untuk moderen harus melalui tahap sekularisasi dan liberalisasi, maka mereka harus memisahkan agama dari ilmu pengetahuan, atau bahkan harus menyingkirkan agama dari wilayah public. Sebaliknya, Islam dalam pandangan Dahlan tidak perlu demikian. Pasalnya, Islam itu sendiri mengajarkan keharusan pembaruan dan kemajuan.
Jangan kehidupan dunia dan Lembaga-lembaga keduniaan, bahkan Agama Islam yang diciptakan Tuhan saja, dikatakan dalam hadist, kepadanya setiap tahun dikirim oleh-Nya “orang” yang akan memperbarui perkara-perkara agamanya itu (Riwayat Abu Dawud, no 4291). Walhasil, Islam dan umat Islam mestinya selalu lebih rileks (relax) dalam menghadapi pembaruan dan perubahan. Dan itulah inti dari modernisme itu!
Tampil moderen
Muhammadiyah adalah gerakan yang amat menghormati akal (rasio) dan sains, serta menempatkannya sebagai penyelesai persoalan duniawi. Ketika Muhammadiyah dalam masa pandemi Covid-19 ini memutuskan meniadakan shalat Jumat, Tarwih, shalat Ied, dan shalat jamaah di masjid, dan juga menunda Muktamarnya yang sangat penting itu, sepenuhnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ilmu pengetahuan dan sains, itu semua adalah moderen. Artinya, keputusan-keputusan yang sangat saintifik itu menunjukkan Muhammadiyah adalah gerakan Islam moderen.
Dalam konteks dan perspektif seperti tersebut di atas, Muhammadiyah harus tetap tampil penuh percaya diri sebagai gerakan Islam yang moderen. Muhammadiyah harus konsisten menjadi gerakan Islam yang berkemajuan, progresif dan moderen di seluruh bidang kehidupan. Muhammadiyah harus tetap merasa aman dan nyaman berada di dalam mata rantai gerakan pembaruan dalam Islam (the guild of Islamic reform). Bahkan bagian penting dari the guild of modernist muslems!
Muhammadiyah harus kembali seperti dulu: senantiasa meninjau bobot ke-tajdid-annya dalam setiap keputusan, langkah, pandangan, dan tafsirnya. Benar, Muhammadiyah kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, tetapi diletakkan dalam konteks ke masa depan. Bukan untuk kembali ke masa lalu. Glorifikasi masa lalu yang puritanistik telah terbukti menyandera psikologi sebagian umat sehingga alih-alih produktif, melainkan justru seringkali negatif dan reaktif terhadap modernitas.
Sependek pengetahuan saya interpretasi-interpretasi teologis yang puritanistik bukanlah jati diri Muhamadiyah pada masa-masa formasi gerakan. Alih-alih sebaliknya: Muhammadiyah adalah gerakan moderen yang sangat mengutamakan tajdid. Ruh atau spirit tajdid mutlak harus terus digelorakan dalam Muhammadiyah. Pasalnya, Muhammadiyah adalah organisasinya kaum modernis yang selalu tampil moderen dalam setiap gerak dan langkahnya. Semoga!
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2021