Kepemimpinan Bangsa Berjiwa Negarawan

Negarawan

Foto Dok SM

Kepemimpinan Bangsa Berjiwa Negarawan. Bagi para pemimpin bangsa saat ini mesti meniru dan mengikuti  teladan para negarawan yang sesungguhnya, membela kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya secara autentik nirpencitraan

Oleh Prof. Dr. H Haedar Nashir, M.Si.

Pemimpin itu “khadim al-ummat”, yakni pelayan rakyat. Pemimpin berfungsi sebagai pengatur, penentu arah, mempengaruhi, menjadi penunjuk, pengayom, dan pemberi contoh. Pemimpin sebenarnya bukan penguasa, meski di dalamnya terkandung aspek kekuasaan. Kekuasaan hanya bagian dari fungsi kepemimpinan. Ibarat kepala dari tubuh, pemimpin sangat penting peranannya, sebagai penentu hitam dan putihnya umat atau masyarakat atau bangsa. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak berfungsi, maka yang dipimpin pun akan kehilangan arah seperti ayam kehilangan induk. Kata pepatah, ikan busuk dimulai dari kepala, runtuhnya suatu masyarakat atau bangsa dimulai dari para pemimpinnya.

Para pemimpin Indonesia dari pusat sampai daerah memiliki posisi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian juga para pemimpin informal atau pemimpin kebangsaan. Termasuk para pemimpin agama. Sejak perjuangan kemerdekaan melawan penjajah sampai Indonesia merdeka para pemimpin semua golongan di negeri ini mempunyai peran penting sebagai penggerak perkawanan rakyat sekaligus penggerak pembangunan bangsa.  Mereka bahkan peletak dasar Indonesia ketika kemerdekaan yang melahirkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai fondasi penting Negara Republik Indonesia.

Pemimpin Kebangsaan

Kebangkitan Nasional awal abad ke-20 merupakan tonggak perjuangan Indonesia melawan penjajah untuk kemerdekaan. Pergerakan  dengan cara modern, yakni melalui organisasi modern. Setelah era panjang sebelumnya perjuangan melalui perlawanan bersenjata yang menelan jutaan korban rakyat Ibu Pertiwi di seluruh sudut negeri. Lahir generasi awal pergerakan kebangkitan nasional ditandai kehadiran organisasi Sarikat Dagang Islam (1905), Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), partai politik pertama Indisech Partij (1912), Komite Boemi Poetra (1913), Al-Irsyad (1914), dan lain-lain.

Setelah itu generasi kedua Tamansiswa (1922), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan pergerakan lainnya dari pusat sampai daerah-daerah. Dalam mata rantai kebangkitan nasional tersebut lahir Soempah Pemoeda 1928 yang monumental. Ada  Kongres Perempuan pertama tahun 1928 di mana Aisyiyah sebagai organisasi Islam yang menjadi  salah satu pemrakarsa aksi pergerakan perempuan Indonesia tersebut.

Para tokoh pergerakan nasional tampil di awal abad modern itu. Tjokroaminoto, dr. Tjipto Mangunkoeseomo, dr. Soetomo, KH Ahmad Dahlan, Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, Ernest Dowwes Dekker, Soekarno, Mohammad Hatta, Semaun, Agus Salim, Ahmad Surkati, dan lain-lain. Demikian juga para tokoh nasional sesudahnya sperti A Hassan,  KH Hasyim Asyari, Mas Mansur, Soedirman, Mohammad Natsir, AR Baswedan,  Abdoel Moeis, Ki Bagus Hadikoesoemo,  Kasman Singodimedjo, Kahar Moezakkir,  Abikusno Tjokrosuyoso, AA Maramis, Arnold Mononutu, Hamengkubuwono IX,  Hamka, Syahrir,  dan lain-lain. Tokoh perempuan nasional Nyai Walidah Dahlan, Siti Hayyinah, Siti Moendjiyah, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, SK Tri Murti, Rasuna Said, selain tokoh sebelumnya yakni Tjoet Nyak Dien, Kartini, dan lain-lain.

Pergerakan Islam memberi warna kuat dalam kebangkitan nasional itu. Semangat Boemi Poetra juga menjadi salah satu  penanda dari kebangkitan  untuk kemerdekaan itu. Kebangkitan pribumi menjadi penting ketika kolonial Belanda makin menginjak dan merampas hak-hak dasar kaum boemipoetra.  Ki Bagus Hadikoesoemo sebagai tokoh Islam tidak kalah jiwa nasionalismenya.

Ki Bagus Hadikusumo Dok SM

Ketua PP Muhammadiyah itu berpidato di sidang BPUPKI jelang kemerdekaan 1944, “Saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada campurannya, dan sebagai seorang muslim, yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka”. Tentang janji pemimpin Ki Bagus menulis: “Janji tidak boleh disalahi terutama oleh para pemimpin, karena namanya akan luntur hilang kehormatan dirinya, dan pemimpinya tak akan dihargai orang. Janganlah boros dengan janji dan kesanggupan, janganlah berjanji kalau tidak yakin dapat menetapi. Menyalahi janji adalah dosa besar dan menetapi janji adalah satu kewajiban.”.

Suwardi Suryaningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera,  menulis “Als ik eens Nederlander was”  atau “Seandainya aku seorang Belanda”, pada tanggal 20 Juli 1913 dia memprotes keras rencana pemerintah Hindia Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di  Indonesia yang saat itu diberi nama Hindia Belanda. Karena tulisan inilah, Suwardi bersama Tjipto Mangunkusumo dihukum dan diasingkan ke Banda dan Bangka, tetapi karena boleh memilih, keduanya akhirnya dibuang ke Negeri Belanda.

Soekarno sebagai tokoh penting, mengingatkan di sidang BPUPKI, tentang Indonesia milik semua. Kata Bung Karno, “Kita hendak mendirikan suatu Negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”. Bung Hatta mengritik keras penguasaan hajat hidup publik oleh sekelompok orang dan agar negara campur tangan menegakkan keadilan dan kemakmuran untuk orang banyak.

Menurut Wakil Presiden pertama itu, ekonomi liberal meletakkan nasib rakyat di tangan orang-seorang yang menjadi  juru-mudi dalam segala tindakan ekonomi. Ekonomi liberal hanya membawa kemerdekaan dan kemakmuran bagi satu golongan kecil saja, yakni kaum kapitalis. Sedangkan kepentingan orang-seorang didahulukan dari masyarakat.  Kata Bung Hatta,  “membiarkan perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan permainan merdeka (bebas) dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk dari yang kuat.”

Kenegarawanan

Pelajaran penting dari perjuangan para pendiri Indonesia sejak zaman melawan penjajah sampai era kebangkitan nasional mereka sungguh total dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Jiwa-raga mereka sepenuhnya untuk Indonesia. Bahkan di antara mereka harus dipenjara atau diasingkan. Pengorbanannya untuk rakyat yang masih terjajah luar biasa. Itulah para negarawan kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia, sehingga di kemudian hari diangkat menjadi para Pahlawan Nasional. Pahlawan sejati ialah sang negarawan. Mereka para pemimpin sejati yang visi keindonesiaannya luas dan mendalam. Pergumulannya luar biasa total dalam perjuangan. Mereka juga  gemar membaca dan berilmu  luas, bukan  pemimpin praktisi dan instan.

Bagi para pemimpin bangsa saat ini mesti meniru dan mengikuti  teladan para negarawan Indonesia tercinta itu dengan segenap jiwa-raga. Jadilah para pemangku amanat rakyat yang sesungguhnya, yang membela kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya secara autentik nirpencitraan. Menjadi pemimpin yang benar-benar menghayati dan memahami keindonesiaan luar-dalam. Bukan sekadar slogan kebangsaan yang verbal dan nirpenghayatan akan esensi kepemimpinan kebangsaan untuk berkhidmat bagi rakyat sepenuh jiwa raga.

Pemimpin bangsa harus berjiwa, beralam pikiran, dan bertindak negarawan yakni mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya serta menjauhi segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan. Jika ditemukan ada sekelompok pihak menguasai Indonesia, tugas petinggi-petinggi negara meluruskannya dengan tangan kekuasaannya, laksana Amirul ketegasan Amirul Mukminin Umar Ibn Khattab dan komitmen para negarawan Indonesia terdahulu.

Jika benar-benar cinta rakyat dan negara, maka utamakan segala hajat hidup rakyat dan negara sebagai agenda utama lebih dari yang lainnya. Jangan sampai terkalahkan oleh kepentingan asing, segelintir orang atau pihak, dan kepentingan-kepentingan pendek lainnya yang merugikan hajat hidup rakyat dan negara.

Di tangan para pemangku dan elite negara sungguh tergantung nasib Indonesia sebagaimana telah diperjuangkan dengan nyawa dan pengorbanan oleh para pejuang dan pendiri Republik ini. Jangan bermain-main dan menyepelekan amanat rakyat hanya karena telah memperoleh kuasa rakyat. Sebaliknya mandat rakyat harus menjadi beban dan tanggung jawab moral dan politik yang tinggi di atas segalanya untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat.

Dengarkanlah suara dan jeritan nasib rakyat, dengan tulus tanpa kejemawaan tahta. Jika rakyat meminta yang baik, ikutilah dengan rendah hati tanpa merasa diri digdaya. Cintailah rakyat dan negara dengan pengabdian sepenuh jiwa-raga. Itulah komitmen dan marwah  para pemangku negeri sebagai negarawan-negarawan sejati. Di situlah letak martabat atau marwah dan muru’ah para pemimpin Indonesia.

Martabat pemimpin bukan soal kedigdayaan kekuasaan tetapi menyangkut kekuatan ruhani dan moral kepemimpinannya. Pada saat ini Indonesia sedang mengalami ujian bagi para pemimpin politik yang dalam berbagai hal memperoleh kritik dan penentangan karena kebijakan-kebijakannya yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat dan kebenaran publik.

Dengan disahkannya sejumlah Undang-Undang yang ditentang dan merugikan rakyat  menunjukkan bukti suara dan kehendak rakyat dicederai serta disalahgunakan oleh para wakil dan mandataris rakyat. Praktik demokrasi berbeda antara keharusan (das sollen) dan kenyataan (das sein). Rakyat jangan terabaikan dan menjadi korban kebijakan-kebijakan dan perundang-undangan negara.

Mandat rakyat dengan segala aspirasi dan kepentingannya harus menyatu dalam jiwa, pikiran, sikap, dan tindakannya bermuruah negarawan. Ketika merancang dan mengambil keputusan politik, yang menjadi patokan adalah kepentingan rakyat, bukan pihak lain. Bila ingin membangun legasi politik pun harus demi rakyat, bukan untuk kemegahan diri. Di sinilah pentingnya elite negeri yang memiliki DNA (Asam Deoksiribonukleat) negarawan.

Artinya jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan para mandataris dan wakil rakyat serta semua elite politik dan pemerintahan itu haruslah mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, negara, dan tanah air Indonesia di atas yang lainnya. Elite yang sekadar politikus atau birokrat-teknokrat yang wawasan pemikirannya terbatas biasanya serba pragmatis, hanya berpikir nilai guna. Pemimpin bangsa sejatinya harus kuat dan jernih  nurani serta visi kenegarawanannya.

Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2022, Rubrik Bingkai “Kepemimpinan Bangsa Berjiwa Negarawan”

Exit mobile version