Kerukunan dan Kelestarian Alam

Belajar dari Program Eco Bhinneka Muhammadiyah Pontianak

lingkungan

Foto Ilustrasi Unsplash

Kerukunan dan Kelestarian Alam, Belajar dari Program Eco Bhinneka Muhammadiyah Pontianak

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi

Kiprah warga Muhammadiyah Kalimantan Barat tidak bisa lepas dari masalah-masalah yang melingkupi warga. Bukan hanya warga yang terafiliasi dengan Muhammadiyah, tetapi semua orang yang hidup dan menetap di wilayah Kalimantan Barat. Ada dua masalah sosial yang pernah terjadi di wilayah ini. Pertama, problema kerukunan antar etnis dan pemeluk agama yang pernah terkoyak. Kedua, masalah ancaman kerusakan lingkungan akibat pengelolaan sumberdaya alam yang tidak seimbang. Jika masalah yang pertama terjadi secara laten dan sporadis, masalah kedua begitu sering dan terus menerus terjadi hingga sekarang.

Provinsi Kalimantan Barat pernah menghadapi masalah kerukunan yang sangat serius, pasca reformasi tahun 2000 an. Perseturuan antar entis (Melayu-Dayak-Madura) yang dibarengi dengan aksi kekerasan yang terjadi secara meluas. Konflik itu telah menelan begitu banyak korban jiwa. Ia telah mengusik rasa kemanusiaan kita bersama. Kekerasan yang terjadi pada saat itu telah meniadi perhatian dunia. Saat perseturuan itu ada pada puncaknya, nyawa manusia tidak lebih berharga dari binatang yang setiap saat bisa dimusnahkan. Banyak kematian secara sia-sia akibat kekerasan itu. Kerugian secara sosial dan ekonomi tak terhitung besarnya.

Masalah lainnya adalah laju kerusakan lingkungan yang juga terus mengancam kehidupan warga. Pencemaran udara akibat kebakaran hutan. Banjir bandang akibat pembabatan hutan secara liar. Pencemaran dan memburuknya kualitas air sungai di tengah-tengah pemukiman kota Pontianak, juga terus terjadi. Meski ancaman tersebut begitu nyata, namun, belum juga ada solusi konkrit hingga saat ini.

Bagi Muhammadiyah Kalimantan Barat, masalah ancaman kerukunan dan kerusakan lingkungan, telah menjadi problem serius bagi seluruh warga Pontianak. Mereka berpotensi menjadi korban. “Saat terjadi konflik antar warga, atau kebakaran hutan, banjir bandang, maka semua warga Pontianak harus saling menguatkan diri, bahu-membahu, saling menolong agar bisa selamat. Pada saat itu, kita tidak lagi berfikir apa latar belakang suku, warna kulit, hingga agama yang dianut. Semua harus bergerak bersama untuk keselamatan jiwa”. Demikian ungkapan Octavia Shinta Aryani, Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Kalimantan Barat, sekaligus pengampu program Eco Bhinneka Pontianak.

Gagasan Eco Bhinneka

Kedua masalah tersebut telah mengusik Octavia Shinta Aryani dan Tita Titah Saputri, penggerak di Nasyiatul Aisyiyah Pontianak. Menurut keduanya, Muhammadiyah harus bisa memberikan kontribusi nyata agar Warga Pontianak bisa terlepas dari jerat masalah tersebut. Mereka menggagas sebuah program yang mampu menyasar dua masalah utama tersebut sekaligus.

Bagi keduanya, Kota Pontianak, sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, sejak kelahiranya telah dihuni oleh warga dari berbagai suku, agama, ras dan golongan yang beragam. Meski secara alamiah ada yang jumlahnya dominan, namun, Kota ini tidak otomatis bisa “dimiliki” oleh mereka yang menjadi mayoritas. Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang lebih rukun, mereka akan terus mempromosikan prinsip tentang kesamaan hak sebagai sesama manusia. Prinsip lainnya adalah, semua orang ada dalam derajat yang sama di depan hukum. Tantangan berikutnya adalah, bagaimana memanifestasikan prinsip dan nilai tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.

Terkait dengan masalah lingkungan, Muhammadiyah berpandangan, bahwa Pemerintah, tidak akan sanggup menyelesaikan persoalan ancaman kerusakan lingkungan tersebut sendirian. Partisipasi aktif warga adalah kuncinya. Menggerakan potensi dan kesadaran warga, tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan etnis, untuk bersama-sama mencegah laju kerusakan lingkungan adalah mutlak. “sebagai warga negara, kita memiliki andil besar dalam proses kerusakan lingkungan dan ancaman kerukunan. Tapi, kita sekaligus juga memiliki modal sosial besar untuk mencegahnya”. Ungkap Shinta dengan penuh optimis.

Gagasan para pegiat kerukunan dan kelestarian alam dari Muhammadiyah itu disebut dengan gerakan Eco Bhinneka. Dalam praktiknya, para pegiat program itu akan melakukan setiap kegiatannya bersama dengan komunitas pemeluk agama lain, tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, dan golongan. Semua akan bekerja bersama-sama untuk mewujudkan kehidupan yang lebih rukun dan lingkungan yang lestari.

Penanam Pohon, Sepeda Santai dan Kunjungan Rumah Ibadah

Para penggagas program Eco Bhinneka Pontianak percaya, bahwa anak-anak muda menjadi kelompok paling strategis dalam Gerakan ini. Mereka akan menjadi ujung tombak dalam setiap pelaksanaan berbagai kegiatan yang akan dilakukan bersama. Untuk itu, keterlibatan mereka mulai dari tahap perencanaan hingga implementasi gagasan, mutlak dilakukan.

Program Eco Bhinneka Pontianak memang akan bertumpu pada kekuatan anak-anak muda. Mereka menyebut Gerakan ini dengan “PEKA Pontianak”. Latar belakang agama, suku, etnis dan ras yang begitu beragam, telah menjadi modal utama mereka untuk bergerak menembus batas yang selama ini menjadi penghalang. Selain Shinta dan Tita, Florensia Dasilva Nince adalah telah menjadi motornya. Seorang perempuan Katholik berdarah Timor-Dayak yang menetap di Kota Pontianak.

Gubernur Membuka Kegiatan Eco Bhinneka Pontianak dalam Aksi Penanaman Pohon

Pada akhir 2022 lalu, pengampu program Eco Bhinneka Pontianak berhasil menggerakkan 500 anak-anak muda untuk terlibat dalam program penanaman pohon yang disumbangkan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat. Secara simbolis, aksi penanaman pohon tersebut dibuka oleh Gubernur Kalimantan Barat, dan dilakukan di depan Masjid Raya Pontianak.

Setelah penanaman pohon dilakukan, mereka berkeliling kota Pontianak dengan bersepeda bersama. Mereka berhenti di tempat ibadah yang di Kota Pontianak untuk melihat, berfoto dan mencicipi minuman yang disediakan. Mulai dari Gereja Kristen Protestan, Vihara, Kelenteng, Gereja Katholik. Gereja Katholik menjadi destinasi terakhir. Di sana, para pesepeda dipersilahkan untuk menikmati sarapan pagi, sekaligus melakukan pengukuran tekanan darah, kadar kolesterol, gula darah dan asam urat secara cuma-cuma. Para mahasiswi berjilbab dari Ilmu Keperawatan Aisyiyah Pontianak melayani para pesepeda dengan ramah, sekaligus memberikan konsultasi kesehatan di halaman Gereja Katholik.

Gagasan Shinta, Tita, dan Nince terwujud dalam wadah perkumpulan anak-anak muda yang mereka sebut dengan Gerakan SEKA (Sahabat Eco Bhinneka) Pontianak. Mereka telah berhasil membuka ruang perjumpaan dan pengenalan bagi anak-anak muda untuk bisa mengetahui ragam rumah ibadah dari berbagai agama. Tahap ini memang baru sebatas membuka ruang dialog, untuk saling mengenal dan membuka sekat. Ibarat hendak menapaki jalan dengan seribu langkah, maka apa yang sudah mereka rintis, adalah puluhan langkah awal yang signifikan

Gagasan Eco Bhinneka Pontianak perlu terus didukung oleh segenap warga persyarikatan Muhammadiyah. Semoga, rintinsan awal ini, kedepan bisa memberikan kontribusi nyata bagi terwujudnya kehidupan yang lebih rukun dan lingkungan yang lebih lestari di Pontianak.

Ahsan Jamet Hamidi, Pegiat Eco Bhinneka Muhammadiyah

Exit mobile version