Islam, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi: Sisi Pandang Komprehensif

Islam, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi: Sisi Pandang Komprehensif

Foto Istimewa

Islam, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi: Sisi Pandang Komprehensif

Oleh: Dr H Yadi Nurhayadi, MSi, CDAI

Mendiskusikan Islam, ilmu pengetahuan, dan teknologi dari berbagai sisi membutuhkan kejernihan berpikir serta sisi pandang komprehensif. Dahulu Islam sempat mengalami masa-masa gemilang, di mana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berpadu dengan keterjagaan tradisi ilmiah serta terbentuknya tatanan masyarakat yang beradab dan berbudaya. Akan tetapi kondisi dewasa ini, Islam mengalami keterpurukan serta tidak lagi memegang kuasa atas iptek. Mengapa kondisi ini sampai terjadi, patutkah dikhawatirkan, lalu perlukah kaum Muslim kembali menguasai iptek?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap kali ada di kepala kaum Muslim umumnya, khususnya kalangan sarjana Muslim. Untuk menjawabnya kita harus mempertimbangkan keseluruhan aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, antara lain meliputi: ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Mengapa sedemikian lengkap? Karena memang keterpurukan Islam atas penguasaan iptek bukan disebabkan oleh hal-hal sederhana, melainkan karena permasalahan-permasalahan yang melibatkan keseluruhan aspek tersebut secara bersistem dan komprehensif.

Keterpurukan yang disebabkan permasalahan pada seluruh aspek itu dibangkitkan oleh permasalahan internal kaum Muslim sendiri serta adanya rongrongan dari kalangan non Muslim. Oleh karenanya, upaya Islam meraih kembali penguasaan atas iptek haruslah diimbangi oleh perbaikan tatanan atas seluruh aspek tersebut. Akan tetapi di atas itu semua, masalah penguasaan iptek secara ideal jangan hanya disandarkan demi mengejar kejayaan di dunia semata. Yang terpenting, upaya kembali menjadikan Islam menguasai iptek adalah juga demi kejayaan di akhirat nanti. Jika kejayaan di akhirat ini menjadi landasan dominan, sekecil apapun keberhasilan upaya intensif menjadikan Islam kembali menguasai iptek akan mempunyai nilai positif di mata Tuhan.

Tulisan ini akan memaparkan secara ringkas bagaimana Islam pernah menguasai iptek, apa yang menyebabkan keterpurukan Islam atas penguasaan iptek, mengapa penguasaan iptek beralih ke tangan Barat, apakah penguasaan iptek gaya Barat yang menjadi impian Islam, serta bagaimana seharusnya Islam kembali menguasai iptek. Paparan tersebut sebagian bersumber dari referensi-referensi yang bersesuaian, dan sebagian lain merupakan opini dari penulis sendiri.

Masa-masa Islam Menguasai Iptek

Penguasaan Islam atas iptek didukung oleh keterjagaan tradisi ilmiah yang kental mewarnai kehidupan bermasyarakat dan bernegara di masa keemasan Islam. Mulyadhi Kartanegara menuliskan di dalam bukunya Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, paling tidak ada tiga faktor yang secara signifikan mendorong pembangunan tradisi ilmiah Islam yang megah pada masa kejayaan Islam. Pertama, faktor agama yang memberi tekanan kuat (bahkan mewajibkan) umat Islam untuk menuntut ilmu. Kedua, apresiasi masyarakat yang tinggi terhadap ilmu dan para ilmuwannya. Ketiga, patronase yang diberikan oleh para penguasa dan orang-orang kaya terhadap ilmu pengetahuan.

Penghargaan agama Islam terhadap iptek dan orang-orang berakal yang mempelajarinya jelas tertulis pada firman-firman Tuhan di dalam Quran serta sabda Rasul Muhammad di dalam Hadits-hadits beliau. Yang patut dicermati, Islam selalu menghargai iptek dan orang-orang berakal di atas landasan pengabdian kepada Tuhan. Sedangkan pengabdian kepada Tuhan ini adalah tujuan dari penciptaan manusia yang teraplikasikan dalam ber-Islam, secara individu, keluarga, masyarakat, dan negara.

Karena Islam bukan agama individual melainkan agama bagi seluruh manusia yang pengamalannya mengutamakan keberjamaahan, maka pengabdian kepada Tuhan yang menjadi inti ajaran Islam juga mengutamakan keberjamaahan. Jika berjamaah adalah keutamaan, secara otomatis tiap-tiap individu Muslim yang taat akan membina kebersamaan dalam pengabdian kepada Tuhan. Dari kebersamaan kaum Muslim mengamalkan Islam, akan terbentuk masyarakat bahkan negara. Dengan demikian, sudah selayaknya masyarakat serta negara Muslim mendukung penghargaan atas iptek dan orang-orang berakal yang berlandaskan pengabdian kepada Tuhan.

Ilustrasi buku

Pengabdian (ibadah) kepada Tuhan menjadi kalimat kunci yang melandasi keilmuan dan melandasi orang-orang berakal para penuntut ilmu. Sedemikian luasnya ilmu, jika membawa kepada pengingkaran pengabdian kepada Tuhan dan membawa kepada kesesatan, maka ilmu itu, para penuntutnya, serta yang mengamalkannya akan jatuh kepada kenistaan.

Ilmu seperti itu layak disebut ilmu sesat dan menyesatkan, di mana para penuntut ilmunya akan jatuh kepada kesia-siaan, serta para pengamalnya dapat tergelincir dalam dosa terbesar berupa kemusyrikan. Oleh karena itu, ilmu dasar yang sepatutnya dipahami dan diamalkan oleh kaum Muslim berakal para penuntut ilmu adalah ilmu agama. Ilmu agama akan membawa Muslim kepada tatacara berakidah, beribadah, dan bermuamalah yang benar disertai akhlak yang mulia, yang semuanya ditujukan demi pengabdian kepada Tuhan. Penguasaan ilmu agama lebih diutamakan dibanding ilmu-ilmu lainnya.

Masa keemasan Islam yang di antaranya ditandai dengan penguasaan Islam atas iptek disertai terjaganya tradisi ilmiah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tercapai karena hampir semua para ilmuwan Islam di masa itu adalah juga ahli agama. Para ilmuwan Islam itu memahami dan mengamalkan ilmu agama sebagai ilmu dasar mereka, sehingga karakter pengabdian kepada Tuhan sudah melekat dalam kiprah keilmuan dan keilmiahan mereka.

Masa keemasan Islam itu sebenarnya sudah dimulai sejak Rasulullah saw masih memimpin kaum Muslim, terutama sejak penaklukkan Mekah di abad ke-7. Hal ini karena tradisi ilmiah mempelajari ilmu agama telah tumbuh merasuki sanubari kaum Muslim dan kaum-kaum yang baru berikrar masuk Islam. Setelah memahami dan mengamalkan ilmu agama, kalangan cerdas dari kaum Muslim juga giat mempelajari ilmu-ilmu lain. Karena pengaruh Islam telah meluas, kalangan Muslim cerdas ini tidak hanya berbangsa Arab tetapi juga bangsa-bangsa lain dari Persia, Eropa, Asia, dan Afrika.

Tidak bisa dipungkiri bahwa di masa keemasan Islam bahkan hingga abad ke-16, penguasaan Islam atas iptek telah menciptakan kondisi yang membentuk tradisi ilmiah yang sangat megah. Pada masa itu dapat dikatakan tidak ada jenis ilmu yang tidak dikuasai oleh ilmuwan Muslim. Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah-nya mengklasifikasikan ilmu menjadi dua bagian besar, yaitu ilmu-ilmu naqliyah (ilmu-ilmu agama) dan ilmu-ilmu aqliyah (ilmu-ilmu rasional). Ilmu-ilmu agama terurai menjadi: ilmu al-Quran, ilmu hadits, ilmu fiqh dan ushul-fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, serta tabir mimpi.

Ilmu-ilmu rasional terurai menjadi ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis. Ilmu-ilmu teoritis meliputi kelompok ilmu fisika, matematika, dan metafisika. Kelompok ilmu fisika meliputi minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran, dan psikologi. Kelompok ilmu matematika terbagi menjadi aritmatika, geometri, aljabar, musik, astronomi, dan teknik. Kelompok ilmu metafisika meliputi ontologi, teologi, kosmologi, antropologi, dan eskatologi. Sementara ilmu-ilmu praktis terdiri dari etika, ekonomi, dan politik. Di luar itu juga masih ada ilmu sastra dan ilmu bahasa, serta ada pula pengklasifikasian ilmu yang lain. Misalnya Abu Sahl mengklasifikasikan ilmu-ilmu filsafat (atau ilmu-ilmu rasional jika menurut Ibn Khaldun) menjadi logika, matematika, non-matematika, fisika, metafisika, dan etika, yang masing-masingnya terurai menjadi berbagai cabang ilmu.

Ibn Khaldun tentu tidak asal menyebut tentang berbagai ilmu di atas. Ia mampu mengklasifikasikan ilmu karena memang ilmu itu telah ada dan telah ada yang menguasainya. Sementara di masa itu dari mulai abad ke-8 peradaban Islam-lah yang mendominasi, karena peradaban Eropa non-Islam masih tenggelam dalam kegelapan tirani gereja dan feodalisme. Maka dapat kita perkirakan, betapa kaya dan luasnya penguasaan Islam atas iptek serta betapa banyak, beragam, dan produktifnya ilmuwan Muslim di masa keemasan Islam.

Makalah ini tidak akan menyebut secara lengkap satu per satu ilmuwan-ilmuwan Islam itu beserta karya mereka. Tapi beberapa di antara mereka adalah sebagai berikut. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa‘i, Tirmidzi, Ibn Majah, Maliki, Hanafi, Syafi‘i, Ibn Hanbal, Ibn Katsir, al-Tabari, Ibn Taimiyyah, dan al-Suyuthi adalah sebagian kecil ahli ilmu-ilmu agama. Al-Kindi, al-Biruni, Ibn Hayyan, Ibn Sina, Ibn al-Nafis, Ibn al-Haitham, Ibn Rusyd, al-Khawarizmi, Nashir al-Thusi, dan Ibn Battutah adalah sebagian kecil ahli ilmu-ilmu rasional.

Penyebab Keterpurukan Islam Atas Penguasaan Iptek

Sebenarnya, Islam tidak sepenuhnya terpuruk selama ilmu agama masih bertahan dan terpelihara. Kaum Muslim dan dunia menilai Islam terpuruk lebih dikarenakan ketiadaan penguasaan iptek dan peradaban dunia secara dominan oleh kaum Muslim sejak setelah abad ke-16. Penyebab keterpurukan Islam atas penguasaan iptek sangatlah kompleks. Rasulullah saw sendiri sebenarnya sudah pernah mengisyaratkan akan keterpurukan Islam dalam berbagai segi, di antaranya karena konflik sesama Muslim, karena mengada-ada dalam hal agama, serta karena karena penurunan kualitas keislaman.

Puncak masa keemasan Islam dalam hal penguasaan atas iptek dinyatakan tercapai pada masa Kekhalifahan Abbasiyyah di Bagdad dan Kekhalifahan Umayyah II di Kordoba, lalu menurun walaupun masih bertahan hingga abad ke-16. Setelahnya, dalam hal penguasaan iptek, Islam benar-benar tenggelam. Pada rentang menuju puncak keemasan Islam itu, sejak setelah wafatnya Khalifah Umar Ibn al-Khattab, sebenarnya telah muncul bibit-bibit perpecahan Islam yang pada gilirannya kelak berkontribusi dominan dalam keterpurukan Islam.

Bibit-bibit perpecahan itu terjadi antara lain karena: perebutan kekuasaan (konflik politik), perdebatan teologi (konflik ideologi), kedengkian atas kepemilikan harta dan kekayaan (konflik ekonomi), kebanggaan kesukuan atau kebangsaan (konflik sosial budaya), serta unjuk kekuatan angkatan perang (konflik pertahanan dan keamanan). Melalaikan perintah agama yang membuat penurunan kualitas keislaman bahkan mengada-ada dalam hal agama juga turut andil dalam menyebabkan keterpurukan Islam. Semua hal yang menyebabkan keterpurukan itu pada hakikatnya berujung pada ambisi mengejar kepuasan duniawi, sehingga melalaikan pengabdian kepada Tuhan, maka terpuruklah umat Islam.

Perang Ilustrasi

Bibit-bibit konflik politik telah terdeteksi sejak masa kekhalifahan Uśman ibn Affan (644-656) yang dianggap lebih memberikan jabatan gubernur-gubernur di wilayah kekhalifahan Islam kepada kaum kerabatnya. Ketidakpuasan pun muncul dan Uśman dibunuh. Setelah pembunuhan itu konflik politik semakin menajam antara Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan. Konflik ini menjadi pembangkit kemunculan kelompok sempalan Khawarij dan Syiah, serta meluas tidak hanya konflik politik, tetapi juga konflik ideologi (perdebatan teologi).

Dalam hal ini pandangan teologi Khawarij mendapat sanggahan dari aliran-aliran teologi yang muncul berikutnya yaitu Murji‘ah, Mu‘tazilah, Qadariah, Jabariah, dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Perkembangan selanjutnya mengemuka perdebatan teologi antara Mu‘tazilah dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Perdebatan ini bahkan hingga ke taraf perlakukan kekerasan dari kalangan Mu‘tazilah kepada Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah, di masa kekhalifahan al-Ma’mun.

Kalangan Mu‘tazilah yang mengagungkan rasionalitas lebih lanjut sangat mendukung ilmuwan Muslim yang mendalami ilmu filsafat. Karakter ilmu filsafat yang seakan-akan mendewakan akal di atas wahyu Tuhan tak pelak membawa para filosof Muslim bersikap kritis terhadap sunnah rasul bahkan mengingkari kesahihannya yang sudah baku di kalangan mayoritas umat Islam. Di samping itu, ilmu tasawuf yang diamalkan para sufi yang menjauhi duniawi juga semakin mengemuka.

Maka perpecahan baru pun timbul. Yaitu yang ditimbulkan oleh perdebatan sengit antara kalangan filosof, kalangan sufi, dan ahli ilmu agama. Perdebatan itu sampai-sampai memunculkan tuduhan kafir dari kalangan ahli ilmu agama kepada kalangan filosof, dan tuduhan ahli bid‘ah dari ahli ilmu agama kepada para sufi. Akibat perpecahan itu muncul stigma-stigma sesat kepada keseluruhan ilmu-ilmu filsafat. Padahal dari filsafat ini terbangkitkan ilmu-ilmu rasional yang membawa kepada penguasaan teknologi yang dapat memajukan suatu bangsa.

Keseluruhan konflik yang sangat kompleks itu, dipadukan dengan pengumbaran kenikmatan duniawi dari kalangan penguasa, lama kelamaan melemahkan kaum Muslim dan pemerintahan Islam. Sehingga ketika datang rongrongan dari pihak-pihak non-Islam, Kekhalifahan Islam tidak sanggup lagi bertahan. Wilayah pemerintahan Islam pun sedikit demi sedikit jatuh ke tangan non-Islam. Ditambah lagi peminat ilmu beralih kepada ilmuwan-ilmuwan Barat / Eropa non Muslim, maka negara-negara Barat / Eropa non Islam mengambil alih penguasaan iptek dan warisan tradisi ilmiah dari kaum Muslim.

Beralihnya Penguasaan Iptek Ke Tangan Barat

Penguasaan iptek oleh negara-negara Barat didorong oleh semangat renaissance dan humanisme yang pada hakekatnya merupakan reaksi keras terhadap filsafat skolastik dan agama nasrani di zaman pertengahan. Gerakan renaissance dan humanisme di abad ke-15 dan 16 membawa Eropa dari zaman pertengahan yang monastik menuju dunia yang sekular. Bahkan karena pesan humanismenya yang sangat kental, prinsip-prinsip sekular renaissance bergerak lebih jauh menuju arah materialisme yang menawarkan kenikmatan dan kemewahan hidup kepada manusia. Pesan humanisme inilah yang melandasi penguasaan iptek oleh negara-negara Barat.

Maka negara-negara Barat berjuang keras melalui berbagai upaya: penaklukkan atas kekuasaan Islam, penguasaan iptek, dan pencarian dunia baru. Para filosof mereka seperti Thomas Aquinas, Martin Luther, dan Niccolo Machiavelli, yang skeptis kepada kekuasaan gereja tampil sebagai inspirator, menggerakkan kalangan ilmuwan mereka untuk bangkit menguasai iptek menuju sekularisme dan meterialisme yang menjunjung setinggi-tingginya kemanusiaan bangsa Barat.

Hasilnya memang luar biasa. Pemerintahan Islam yang tengah menurun sedikit demi sedikit dapat ditaklukkan. Penguasaan iptek dan tradisi ilmiah yang telah terbangun di masa Islam beralih kepada mereka yang meledakkan kemajuan drastis setelah revolusi industri. Pencarian dunia baru membuahkan kolonialisme bangsa Barat yang mencengkram dunia.

Dari negara-negara Eropa / Barat itu bermunculan ilmuwan-ilmuwan besar dunia seperti Copernicus, Rene Descartes, Johannes Keppler, Galileo Galilei, Isaac Newton, Benjamin Franklin, Gauss, Louis Pasteur, Michael Faraday, Thomas Alfa Edison, Alexander Graham Bell, Nicolaus Otto, Albert Einstein, dan sebagainya. Nama-nama mereka hingga kini begitu harum. Sementara nama-nama ilmuwan Islam yang sebenarnya melandasi penguasaan iptek dan tradisi ilmiah mereka terkubur.

Hingga kini penguasaan iptek oleh negara-negara Barat masih mendominasi. Tidak hanya itu, akibat masa panjang kolonialisme mereka di dunia, karekter budaya, paham-paham, dan peradaban Barat juga sangat dominan mempengaruhi dunia. Pesan humanis dan materialistis yang jauh dari pengabdian kepada Tuhan tetap melandasi hegemoni mereka dalam menguasai seluruh aspek kehidupan.

Bagaimana Seharusnya Islam Kembali Menguasai Iptek

Kembali harus ditekankan, bahwa landasan dari apapun berkaitan dengan kehidupan seorang Muslim adalah pengabdian kepada Tuhan. Dengan demikian, landasan dunia Barat dalam menguasai iptek, yaitu sekularisme yang menjadi prinsip renaissance serta materialisme yang mengarah kepada kenikmatan dan kemewahan hidup individual pesanan humanisme, bukanlah landasan kaum Muslim untuk kembali menguasai iptek. Jelaslah penguasaan iptek gaya Barat bukanlah impian Islam.

Akan tetapi, tentang bagaimana seharusnya Islam kembali menguasai iptek akan membutuhkan pemikiran yang komprehensif. Agama Tuhan ini bukanlah agama individual, tetapi agama bagi seluruh umat manusia yang pengamalannya mengutamakan kebersamaan. Maka kebersamaan dalam pengabdian kepada Tuhan pula-lah yang seharusnya mengawali upaya kembalinya Islam menguasai iptek.

Jika ada yang beralasan bahwa kebersamaan itu membutuhkan legitimasi berupa pemerintahan yang Islami, janganlah terlalu dipikirkan, sehingga malahan menghambat upaya ini. Yang terpenting, mumpung kita tidak mengalami kesulitan dalam mengaktualisasikan keislaman kita secara bersama, maka lakukanlah.

Di dalam Islam, tiga orang Muslim taat yang bertekad mengamalkan keislaman dalam kebersamaan sudah dikatakan sebagai masyarakat, sehingga salah seorangnya telah berhak menjadi pemimpin dalam kebertigaan mereka. Pilihlah pemimpin dalam kebersamaan mengamalkan Islam ini. Yang terpilih hendaknya siap menunaikan amanah dengan selalu memohon petunjuk Tuhan.

Yang tidak terpilih harus tetap ikhlas. Lalu bentuklah ukhuwah Islamiyah dengan kelompok masyarakat Muslim yang lain dari dalam maupun luar negeri. Tekadkan untuk bersama-sama mengamalkan Islam dalam ketaatan. Akan tetapi dalam hal kehidupan bernegara, pemimpin negara yang syah tetap harus ditaati dalam ketaatan yang tidak melanggar agama.

Sejarah masa lalu dari masa keemasan Islam, tentang bagaimana Islam menguasai iptek dengan tradisi ilmiah yang senantiasa terjaga, dapat tetap dijadikan acuan. Ilmu agama tetap menjadi ilmu dasar yang hendaknya dipahami dan diamalkan. Janganlah mengejar duniawi, karena dapat membangkitkan perpecahan. Saling ikhlas saja, dengan produktivitas yang selalu tinggi. Jangan berbuat bid‘ah dalam hal ibadah ritual. Kita tinggal mencontoh Rasulullah saw dalam hal ini. Jauhkan kelalaian dan penurunan kualitas dengan saling mengingatkan. Setelah itu semua, tekunlah dalam upaya menguasai iptek, dengan mengoptimalkan waktu menuntut ilmu.

Jika memungkinkan, berdakwahlah kepada para pejabat penyelenggara negara, untuk dapat mempengaruhi mereka memberi kemudahan bahkan legitimasi  bagi upaya menguasasi iptek ini. Berdakwah juga kepada para ilmuwan non-Muslim yang telah diakui keilmuannya, barangkali mereka mendapat hidayah masuk Islam. Dengan demikian kita tidak susah payah memulai harus dari nol

Akhirnya, selama masih ada umat Islam yang menegakkan dan mengamalkan agama dengan benar, Islam belumlah terpuruk. Rasulullah pernah menjanjikan, bahwa menjelang akhir zaman Islam akan kembali berjaya. Beliau juga menjanjikan akan datangnya pemimpin yang adil dan turun kembalinya Nabi Isa as. Di atas itu semua, tetaplah negeri akhirat yang menjadi tujuan hakiki umat manusia.

Dr H Yadi Nurhayadi, MSi, CDAI, Dosen Program Studi Ekonomi Islam – FEB – UHAMKA

Exit mobile version