Hukum Didorong ke Jalur Lambat
Oleh : Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)
JUDUL tulisan ini penulis kutip dari Prof. Satjipto Rahardjo almarhum. Beliau sendiri mengutip dari ungkapan berbahasa Belanda op de lange baan geschoven. Mungkin arti harfiahnya terdorong ke samping. Bisa juga diartikan dikesampingkan. Jika Prof. Satjipto mengartikannya dengan didorong ke jalur lambat maka secara konotatif itu lebih cantik. Tentu juga lebih relevan. Sebab semenjak reformasi proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak henti-hentinya menimbulkan kehebohan.
Bahkan UU Cipta Kerja yang popular dengan sebutan Omnibus law dua kali terjerumus dalam lubang yang sama. Sudah dinyatakan batal bersyarat secara fomal oleh Mahkamah Konstitusi (MK), malah dibentuk lagi dengan mengabaikan sama sekali perintah MK: menerbitkan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Ini adalah tindakan yang bisa dikategorikan mengabaikan makna demokrasi. Perppu ini telah mengabaikan sama sekali aspirasi rakyat –warga Negara yang akan terkena langsung dari setiap undang-undang.
Problema Hukum Nasional
Problem nasional di bidang hukum kian hari kian banyak. Belum ada tanda-tanda upaya Pemerintah mengatasi problematika dalam kasus hate speech (ujaran kebencian) misalnya. Dimana ada warga negara yang dengan mudah dipenjara karena tuduhan ujaran kebencian. Pada sisi lain ada juga figur-figur yang berulang-kali menista orang bahkan agama tidak juga diproses hukum.
Mengapa dewasa ini selalu terjadi kontroversi dalam pembentukan undang-undang? Mengapa semakin keras nyanyian hukum ibarat senjata yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah? Apakah pemerintah memiliki komitmen penegakan hukum yang imparsial? Apakah Pemerintah memiliki komitmen untuk membentuk perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011? Jawabannya pasti punya dan jelas juga arahnya. Hal ini dapat kita lihat dalam Misi Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut.
Presiden dan Wakil Presiden RI menegaskan adanya 9 (sembilan) misi sebagai berikut. 1. Peningkatan Kualitas Manusian Indonesia; 2. Struktur Ekonomi yang Produktif, Merata dan Berdaya Saing; 3. Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan; 4. Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan; 5. Kemajuan Budaya yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa; 6. Penegakan Sistem Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat dan Terpercaya; 7. Perlindungan Bagi Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman pada Seluruh Warga; 8. Pengelolaan Pemerintah yang Bersih, Efektif, dan Terpercaya; dan 9. Sinergi Pemerintah Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan. Dikutip dari web KemenPAN-RB https://www.menpan.go.id/site/tentang-kami/tentang-kami/visi-misi-presiden-dan-wakil-presiden-ri dikutip 10 12 2023: 08.52.
Keadilan Semakin Susah Dudapat
Jika kita mengacu kepada teori hukum –terutama dalam pembentukan undang-undang, justru terkandung maksud untuk menyelesaikan konflik. Secara demikian maka, jika pembentukan undang-undang justru menimbulkan konflik antara Pemerintah dengan warga Negara maka secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan anggapan bahwa Pemerintah justru berkonflik dengan warga Negara.
Anggapan yang demikian ini berkaitan dengan pandangan teoretik bahwa hukum modern telah terpenjara oleh proses dan mekanisme pembentukannya. Pada sisi lain ada kehendak-kehendak yang menyederhanakan persoalan yakni sikap: apapun yang terjadi kalau suatu undang-undang telah dibentuk maka rakyat harus taat dan patuh. Dalam kaitan ini Prof. Satjipto mengatakan bahwa hukum modern memiliki kelebihan dibanding dengan hukum tardisional. Namu keunggulannnya terbatas. Diantara keterbatasannya karena terikat dengan prosedur dan format-format. Akibat dari realita ini maka keadilan semakin susah didapat. Disinilah letak tragedi hukum modern. (Satjipto, Sisi lain Hukum di Indonesia, 2003, hal. 169).
Jika pembentukan undang-undang terus berlanjut sebagaaimana proses diterbitkannya Perppu UU Cipta Kerja, sesungguhnya disadari atau tidak Pemerintah sedang membuka pintu konflik sosial. Hal yang sungguh sangat aneh, karena para pejabat sering menggunakan diksi agar masyarakat tidak menjadi pemicu kegaduhan. Namun justru pembentukan undang-undang oleh Pemerintah hampir selalu menimbulkan kegaduhan.
Baru saja selesai kegaduhan dengan Rencana Undang-undang KUHP yang menghidupkan pasal penghinaan terhadap pejabat Negara ditetapkan menjadi undang-undang, diterbitkan Perppu UU Cipta Kerja yang vis a vis dengan putusan MK. Bahkan secara bentuk formal UU Cipta Kerja sendiri masih misterius. Sebenarnya berapa jumlah halaman dari UU ini? Hingga saat ini belum tuntas. Dalam suasana demikian, alih-alih penegakan hukum menjadi kredo bagi terwujudnya Negara hukum, bahkan undang-undang yang merupakan wajah kongkret dari hukum selalu menjadi sumber problema.Hal inilah yang menjadi alasan mengapa penulis setuju dengan istilah hukum didorong ke jalur lambat.
Penutup
Bila kita sudi untuk mengingati kembali pesan serius ilmu hukum terkait dengan pembentukan undang-undang akan kita temukan teori bahwa lingkungan dari pembentukan undang-undang akan menentukan derajat kesulitan pembentukan udang-undang. Hal ini dikaitkan dengan pembentukan undang akan dikaitkan dengan penyelesaian konflik. Undang-undang dihadapkan kepada keharusan untuk mempertimbangkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Sebab undang-undang akan membentuk proses strukturisasi keadaan sosial agar tercipta tatanan yang sejalan dengan hukum yakni tatanan hukum. Dalam bahasa missi Presiden digunakan istilah Penegakan Sistem Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat dan Terpercaya. “Undang-undang dapat berhasil dan dapat pula tidak …. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa undang-undang dapat memancing timbulnya konflik baru.” (Satjipto Rahardjo, Khudaifah Dimyati (Penyunting) Sosiologi Hukum, UMS, 2002, hal. 127 – 128).
Kita berharap ada kejujuran. Karena sebenarnya para pakar sudah memahami apa sebenarnya persoalan dibalik kontroversi pembentukan undang-undang itu. Pembentukan undang-undang memang sarat dengan kepentingan. Maka kelompok kepentingan yang power full akan mempengaruhi bagaimana norna-norma yang disusun dalam suatu udang-undang agar sesuai dengan kepentingan mereka. Sampai disini dugaan dan arahnya semakin jelas. Sebab itu pertanyaan mengapa kelompok kepentingan demikian gigih mengatur bagaimana bunyi norma-norma dalam undang-undang sudah terjawab.
Kita masih ingat, pernah muncul sinyalemen bahwa banyak rancangan undang-undang yang draft aslinya berbahasa Inggris. Hingga hari ini masalah ini juga belum dijawab secara fair, benar dan tidaknya sinyalemen ini. Jika berharap jawaban atas pertanyaan mengapa hal itu terjadi akan menjadi kesia-siaan yang permanen. Sebab itu, seorang kawan yang sering menyampaikan pandangan—pandangan kritisnya tentang hukum akhirnya “menyerah” dengan mengatakan: dagelan opo meneh.*