Membaca Realitas sebagai Tanggung Jawab Moral

membaca

Foto Ilustrasi

Membaca Realitas sebagai Tanggung Jawab Moral

Oleh: Agusliadi Massere

Realitas kehidupan hari ini, seringkali tampak tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Ada banyak polesan, bahkan seringkali memakai topeng untuk menutupi wajah aslinya. Selain dari itu, dipengaruhi pula oleh rendahnya kemampuan membaca, dan ketidakpekaan memahami realitas yang ada.

Ada hal menarik, meskipun saya belum menemukan dalam buku Kalilah & Dimnah karya Baidaba—sebagai karya sastra klasik abad ke-3 M berupa kumpulan fabel yang mengandung pesan moral dan pendidikan akhlak dalam memimpin, menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, serta membentuk budi pekerti luhur. Apa yang menarik itu? Cerita katak yang memiliki garis relevansi, dan mengandung pesan moral-tinggi terkait urgensi, signifikansi dan implikasi besar dari kemampuan “membaca realitas”.

Suatu ketika seekor katak terjatuh ke dalam panci berisi air yang akan direbus. Katak yang senang dengan air, sangat gembira. Saking gembiranya, dia berenang sambil sekali-kali menyentuh dinding panci. Beberapa menit kemudian, panci itu dinaikkan di atas kompor yang apinya sudah menyala. Air mulai direbus, dan katak yang senang dengan air, masih saja sangat kegirangan menikmatinya. Air mulai panas, dan beberapa menit kemudian mendidih. Katak baru menyadari bahwa telah terjadi perubahan di sekitarnya. Terlambat menyadari, akhirnya katak mati dalam panci yang airnya mendidih.

Pesan moral-tinggi yang terkandung dalam cerita “katak” di atas, tanpa kecuali banyak dialami oleh manusia hari ini. Ada yang sudah mati, dan ada pula yang sedang menunggu kematiannya. Saya selaku penulis dan/atau para pembaca, bisa saja mengalami hal yang sama dengan katak, sebagaimana dalam fabel tersebut di atas. Meskipun, “mati” atau “kematian” yang dimaksud di sini, bukanlah secara harfiah, di mana terpisahnya ruh dan jasad. Melainkan yang dimaksud adalah matinya “semangat”, “kepedulian”, “spirit belajar, membaca dan/atau menulis”, “kolaborasi”, “saling menghargai”, “toleransi”, “tenggang rasa”, “kejujuran” “integritas” dan banyak lagi hal lainnya dari diri kita yang berpotensi mengalami kematian.

Ketidakmampuan memahami dan merasakan realitas yang sedang terjadi, bisa disebabkan karena kita seringkali mengedepankan sikap abai dalam kehidupan. Selain itu, kita pun terkadang tidak mau dan/atau tidak mampu membaca realitas. Ada pula yang keliru dalam membaca realitas.

Hari ini, kondisi di atas, berpotensi semakin diperparah dengan kehidupan yang semakin maju, ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sains-teknologi yang telah menyeret kita semua ke dalam masa yang bisa disebut sebagai era pascaindustri, dan tidak keliru jika kita menyebutnya  pula era digital. Era ini ditandai dengan, jika mengikuti dan meminjam pandangan Yasraf Amir Piliang, “ditaklukkannya ruang dan waktu dengan kekuatan elektromagnetik”.

Foto Dok Ilustrasi

Kekuatan elektromagnetik sebagai kekuatan utama teknologi digital, membuat kehidupan kita bukan hanya bagaikan “Dunia yang dilipat” ataupun “Dunia yang berlari”. Bukan pula hanya, menjanjikan dan memberikan kemudahan, efektivitas dan efesiensi. Kini kehidupan pun telah banyak kehilangan batas-batasnya.

Hilangnya batas-batas kehidupan itu, sehingga kita sulit lagi memahami, antara “negarawan dan pecundang”, “riya dan ikhlas”, “konten dan fakta”, “kebenaranan dan kebohongan”, “kebaikan dan kepalsuan”, “permainan anak-anak dan orang dewasa”, “tontonan anak-anak dan orang dewasa”, “integritas dan pelanggaran”. Bahkan, menjelang Pemilu tahun 2024 pun, bisa berpotensi kehilangan batas, sehingga sulit memahami dan membedakan antara “memberi sebagai sedekah dan politik uang”.

Terkait kekeliruan dalam memahami realitas, adalah hal yang tidak luput dari diri kita tanpa kecuali. Pemanfaatan teknologi termasuk melalui media sosial telah menjadi instrumen strategis, efektif dan efesien untuk membuat rekayasa konten tertentu untuk mengelabui realitas yang sebenarnya. Diperkuat lagi oleh kecenderungan perkembangan nilai yang disebut fraktal (viral).

Terkait fraktal ini—bisa ditemukan penjelasannya secara detail dalam buku Yasraf, Dunia yang Dilipat—dipahami secara sederhana bahwa kebohongan sekalipun jika sudah viral maka berpotensi dipandang sebagai kebenaran. Dan hal ini diperparah dengan salah satu karakter manusia hari ini, adalah kecenderungan “hilangnya titik referensi”, “matinya kepakaran”, bahkan dalam salah satu pengajian yang saya ikuti secara online berpotensi terjadi “matinya sang ulama”. Sederhananya, hari ini, kita cenderung tidak lagi mengutamakan rujukan atau menemukan referensi utama pada personal dan bahkan institusi yang memiliki otoritas. Siapa pun seakan bisa memberikan fatwa dan akan ada pengikutnya.

Dalam buku Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna karya Yasraf Amir Piliang (2003), pada bagian Catatan dari Editor oleh Alfathri Adlin, ada kisah menarik. Kisah itu mempertegas kekeliruan yang sering kita alami dalam menangkap dan memahami realitas.

Kisahnya kurang lebih seperti ini “Ada seorang pangeran kecil dengan mahkota ajaibnya, sedang diculik oleh penyihir jahat. Sang pangeran itu dikurung di menara, dan oleh si penyihir membuatnya jadi bisu. Menara itu tidak memiliki pintu, hanya memiliki jendela berterali besi. Singkat cerita, sang pengeran membenturkan kepalanya pada terali. Benturan itu menghasilkan suara merdu. Saking merdunya hampir semua orang ingin menangkap suara itu melalui udara”.

Dari kisah sang pengeran di atas, mempertegas bahwa hari ada fenomena berupa kekeliruan dalam memahami realitas. Bisa saja karena rekayasa dan teknologi dan/atau manajemen pencitraan tertentu, realitas yang mengandung kekerasan, penderitaan, ketertindasan, ketidakadilan, intoleransi, kecurangan, masih dipandang sebagai sesuatu yang baik, positif, minimal dinilai biasa-biasa saja, dan bahkan masih banyak yang memberikan apresiasi. Sebagaimana kisah sang pangeran di atas, penderitaan, ketersiksaan yang dirasakan sebagai realitas sesungguhnya tertutupi oleh merdunya suara sebagai akibat benturan kepala ke terali.

Dari gambaran realitas di atas, sikap kita terhadapnya, dan berbagai dampak yang ditimbulkan dibutuhkan suatu kemampuan “membaca realitas”. Apalagi, jika merujuk pada berbagai riset dan bentuk keprihatinan, persoalan utama bangsa kita, memang masih sangat rendah dalam hal “membaca” apalagi jika membaca yang dimaksud bukan sekadar secara tekstual sebagaimana makna dalam “literasi dasar yang pertama”.

Terinspirasi dari Miftah Faqih pada bagian Pengantar Penerjemah dalam buku Studi Filsafat 1: Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer karya Hassan Hanafi, saya memandang bahwa kita membutuhkan kemampuan membaca realitas dengan kemampuan “membaca secara filsufis”. Miftah memandang hal ini sebagai salah satu langkah dalam proses pembangunan kesadaran, baik kesadaran personal maupun kesadaran sosial, kesadaran internal dan kesadaran eksternal.

Darinya (baca: Miftah), saya memahami bahwa membaca bukan hanya melantunkan, melainkan mengkaji, mendalami, mengidentifikasi, dan menginterpretasi dalam orientasi praksis. Selain itu, membaca pula adalah menakar dan menafsir yang merupakan refleksi kritis subjek terhadap objek dengan sentuhan orientasi perubahan. Atas dasar ini, Miftah pun menegaskan “seorang pembaca dalam pembacaannya akan senantiasa mempertimbangkan kesadaran historis, kesadaran spekulatif, dan kesadaran praksis atas realitas yang melingkupinya, yang merupakan triangle lingkaran hermeneutis”.

Dari ulasan Miftah kita bisa memahami bahwa membaca realitas adalah tanggung jawab moral,selain itu membaca dalam pemahaman membaca filsufis ini akan berimplikasi terciptanya alternatif solusi-solusi kreatif yang signifikan dengan problematika yang sedang menyelimuti realitas.

Sebenarnya, makna membaca yang diungkapkan oleh Miftah di atas, relevan dan bahkan bisa melampaui dari itu, atas makna iqra sebagaimana tafsir M. Quraish Shihab dalam buku karyanya Wawasan Al-Qur’an. Hanya saja, iqra sebagai ajaran dan perintah pertama, terkadang kurang diindahkan, dan tidak pernah dipahami sebagai sesuatu yang “wajib” atau minimal sebagai “komitmen personal” atau “tanggung jawab moral” dalam menjalani kehidupan menuju peradaban utama.

Iqra memiliki posisi strategis, dan tentunya masa awal sejarah Islam yang telah diakui kontribusinya yang luar biasa, bahkan telah menyelematkan Barat dari kegelapaan atau keterpurukan, itu karena nilai dan praksis iqra masih menjadi aktus oleh sebagian besar umat Islam. Tetapi sama halnya dengan makna membaca secara filsufis di atas dari Miftah, iqra pun bukan sekadar membaca secara tekstual atau membaca Al-Qur’an sekalipun secara tekstual.

Selain membaca secara filsufis, saya pun secara tidak langsung mendapatkan inspirasi dari Yudi Latif, bahwa dibutuhkan pula kemampuan “membaca secara ideologis”. Dari Yudi Latif bisa dipahami bagaimana cara memahami ideologi secar ideal yang pada dasarnya memadukan tiga unsur: keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.

Satu dari tiga unsur yang dijelaskan tersebut, Yudi Latif menegaskan bahwa “ideologi mengandung semacam paradigm pengetahuan yang berisi seperangkat prinsip, doktrin, teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas”. Membaca secara ideologis, saya maksudkan bahwa idealnya Pancasila yang menjadi falsafah, dasar dan ideologi bangsa dan negara, termasuk pula nilai dan ajaran agama, tanpa kecuali kearifan lokal yang hidup selama ini, bahkan menjadi nilai luhur bangsa, idealnya pada diri kita menjadi sejenis kerangka interpretasi dalam memahami realitas kehidupan kita.

Islam (menurut agama yang saya anut), Pancasila, kearifan lokal, haruslah nilainya terserap dalam diri untuk selanjutnya bisa menjadi corong untuk memahami realitas yang ada. Sehingga barometer dan indikator kita jelas. Pemahaman kita tidak liberal dan sekuler, sehingga realitas yang berpotensi merusak, minimal dipandang atau dinilai biasa-biasa saja, yang tidak perlu direspon dan dicarikan langkah solutifnya.

Sampai di sini, mungkin ada yang menunggu seperti apa langkah praktis dalam membaca realitas yang dimaksud. Saya sadari harapan tersebut belum tertuang dalam tulisan ini, jadi andaikan ini adalah satu teori, maka mungkin ini hanya sekadar pengantar.

Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

Exit mobile version