Belajar pada Kata dan Peristiwa (3)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Menasihati dengan hati
mencegah kemunkaran
dengan keramahan
bukan dengan kemarahan
Dari sudut pandangan langsung atau tidak langsungnya penyampaian pesan (dakwah amar makruf nahi munkar) dengan media bahasa, ada dua cara yang dapat digunakan, yakni (1) cara langsung dan (2) cara tidak langsung. Kedua cara itu tidak tersekat secara ekstrem.
Untuk kepentingan dan pada situasi tertentu, ada satu substansi perintah atau larangan sering disampaikan dengan perpaduan kedua cara itu. Pada masyarakat tutur tertentu berlaku kelaziman bahwa untuk menciptakan kesantunan, digunakan penyampaian pesan secara tidak langsung. Pemahaman yang demikian harus selalu kita kuatkan.
Sangat mugkin konflik internal umat Islam (juga antarumat beragama) selama ini terjadi karena masih cukup banyak juru dakwah yang baru menguasai substansi, sedangkan kemampuan menyampaikan substansi itu dengan media bahasanya sangat rendah.
Kasus yang sering terjadi selama ini dipicu oleh pelanggaran kesantunan berbahasa, padahal Nabi Muhammad shlallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan sempurna dalam hal kesantunan berbahasa. Tambahan lagi, Allah Subhanu wa Ta’aala bersifat Mahasantun dan Mahabijaksana.
Di dalam tulisan Belajar pada Kata dan Peristiwa (2) pada Suara Muhammadiyah edisi 2023/01/05, disajikan kutipan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala surat an-Nisaa (4): 141, yang artinya,
“(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah, mereka berkata, ‘Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?’ Dan jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata, ‘Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?’ Maka Allah akan memberi putusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.”
Pelajaran berharga yang harus kita ambil dari ayat tersebut, antara lain, adalah kewaspadaan atau keberhati-hatian agar kita tidak tertipu oleh orang-orang yang berwatak sebagaimana dijelaskan di dalam ayat tersebut. Orang-orang yang berwatak buruk seperti itu ada di dalam kehidupan tidak hanya pada masa lalu.
Pada edisi tersebut disajikan pula kisah nyata yang berupa peristiwa pernikahan Asri. Dari peristiwa itu ada pelajaran yang sangat penting. Di antaranya adalah semua orang berhak bahagia.
Oleh karena itu, kita wajib menolong siapa pun untuk memperoleh hak bahagianya itu. Menolong orang lain agar berbahagia sering memerlukan pengorbanan.
Pelajaran berikutnya adalah mengubah perilaku, apalagi orang lain, memerlukan kesabaran. Jika sandaran beramalnya adalah keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala menjamin balasan yang berlipat ganda, apa pun yang berat bagi kita, diringankan-Nya. Apa pun yang sulit bagi kita, dimudahkan-Nya.
Pada edisi ini disajikan kisah nyata “pemerdekaan” budak dan pembelajaran kepada ART. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk terus berbuat kebaikan kepada siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Kepada Budak pun Santun
Di dalam hadis dijelaskan betapa tingginya kesantunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kepada ART atau budak pun, beliau sangat santun.
“Allah, Allah, (ingatlah) mengenai apa yang dimiliki tangan kananmu. Berilah punggung mereka pakaian, kenyangkanlah perut mereka, dan lemah-lembutkanlah ucapanmu terhadap mereka.”
Ibnu Hamzah al Husaini al Hanafi ad Damsyiqi, dalam kitab Asbabul Wurud (terjemahan Suwarto Wijaya dan Zafrullah Salim hlm. 308-309) menjelaskan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, at-Thabrani dalam al-Jaami’ul kabir, dan Ibnu Sunny dan Ka’ab bin Malik raḍiyallahu ‘anhu. Dijelaskannya pula bahwa asbabul wurud hadis tersebut adalah Ka’ab bin Malik menceritakan bahwa pernah ada janji antara dia dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat. Pesan itu (janji) itu diucapkan beliau selama lima malam dan Ka’ab bin Malik mendengarnya. Beliau mulai dengan ucapan Allah, Allah dan seterusnya sesuai dengan hadis tersebut.
Banyak hadis yang berisi keteladanan beliau sebagai insan berakhlak mulia. Beliau sangat menyayangi kaum duafa. Demi membantu mereka, beliau rela berkorban tidak hanya harta, tetapi juga rasa. Kisah beliau menyuapi perempuan tua Yahudi sangat populer.
Perempuan tua itu merasa diperlakukan dengan sangat baik sehingga sangat terkesan. Sampai begitu mendalam kesannya, ketika orang lain yang menyuapinya, dia dapat merasakan ada perbedaan dalam kehalusan cara menyuapinya.
Ada peristiwa lain yang tidak kalah menariknya, yakni “pemerdekaan” budak yang dilakukan oleh Imam Musa al-Kazhim. Dikisahkan oleh Hamka di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 927-928) bahwa pada suatu hari Imam Musa al-Kazhim hendak berwudu untuk salat subuh. Disuruhnya budaknya mengucurkan air wudu dari cerek yang telah disediakan di dalamnya.
Rupanya budak tersebut masih mengantuk. Akibatnya, dia menyiramkan air itu ke tubuh sehingga tubuh dan baju Imam Musa al-Kazhim basah. Seharusnya, dia mengucurkan air ke telapak tangan Imam Musa al-Kazhim.
Hal itu membuat beliau hendak marah pada budaknya itu. Keadaan itu menyadarkan budaknya sehingga tidak mengantuk lagi.
Segera budak itu membaca “wal-kaazhimiinal-ghaizha.” (dan mereka yang menahan marah)
Beliau serta merta sadar mendengar ayat itu, lalu berkata, “Telah aku tahan marahku kepadamu.”
Lalu, budaknya melafalkan pula, “al-‘aafiina ‘anin-naas.” (dan memberi maaf kepada manusia)
Serentak pula beliau menjawab, “Aku beri maaf kesalahanmu, buyung!”
Kemudian, budak itu melanjutkan membaca ayat sampai pada ujungnya, “Wallahu yuhibbul muhsiniin.” (dan Allah amat cinta kepada orang yang berbuat baik)
Tidak disangka sama sekali oleh budak tersebut sambutan beliau setelah mendengar ayat tersebut. “Anta hurrun liwajhillah.” (mulai hari ini engkau kumerdekakan dari perbudakan, semata-mata karena Allah). Itulah peristiwa “pemerdekaan” budak oleh Imam Musa al-Kazhim, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keturunan Fatimah dan Ali bin Abu Thalib.
Peristiwa itu sangat masyhur. Banyak ulama yang menjadikannya sebagai contoh materi tausiyahnya. Dari substansinya, kisah itu berisi pembelajaran akhlak mulia bagi umat Islam, yakni nasihat dari budak sekalipun jika bersumber pada al-Qur’an wajib ditaati.
Jadi, jika ada pemimpin Islam yang diberi nasihat tentang kebenaran yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis, semestinya menaatinya. Tidak ada sedikit pun perasaan bahwa kehormatannya dilecehkan. Nah, bagaimanakah pemimpin kita?
Ayat yang dibacakan oleh budak tersebut merupakan bagian dari surat Ali ‘Imran (3): 134, yang lengkapnya adalah,
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
“(yaitu) orang-orang yang berinfak, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”
Bangun Lebih Awal pada Malam Pertama
Malam pertama bulan Ramadan. Pukul 02.30. Suasana di rumah kami masih sepi. Belum ada yang bangun, kecuali saya dan istri saya. Dari masjid dan surau di sekitar kami tinggal belum ada juga suara takmir membangunkan muslim agar sahur.
Kami menunggu beberapa saat dengan harapan ART bangun untuk menyiapkan makan sahur. Hampir 20 menit kami menuggu. Tidak ada tanda-tanda dia bangun, padahal suara ayam berkokok mulai ramai.
Setelah bersih-bersih diri, kami berdua menuju dapur. Istri saya menghangatkan sayur dan merebus air. Saya menyiapkan mangkuk tempat sayur, gelas, dan piring.
Belum ada juga tanda-tanda ART bangun. Kami melanjutkan.
Beberapa saat kemudian saya memeriksa anak-anak di kamar tidurnya. Ada tiga anak. Cewek semuanya. Mereka tidur di satu bed. Belum ada yang bangun. Saya tidak membangunkannya.
Pukul 03.15. ART belum bangun juga. Kami berdua menyiapkan makan sahur. Anak-anak saya bangunkan.
Pada anak bungsu, ketika itu berusia 5 tahun, ada perlakuan istimewa. Saya ciumi keningnya. Saya tiup-tiup pelan matanya. Jika belum bangun juga, saya bopong (gendong di depan) sampai di kamar mandi.
Setelah selesai urusan di kamar mandi, kami menuju meja makan. Dua kakaknya sudah menunggu. Istri saya duduk di antara mereka bertiga.
ART belum bangun juga. Dia tidur kamar lantai dua. Dari luar kamarnya, saya menyuruhnya bangun. Sesaat kemudian dia menuju pintu kamar tidurnya. Saya kembali menuju ruang makan.
Pada bulan Ramadan selalu saya usahakan ada kebersamaan. Sahur dan buka bersama Salat berjamaah.
Melihat istri saya duduk satu deret dengan ketiga anak, sedangkan di sebelah saya ada kursi yang kosong, ART itu duduk di sebelah saya. Dengan begitu, posisi duduk kami adalah istri saya satu deret dengan anak-anak, sedangkan saya satu deret dengan ART.
Hati saya mulai tidak nyaman. Lho, kok jadi begini? Bukan istri saya yang duduk di sebelah saya! Bisik saya di dalam hati. Namun, saya memilih tidak mengubah posisi duduk.
Ada masalah lain yang lebih penting, yakni “tupoksi” ART. Saya merasa perlu menasihatinya. Masih ada waktu. Saya bicara pada istri saya meskipun sesungguhnya bermaksud menasihati ART.
Di sela-sela sahur dengan santai saya berbicara dalam bahasa Jawa.
“Bu, yen sesuk Mbak Yah tangi gasik ora didukani, ta? (‘Bu, jika besok Mbak Yah bangun lebih awal, tidak dimarahi, kan?’ Saya, istri saya, dan anak-anak saya biasa menyapa ART itu dengan Mbak Yah.
Istri saya memahami maksud saya. “Ya, mesti ora, ta!” Mosok tangi gasik kok diseneni!” (‘Tentu tidaklah! Masak orang bangun lebih awal kok dimarahi’)
ART hanya tersenyum. Kami merasa cukup dengan nasihat itu. Kami yakin bahwa ART memahami maksud kami.
Saya menasihati ART dengan cara seperti itu. Dia orang Jawa. Pada masyarakat Jawa terdapat ketidaklangsungan dan kepura-puraan (indirectness and dissimulation) sebagai cara menyampaikan pesan. Ada tiga prinsip umum berkenaan dengan cara tersebut, yaitu:
- I don’t want to say what I think/know
- I don’t have to say this.
- I can say something else.
(Anna Wierzbicka di dalam Trends in Linguistics: Cross-Cultural Pragmatics, The semantics of Human Interaction, hlm. 102)
Tiba saatnya mengakhiri sahur. Semua beraktivitas. ART membereskan meja, piring, dan gelas yang baru dipakai.
Malam kedua. Dalam hal menyiapkan sahur, tidak ada perubahan. Kembali saya dan istri saya yang menyiapkan sahur. Setelah hidangan sahur siap di meja dan anak-anak siap di ruang makan, kembali saya membangunkan ART dengan cara yang sama dengan malam pertama.
Perubahan terjadi pada posisi duduk kami. Saya duduk satu deret dengan istri dan anak-anak. Anak-anak maklum. Namun, tetap ada kebersamaan. Kami tetap makan satu meja dengan ART.
Seperti pada malam pertama, saya menasihati ART. Cara yang saya pilih sama juga. Saya bicara kepada istri.
“Tenan ta, Bu? Yen sesuk bengi Mbak Yah tangi luwih gasik tinimbang awake dhewe, ora didukani, ta? (‘Betul, kan, Bu? Jika besok malam Mbak Yah bangun lebih awal daripada kita, tidak dimarahi?’)
“Ora!” Istri saya menegaskan. “Yen ora percaya, jajal wae sesuk tangi luwih gasik. Mesti ora ana sing dukani. Wong tangi luwih gasik kok didukani.” (‘Tidak!’ Kalau tidak percaya, coba besok bangun lebih awal. Pasti tidak ada yang marah. Masak bangun lebih awal dimarahi’)
“Nah, Mbak Yah. Krungu ta? Nek sesuk tangi luwih gasik ora ana sing duka.” (‘Nah, Mbak Yah. Dengar, kan? Jika besok bangun lebih awal, tidak ada yang marah!’)
Suasana hening sejenak. Anak-anak tampak mulai agak kesal dengan kelakuan ART. Namun, dengan tenang ART berbicara.
“Ngenjing kula boten digugah boten napa-napa. Kula biasa pasa senajan boten sahur.” (‘Besok saya tidak dibangunkan tidak apa-apa. Saya biasa puasa meskipun tidak sahur’)
Saya dan istri saya saling memandang dan tersenyum. Tidak terusik dengan jawaban ART yang demikian. Kami maklum. Namanya saja ART. Kalau kami marah, apa bedanya kami dengan ART.
Pada malam ketiga kami tidak membangunkannya. Dia tidak bangun. Dia baru bangun ketika subuh tiba.
“Mbak Yah pasa?” tanya saya kepada Mbak Yah. (‘Mbak Yah puasa?’)
“Insya-Allah, Pak!” jawabnya meyakinkan. (‘Insya-Allah, Pak’)
“Njur ora sahur? (‘Terus nggak sahur?’)
“Boten. Sampun sering kok. Boten napa-napa.” (‘Nggak. Sudah sering kok. Nggak apa-apa’)
Saya tidak menceramahinya bahwa di dalam sahur itu terdapat berkah. Kami pun tidak memarahinya. Apalagi mengusirnya. Ibarat menangkap ikan, kami ingin ikan tertangkap dan air tidak keruh.
Pada malam keempat dan seterusnya kami fokus pada ketiga anak. Bangun awal untuk menyiapkan sahur dan membangunkannya.
Kami memilih menempuh cara lain untuk menasihatinya. Hampir selalu selepas salat berjamaah di musala rumah, saya memberikan nasihat. Nasihat itu saya tujukan kepada saya sendiri, istri saya, dan anak-anak. Saya sampaikan pahala menyiapkan makan bagi orang berpuasa. Lalu, saya memotivasi agar bersemangat berbuat kebaikan sebab kebaikan yang kita lakukan kembali kepada kita sendiri.
Satu tahun saya dan istri saya berusaha mengubah perilaku ART. Alhamdulillah! Pada malam pertama Ramadan tahun kedua terjadi perubahan yang sangat signifikan.
Ketika pukul 02.45 saya dan istri saya bangun, hidangan sahur sudah tersaji di meja. Demikian juga malam-malam berikutnya.
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota