Di balik Penuturan Kiai Sudjak tentang Haji Pertama Kiai Dahlan
Oleh: Yayum Kumai
“… Muhammad Darwis di Singapoor pada hari yang kelima sudah menumpang kapal Mispil dari Mij Maclin Walson yang berangkat dari Tanjung Pager menuju Eropa melalui Aden dan Jeddah”
Potongan kalimat di atas adalah tuturan Kiai Sudjak dalam penceriteraannya atas kisah haji pertama Kiai Ahmad Dahlan.
Namun, benarkah ada kapal bernama Mispil? Kapal seperti apakah itu? Apa yang dilakukan Muhammad Darwis di Singapura? dan lain-lain pertanyaannya lainnya.
Maka dari itu, akan sungguh menarik bila kita bisa mengurai cerita tentang keberangkatan haji Kiai Dahlan dengan lebih kontekstual.
Peluang Bisnis di Musim Haji bagi Belanda
Mengingat Muhammad Darwis berhaji ketika Jawa dan sebagain wilayah dunia tengah diokupasi kolonialisme, maka pembahasan tentang haji dari kacamata ini menarik untuk didalami. Apalagi cerita terkait bentuk-bentuk intervensi bangsa Eropa terhadap jemaah haji Nusantara.
Dua hal yang saya soroti dari campur tangan Eropa ini yaitu, soal kesempatan bisnis pelayaran dan masalah politik Islamfobia.
Intervensi Eropa dalam urusan haji orang-orang Asia Tenggara—termasuk konsumen besar lainnya adalah Asia Selatan—bagaimana pun berhubungan dengan urusan bisnis. Pelayaran lintas samudra ini merupakan “ladang uang” bagi para saudagar dan pemilik kapal Eropa.
Intervensi Belanda pertama kali terhadap urusan berhaji orang-orang Nusantara dimulai kira-kira sejak 1799.[1] Namun, catatan yang lebih rinci baru tercatat sejak pertengahan abad ke-19.
Animo umat Muslim untuk menjalankan rukun Islam kelima ini ditangkap Belanda sebagai potensi bisnis. Bayangkan saja, pada 1860 tercatat ada 222 jemaah haji yang pulang ke Residensi Banten. Angka tersebut belum termasuk para haji dari wilayah lain.
Sepanjang pertengahan abad ke-19 sampai 1890 biaya tranportasi ke Mekkah berkisar pada rentang 110 sampai 300 guilder.[2] Setiap calon jemaah bisa mendapat tarif yang sangat beragam, tergantung agen perjalanan hajinya.
Agen-agen Haji Bodong di Masa Kolonial
Agen perjalanan haji di wilayah Nusantara berpusat di Singapura yang dipegang oleh para syeikh-syeikh yang jumlahnya sampai ratusan. Mereka adalah keturunan Arab yang tinggal di wilayah Asia Tenggara.
Bila cukup pandai dan beruntung, perjalanan haji akan berjalan lancar. Namun, jika bertemu dengan “lintah darat”, kemalangan hidup akan segera mengintai para calon jemaah. Selain lewat cara menaikkan tarif perjalanan ke Mekkah, calon jemaah dari Nusantara juga sering ditipu dengan kemudahan hutang haji.
Biasanya ini ditujukan untuk orang-orang yang tidak cukup mampu mengumpulkan uang dalam jumlah banyak sekali waktu. Para agen ini menawarkan kemudahan hutang dengan membayar sebagian di muka dulu. Lalu, para calon jemaah dikontrak menjadi buruh perkebunan untuk membayar sisa hutang perjalanan hajinya. Nahasnya, sering kali yang terjadi bukan sampai ke Mekkah, tetapi malah terjebak dalam jerat hutang tersebut.
Dengan maksud menyaingi dan berkedok mengatasi masalah di atas, kolonial Belanda turut masuk dalam kancah per-haji-an di Asia Tenggara, khususnya mengurusi Hindia Belanda. Di antara intervensinya ialah membuat regulasi untuk agen-agen perjalanan, seperti mengatur batas kuota penumpang kapal, menyediakan agen resmi pemerintah, dll
Kebijakan ini terbukti bisa menjamin keamanan dan keselamatan jemaah haji Hindia Belanda, meskipun tetap juga tumbuh subur agen abal-abal hasil kerja sama antara syekh-syekh Arab, Singapura, dan Nusantara dengan maskapai Eropa. Salah dua yang terkenal bermasalah adalah agen bernama Herklots dan Alsagoff.
Satu kasus pengiriman buruh yang didalangi Herklots, misalnya, mencatut pemuka agama dari Melayu dan Cirebon yaitu, Haji Ali dan Syekh Abdul Karim bin Mohamad Bamazahim. Dilaporkan Konsul Jendral Belanda di Singapura pada 1896 bahwa ada sebanyak 800 buruh dari Singapura (Melayu) dan Jawa dikirim ke New Caledonia atas pesanan Pemerintah Prancis.
Laporan resmi di atas direspons Pemerintah Belanda lewat penerbitan Ordonansi Kapal Perjalanan Haji 1897 yang salah satu aturannya adalah pembatasan jumlah penumpang. Bukan saja soal alasan manusiawi, tetapi justru karena ketakutan penyebaran wabah pes.[3]
Meskipun sudah ada kebijakan pembatasan kuota kapal, praktik agen haji bodong nyatanya masih terus saja hidup. Firma Alsagoff & Co yang sudah disebutkan di atas, misalnya, adalah agen perjalanan haji yang juga memiliki usaha perkebunan.
Mispil=Maclaine, Agen Terpercaya
Akal bulus Firma Alsagoff yang berbasis di Singapura ini ialah menetapkan tarif haji lebih tinggi daripada maskapai milik pemerintah Belanda. Kemampuan Alsagoff menarik konsumen dilakukan lewat jejaring syekh-syekh di Nusantara. Inilah alasan di balik banyaknya pribumi Hindia Belanda yang terjerat dalam transaksi mereka. Terlebih, Alsagoff juga menjalin kongkalikong dan memberi komisi tersendiri dengan pemerintah Arab.[4] Apalagi praktik pemerasan, penipuan, hingga perampokan orang-orang Arab kerap diterima haji Jawa, seperti diceritakan dalam catatan Hurgronje.
“… orang pribumi yang berhasrat mendapat pahala surgawi dan keterpandangan duniawi yang terkait dengan perjalanan haji nyaris tidak mengetahui cara-cara dapat mencapai tanah suci. Hanya satu dua orang yang mempunya kerabat haji yang terpelajar …”[5]
Ditegaskan juga dalam catatan Hurgronje nama-nama maskapai haji rekomendasinya. Salah satunya ialah maskapai Belanda bernama Rotterdamsche Lloyd dan satu perusahaan transportasi swasta dengan anma Maclaine Watson & Co.
Nama terakhir tersebut di ataslah yang ditulis Kiai Sudjak sebagai Mispil. Memang, orang Jawa lebih lekat menyebut Maclaine Watson dengan sebutan Mispil atau Mispel.
Tindakan tegas untuk mengatur maskapai dan agen haji bodong dilakukan lagi oleh pemerintah Belanda lewat Ordonansi Perantara Perjalanan Haji 1906. Namun, pengetahuan masyarakat luas pada hukum-hukum perjalanan haji yang minim membuat mereka lagi-lagi harus terjebak tipu muslihat syekh-syekh di sekitarnya yang menjadi kaki tangan agen bodong.
Transit di Singapura
Lalu, mengapa Muhammad Darwis mesti jauh-jauh ke Singapura dulu untuk naik kapal ke Jeddah? Padahal, pada akhir abad ke-19 sudah ada beberapa pelabuhan Hindia Belanda yang berstatus Kelas A. Artinya, melayani pelayaran internasional.
Usus punya usut, dari laporan Haver Droeze, ternyata memang ada selisih harga antara keberangkatan dari pelabuhan Hindia Belanda dan Singapura. Namun, persoalan harga bukan satu-satunya masalah. Apalagi yang berangkat adalah Muhammad Darwis, suksesi jabatan ketib amin di Kesultanan Yogyakarta.
Ternyata orang-orang Nusantara lebih memiliki banyak teman perjalanan, bila berangkat dari Singapura. Lalu, kapal-kapalnya memperbolehkan jemaah haji untuk memasak makanannya sendiri, di luar menu makanan harian ala kadar yang disediakan maskapai.
Lama perjalanan dari Singapura sampai Jeddah, menurut catatan Kiai Sudjak, ditempuh selama 10 hari. Benarkah kapal uap sudah secanggih itu memotong waktu perjalanan haji?
Jawabannya bisa jadi iya. Narasi ini diperkuat oleh sebuah catatan ilmuwan-ilmuwan Belanda yang “melarikan diri” dari musim dingin di sana. Mereka sengaja datang ke Buitenzorg (Bogor) untuk meneliti wilayah tropis sepanjang musim dingin.
Waktu penelitian yang cenderung singkat itu bisa dikerjakan karena waktu tempuh kapal uap Belanda-Batavia pascapembukaan Terusan Suez pada 1869 hanya membutuhkan satu bulan.[6]
Perbandingan antara jarak Belanda-Jeddah-Batavia tersebut cukup membuktikan bahwa masuk akallah ketika Kiai Sudjak mengatakan pelayaran Singapura-Jeddaha hanya memakan waktu 10 hari.
[1] Bersamaan dengan kekuatan politik Belanda yang sudah menguasai Batavia pada hari itu. Lihat Eric Tagliacozzo, “The Dutch Empire and the Hajj”, di dalam David Motadel, Islam and the European Empires (Oxford University Press, 2014).
[2] J. Eisenberger, Indie en de Bedevaart naar Mekka (Leiden, 1928).
[3] Surat dari Surat Mentri Luar Negeri Belanda kepada Mentri Koloni tanggal 9 Juni 1893 no. 5823.
[4] Surat dari Konsul Belanda di Singapura kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda 27 Agustus 1896 No. 877; Surat dari Snouch Hurgronje kepada Kepala Sekretariat Umum Gubernur Jendral di Bogor 26 Agustus 1896.
[5] Diterjemahkan dari Surat dari Snouck Hurgronje kepada Kepala Direktur Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan 19 Juli 1899.
[6] Andrew Goss, Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (Depok: Komunitas Bambu, 2014).