Belajar pada Kata dan Peristiwa (2)

Belajar pada Kata dan Peristiwa

Foto Ilustrasi

Belajar pada Kata dan Peristiwa (2)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

 

Menasihati dengan hati

mencegah kemunkaran

dengan keramahan

bukan dengan kemarahan

 

Pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (1) yang disajikan di dalam Suara Muhammadiyah edisi 2022/12/29 diuraikan sekadarnya bahwa penyampaian pesan dapat dilakukan secara langsung dan dapat pula secara tidak langsung. Kedua cara itu digunakan sesuai dengan konteks atau situasi tuturnya masing-masing.  Pemilihan atas tindak tutur itu berkaitan dengan berbagai faktor. Satu di antaranya adalah budaya masyarakat tutur.

Ada masyarakat tutur yang lebih memilih ketidaklangsungan tindak tutur sebagai wujud kesantunan dalam menyampaikan pesan. Ada pula yang sebaliknya. Oleh karena itu, agar kita dapat menjadi pelaku komunikasi yang cerdas, baik sebagai penutur maupun sebagai petutur, idealnya menguasai berbagai macam budaya.

Perlu kita pahami bahwa dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa, Anna Wierzbicka  di dalam buku Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction. (hlm. 69) menyatakan pendapatnya sebagai berikut.

  1. In different societies, and different communities, people speak differently.
  2. The differences in ways of speaking are profound and systematic.
  3. The differences reflect different cultural values, or at least different hierarchies of values.
  4. Different ways of speaking. Different communicative styles, can be explained and made sense of, in term of independently established different cultural values and cultural priorities.

Pendapar tersebut kiranya dapat kita jadikan sebagai salah satu rujukan dalam berkomunikasi dengan media bahasa. Dengan memperhatikannya, para pelaku komunikasi tidak saling memaksa.

Masyarakat tutur yang memilih ketidaklangsungan tindak tutur untuk mewujudkan kesantunannya dalam berbahasa tidak dapat memaksa masyarakat tutur yang mempunyai pilihan sebaliknya. Demikian pula masyarakat tutur yang memilih kelangsungan tindak tutur untuk mewujudkan kesantunannya dalam berbahasa tidak dapat memaksa masyarakat tutur yang berbeda untuk mengikutinya.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian juga adalah bahwa kedua-duanya tetap diperlukan karena merupakan bagian dari kebutuhan pokok manusia, yakni beridentitas sebagai manusia berbudaya, yang bersifat universal. Tidak dapat dikatakan bahwa salah satu di antara kedua-duanya lebih unggul. Sekali lagi, kedua-duanya diperlukan, tetapi pemilihannya sesuai dengan konteksnya.

 

Contoh Belajar pada Peristiwa

Seperti dipaparkan pada Belajar pada Kata dan Peristiwa (1) ada perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya yang disampaikan secara langsung dan ada pula yang disampaikan secara tidak langsung. Cara menyampaikan larangan pun demikian.

Untuk beramar makruf nahi munkar, kita  wajib merujuk cara-cara yang dituntunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya. Dalam hubungannya dengan belajar pada peristiwa, banyak sekali dapat kita temukan di dalam al-Qur’an dan hadis kisah umat terdahulu yang harus dijadikan nasihat atau pelajaran bagi umat zaman kini, bahkan pada zaman yang akan datang.

Salah satu di antara kisah umat terdahulu dijelaskan oleh Allah Subhanu wa Ta’aala  di dalam surat an-Nisaa (4): 141 berikut ini.

ۨالَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْۗ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّٰهِ قَالُوْٓا اَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْ ۖ وَاِنْ كَانَ لِلْكٰفِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْٓا اَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ فَاللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا ࣖ

“(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah, mereka berkata, ‘Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?’ Dan jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata, ‘Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?’ Maka Allah akan memberi putusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.”

Di dalam ayat itu dikisahkan peristiwa yang terjadi pada umat manusia pada masa lalu.  Namun, kita dapat belajar pada peristiwa itu untuk menjadi bahan renungan pada masa kini. Bukankah peristiwa itu dapat terjadi juga pada masa kini?

Pelajaran berharga yang harus kita ambil, antara lain, adalah kewaspadaan atau keberhati-hatian agar tidak tertipu oleh orang-orang yang berwatak sebagaimana dijelaskan di dalam ayat tersebut. Orang-orang berwatak seperti itu ada sepanjang masa, lebih-lebih pada waktu menjelang dan pascapemilihan kepala desa, anggota DPR, bupati/walikota, gubernur, dan presiden.

 

Dinamika Asri dalam Bercinta

Setelah beberapa kali gagal mendapatkan cinta, Asri (sebut saja begitu) akhirnya kejatuhan cinta juga. Ada laki-laki yang serius ingin menjalin cinta dengannya. Mas Ba namanya.

Keseriusannya ditandai dengan seringnya berkunjung ke rumah Asri. Dengan sering berkunjung, Mas Ba mengetahui cukup banyak keadaan keluarga Asri. Itulah yang membuat Asri sangat optimistis.

Dia berharap bahwa Mas Ba telah memperoleh restu orang tuanya. Setidak-tidaknya, kedua orang tuanya sudah mengetahuinya sehingga semua dapat berjalan baik-baik saja. Ternyata tidak. Ketika diperkenalkan oleh Mas Ba kepada oang tuanya, Asri merasa sering tersudutkan oleh berbagai pertanyaan dan pernyataan orang tua Mas Ba, terutama mamanya.

Rasa percaya dirinya hilang. Dia pesimistis. Banyak harapan orang tua Mas Ba yang tidak dapat dipenuhinya. Sepertinya hanya karena dia perempuan itulah syarat yang dapat dipenuhinya.

Dia dan keluarganya amat rendah di hadapan keluarga Mas Ba. Jauh sekali perbedaannya. Ayahnya hanya pensiunan tentara dengan pangkat bintara. Ibunya pensiunan perawat. Ayah Mas Ba pejabat di salah satu universitas swasta di Semarang. Mamanya berasal dari keluarga terhormat.

Berbeda halnya sikap Mas Ba. Dia seakan-akan tidak peduli dengan apa pun yang disyaratkan oleh kedua orang tuanya, terutama mamanya. Dia selalu menasihati Asri agar tidak memasukkan kata-kata mamanya ke dalam hati.

Asri berusaha mempercayai kata-kata Mas Ba. Namun, tetap saja sering hatinya bergejolak.

“Saya bingung, Pak?” demikian Asri mengawali curhatnya.

“Sudah saya bilangin, nggak usah dimasukin ke dalam hati. Tetap saja, dipikirin!” Mas Ba menimpalinya.

“Tetapi saya nggak bisa, Mas!”

“Kamu pasti bisa. Hanya perlu waktu!”

Saya membiarkan mereka beradu pendapat. Dengan begitu saya mengetahui bagaimana watak mereka masing-masing. Hal ini sangat penting untuk bahan pertimbangan bagi saya jika diminta memberikan solusi.

“Mama dan Papa itu urusan saya. Beres! Percayalah!” Mas Ba meyakinkan Asri. “Beri saya waktu!”

Mereka diam beberapa saat. Mungkin mereka sadar. Di rumah orang kok bertengkar. Akan minta solusi, tetapi malah bertengkar sendiri. Mas Ba menunduk. Asri juga.

“Ayo, silakan. Saya suka minum yang masih panas. Mari!”

“Ya, Pak. Terima kasih.” Mas Ba mengikuti saya.

“Maaf, Pak. Jadi merepotkan.” Asri pun ikut minum.

“Ah, enggak! Menjamu tamu itu beribadah. Masak beribadah kok repot? Sama sekali nggaklah!”

Kami bertiga menikmati cemilan yang telah tersaji di meja. Ibu hanya minum teh. Sepertinya agak kesal hatinya. Bertamu kok bertengkar.  Namun, tetap dia tidak menunjukkan perasaan itu. Dengan tetap tersenyum, dia pamit ke belakang. Alasannya ada yang harus diselesaikan.

“Sebaiknya bagaimana, Pak?” Asri mulai minta solusi.

“Apanya?” jawab saya bercanda.

“Ya, solusinya?”

“Em … saya pikir … kalian perlu bertanya kepada diri kalian masing-masing lebih dulu. Benar-benar saling mencintai? Jika , ya, buktikan!”

Suasana hening beberapa saat. Rupanya Asri dan Mas Ba tetap belum mengerti apa yang harus dilakukannya.

“Maksud Bapak?” Asri ingin segera tahu.

“Ya, buktikan bahwa kamu mencintai Mas Ba. Modal utama cinta itu percaya. Jadi, kamu harus percaya bahwa Mas Ba pasti dapat menjelaskan ihwal kamu kepada keluarganya.”

“Ya, itu pasti, Pak.” Mas Ba segera menimpali saya.

“Nah, kamu, Asri, harus sabar. Membalik tangan pun perlu waktu. Apalagi, membalik hati orang tua! Ya, kan?”

“Ya, Pak.” Ya!” Asri dan Mas Ba menyahut secara bergantian.

“Kalian berdua harus paham! Kata kuncinya: kalian harus bisa berbicara dengan baik. Mas Ba harus bicara dengan sebaik-baiknya kepada Mama dan Papamu. Kepada Asri juga. Asri harus bisa berbicara dengan baik juga. Lebih-lebih kepada orang tua Mas Ba! Tidak seperti tadi. Kalian ngotot pada pendirian masing-masing!”  Saya menasihati sambil meliriknya.

 

Dikira Istri Baru

Setelah melalui “perjuangan” yang panjang, tibalah keluarga Mas Ba melamar Asri. Kami diminta agar mendampingi orang tua Asri. Kami mengiyakan.

Tiba waktu pernikahan. Kami mengiyakan juga ketika Asri dan Mas Ba dengan penuh harapan meminta agar Ibu mendampingi ayah Asri pada resepsi pernikahan.  Ibu Asri tidak dapat mendampingi suaminya karena sakit.

Benar! Pada resepsi pernikahan yang diselenggarakan oleh keluargaa Asri, Ibu mendampingi ayah Asri menerima tamu sehingga seperti lazimnya orang tua pengantin perempuan. Dia menerima ucapan selamat dan doa dari para tamu. Semua dilakukannya dengan baik.

Para tamu tidak tahu bahwa perempuan yang mendampingi ayah Asri sesungguhnya “pemeran pengganti’. Tidak aneh jika di antara mereka ada yang sempat bertanya pada ayah Asri.

“Ini istri baru? Aduh! Kok nggak kabar-kabar, sih?

“Ya. Bagaimana, sih?!” Sahut tamu yang lain.

Ayah Asri tersenyum. Sama sekali dia tidak menjelaskan keadaan yang sebenarnya sehingga sebagian tamu menduga kuat bahwa perempuan yang mendampinginya adalah istri barunya.

Sementara itu, sebagian tamu perempuan ada yang menyempatkan mengucapkan selamat atas pernikahan Asri dan istri barunya. Ada yang mencium Ibu dan ada pula yang sekadar bersalaman.

Ibu mulai tidak suka dengan perilaku ayah Asri. Ingin berontak, tetapi lebih memilih menahan kejengkelannya. Dia tidak ingin merusak suasana.

Ya, Allah. Asri bukan siapa-siapa saya. Juga bukan siapa-siapa suami saya. Saya lakukan semua ini untuk kebahagiaannya. Dia dan keluarganya berhak bahagia. Ya, Allah. Bahagiakanlah dia dan keluarganya.

Nasihat untuk dirinya sendiri yang tak terucapkan dan doanya dalam hati juga. Alhamdulillah! Tugas sebagai “pemeran pengganti” terlaksana sampai selesai.

Sepulang dari resepsi yang diselenggarakan oleh keluarga Asri, sesampainya di rumah, barulah dia tumpahkan perasaannya selama berperan sebagai “ibu Asri.” Dia luapkan rasa dongkolnya ketika melihat ayah Asri hanya tersenyum dan tidak menjelaskan keadaan yang sebenarnya bahwa dirinya sama sekali tidak ada hubungan nasab.

“Yah, semoga semua yang kita lakukan merupakan kebaikan, Bu.!” Saya berdoa dan menyabarkannya.

 

Bisa-Bisanya Melakukan

Ibu diminta juga melakukan peran yang sama ketika acara resepsi pernikahan yang diselenggarakan oleh keluarga Mas Ba atau yang dikenal dengan acara ngundhuh manten di Semarang. Kami mengiyakan juga.

Perasaan tidak nyaman ketika Ibu akan dirias. Juru rias berpikiran bahwa perempuan yang akan diriasnya adalah sungguh-sungguh ibu pengantin perempuan. Dia menyebut Ibu sebagai ibu pengantin perempuan. Namun, lagi-lagi Ibu tetap memilih senyum. Bahkan, “aktingnya” lebih meyakinkan.

Para tamu yang hadir lebih banyak dan memang tampak lebih keren. Keluarga Mas Ba memang bukan orang rendahan. Di samping ada keluarga besar Mas Ba, ada juga tamu dari masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya, teman ayah Mas Ba yang satu rombongan ketika beribadah haji, dan teman dari perguruan tinggi.

Seperti ketika mendampingi ayah Asri sebelumnya, Ibu menerima ucapan selamat dan doa dari para tamu. Ibu pun menjawabnya dengan baik.

Ternyata ada tamu yang penasaran. Beliau adalah senioren saya yang sangat akrab dengan saya dan juga dengan Ibu.

“Ini ceritanya bagaimana, Dik?” Tanya beliau kepada Ibu.

“Tanya saja pada Mas Udin. Itu di bawah.” Sambil menunjuk tempat saya duduk.

Mereka berjabat tangan. Cipika-cipiki. Lalu, tamu itu menuju saya. Saya sama sekali tidak menduga bahwa dari sekian banyak tamu ada yang mengenal kami.

“Ceritanya bagaimana, Dik?” Tanyanya penuh penasaran.

“Seperti sinetron, Mbak. Butuh waktu dua jam lebih kalau saya ceritakan seluruhnya.”

Beliau saya persilakan duduk. Saya ceritakan secara padat.

“Bisa-bisanya melakukan!”

Kami tertawa lepas. Saya mengajak beliau untuk menikmati jamuan. Saya menemaninya.

Silaturahim keluarga besar Asri dan Mas Ba dengan keluargaa kami bertambah hangat. Bahkan, Mas Ba dan Asri menjadwal secara rutin bersilaturahim datang ke rumah kami, terutama pada saat ‘Idul Fitri.

Hubungan kami makin baik lagi ketika Mas Ba, Asri, dan anaknya  bersilaturahim dan bermalam di rumah kami. Anaknya memanggil kami eyang. Sampai sekarang!

Alhamdulillahi wabbil ‘aalamiin

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota

Exit mobile version