Ekonomi Islam versus Ekonomi Konvensional: Komparasi dan Perkembangan

riba

Foto Dok Ilustrasi

Ekonomi Islam Versus Ekonomi Konvensional: Komparasi dan Perkembangan

Oleh: Dr. H. Yadi Nurhayadi, M.Si., CDAI.

1 Peradaban Islam yang Didukung Sektor Ekonomi

Kaum Muslim patut bersyukur. Geliat usaha merealisasikan peradaban yang dilandasi nilai-nilai Islam tidak pernah pupus. Usaha itu dipelopori oleh para sarjana Muslim yang didasari pemikiran logis dalam menyikapi kemusliman mereka. Karena nilai-nilai Islam itu universal, semua pihak tidak perlu khawatir ketika peradaban itu disebut sebagai peradaban Islam. Dengan demikian, adalah sebuah kepastian bahwa usaha merealisasikan terbentuknya peradaban Islam memang ada dan nyata.

Salah satu sektor yang menopang terbentuknya peradaban Islam adalah ekonomi. Sektor ini berisi segala hal yang berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran, serta konsumsi barang dan jasa. Karena pada dasarnya segala hal yang meliputi produksi, distribusi, pertukaran, serta konsumsi barang dan jasa telah diatur di dalam Islam, maka hal-hal yang tercakup dalam ekonomi ini yang berpedoman kepada Islam, disebut sebagai ekonomi Islam.

2 Sistem Ekonomi Islam Versus Sistem Ekonomi Konvensional

Usaha membentuk peradaban Islam, dengan pembangunan ekonomi Islam sebagai salah satu sektornya, bukanlah suatu hal yang sederhana. Membangun ekonomi Islam yang sistematis di tengah-tengah dominasi sistem ekonomi konvensional dipandang sebagai tantangan mulia sangat besar oleh para sarjana Muslim (yang menyadari kemuslimannya). Banyak hal yang perlu dilakukan mulai dari merintis, membangun intermediasi, hingga terbentuk sistem ekonomi Islam yang mandiri. Pekerjaan ini akan jauh lebih sulit dari pada pembentukan sistem ekonomi konvensional yang telah eksis dan kokoh, jika kaum Muslim sendiri tidak dengan sadar terus memperjuangkannya.

Membangun sistem ekonomi Islam bukanlah tanpa alasan. Selain karena alasan didasari oleh pengabdian kepada Sang Pencipta, secara logis para sarjana Muslim melihat adanya ketidaksesuaian sistem ekonomi konvensional dengan nilai-nilai Islam yang universal dan manusiawi. Secara mendasar, sistem ekonomi konvensional tidak memasukkan peran serta Tuhan, Sang Pencipta, di mana seharusnya pelaku ekonomi mendasarkan tingkah laku ekonominya sebagai wujud pengabdian kepada-Nya.

Sistem ekonomi konvensional bersifat netral, bebas dari nilai-nilai pengabdian kepada Sang Pencipta, serta tidak memposisikan langkah-langkahnya dalam rangka mengabdi kepada Sang Pencipta tersebut. Tidak mengherankan jika tujuan akhirnya adalah maksimalisasi kepuasan individu manusia, karena tidak ada lagi yang paling logis selain dari tujuan itu bagi sistem yang netral atau bahkan tidak mengakui nilai pengabdian kepada Pencipta.

Pada kenyataannya, tidak bisa dibantah bahwa sistem ekonomi konvensional adalah salah satu pilar besar yang menopang terbentuknya peradaban modern dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat. Tidak terbantahkan pula, melalui pelaksanaan sistem ekonomi konvensional, terutama setelah Perang Dunia ke-2, telah terbentuk negara-negara maju, di samping negara yang telah terlebih dahulu maju dan terus mempertahankan kemajuannya.

Sistem ekonomi konvensional itu dilandasi oleh ilmu ekonomi konvensional yang telah berperan dan terus bermetamorfosis selama lebih dari seabad terakhir. Kini, ilmu ekonomi konvensional telah menjelma menjadi cabang ilmu-ilmu sosial dengan tingkat kerumitan yang tinggi. Di dalamnya, secara dinamis, bergerak inovasi-inovasi baru, metodologi yang semakin tajam, serta analisis yang kuat didukung alat matematika dengan kapasitas yang terus membesar.

Khursid Ahmad menuliskan bahwa paradigma ilmu ekonomi konvensional di masa kini memiliki dua karakteristik utama. Pertama, ilmu ekonomi berkembang terintegrasi di sekitar inti kepentingan individu, usaha privat, mekanisme pasar, serta motif mencari keuntungan, dengan berusaha memecahkan semua persoalan ekonomi dalam matriks kerangka individu ini. Kedua, paradigma tersebut pada hakikatnya memutus hubungan antara ilmu ekonomi dan persoalan-persoalan transendental dan keprihatinan terhadap etika, agama, dan nilai-nilai moral. Kedua paradigma di atas sangat sekuler, bersifat keduniaan, positivistik, dan pragmatis, serta jelas tidak islami.

Ilustrasi

Menurut Umer Chapra, ilmu ekonomi konvensional telah mencanangkan dua tujuan, yaitu tujuan positif dan normatif. Tujuan positif berhubungan dengan realisasi efisiensi dan pemerataan dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Tujuan normatif diungkapkan dalam bentuk tujuan-tujuan sosioekonomi yang secara universal diinginkan, seperti pemenuhan kebutuhan, kondisi kesempatan kerja penuh, laju pertumbuhan ekonomi optimal, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil (merata), stabilitas ekonomi, serta keseimbangan lingkungan hidup.

Kedua tujuan tersebut dimaksudkan untuk melayani kepentingan individu maupun masyarakat, sejalan dengan pandangan dunia yang menggarisbawahinya. Pada prakteknya tujuan positif selalu berusaha diraih memakai paradigma ekonomi konvensional. Akibatnya, secara umum tujuan normatif pada kondisi nyata tidak pernah tercapai. Tujuan normatif hanya akan tercapai jika maksimalisasi kepuasan individu dikorbankan, yang tak lain mengorbankan pula para pemilik kapital.

Tujuan normatif sendiri mengemuka setelah dipicu peristiwa Depresi Besar di tahun 1930-an. Peristiwa itu memicu perubahan sistem ekonomi berupa dimasukkannya variabel-variabel makroekonomi di samping variabel-variabel mikroekonomi yang sebelumnya sendirian mendominasi. Tujuan normatif antara lain diwujudkan melalui variabel Makroekonomi seperti pada program Negara Sejahtera (Welfare State) yang pelaksanaannya dibebankan kepada kebijakan pemerintah. Ini kelemahan makroekonomi, karena setiap pemerintahan memiliki bervariasi karakter.

Pada akhirnya, antara tujuan positif dan tujuan normatif saling tidak konsisten. Demikian pula terjadi inkonsistensi antara dua cabang utama ilmu ekonomi konvensional, mikroekonomi dan makroekonomi. Pencapaian tujuan positif dan mikroekonomi diraih melalui penekanan maksimalisasi kekayaan, kebebasan individu, dan netralitas nilai, yang semuanya sejalan dengan pandangan sekularis.

Sementara, pencapaian tujuan normatif dan makroekonomi, walaupun nampak humanitarian, sebenarnya lebih karena pemaksaan oleh pemerintah yang seakan terpaksa pula karena telah dipilih oleh rakyat. Dalam hal ini kebijakan fiskal menjadi satu-satunya cara yang dilakukan oleh pemerintah dengan tingkat kepatuhan yang semu. Keseluruhan proses di dalam sistem ekonomi konvensional di atas selalu berpotensi membangkitkan stagflasi yang akan membawa kepada depresi-depresi ekonomi berikutnya.

Berdasarkan paparan di atas, dalam bahasa yang lebih lugas, sebenarnya paradigma sistem ekonomi konvensional secara dominan mengakomodasi sifat serakah manusia, individu maupun kolektif, tanpa adanya batasan nilai-nilai. Apalagi praktek lembaga keuangan sistem ekonomi ini dilandasi oleh mekanisme bunga (interest). Maka lengkaplah, universalitas nilai-nilai kebersamaan, saling tolong menolong, dan mengutamakan kesederhanaan, dikalahkan oleh maksimalisasi kepuasan individu yang berdampak kepada kecintaan terhadap gaya hidup mewah, tingginya persaingan yang saling menjatuhkan, serta kecurigaan yang membangkitkan perselisihan. Semakin jelas, bahwa secara mendasar paradigma sistem ekonomi konvensional harus dirombak.

Berdasarkan pengalaman jatuh bangunnya perekonomian yang dilandasi sistem ekonomi konvensional (yang memang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam) para sarjana Muslim mengajukan sistem ekonomi Islam. Di dalam sistem ekonomi Islam yang memiliki acuan dasar al-Quran, al-Sunnah, serta Ijtihad (ijma’ dan Qiyas) ini, eksistensi Tuhan berada pada posisi puncak, di mana segala sesuatu dikembalikan kepada-Nya. Segala sesuatu berdasarkan ketuhanan, yaitu sistem yang bertitik tolak dari-Nya, bertujuan akhir kepada-Nya, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat-Nya, atau sistem ini berlandaskan kepada tauhid.

Monzer Kahf menjabarkan interpretasi tauhid sebagai landasan filosofis sistem ekonomi Islam sebagai berikut. Pertama, dunia termasuk isinya merupakan milik Allah swt. Pengakuan kepemilikan individual secara tidak terbatas (seperti pada doktrin kapitalisme yang diadopsi sistem ekonomi konvensional) merupakan sebuah pengingkaran kepada kekuasaan Allah swt. Manusia hanya berlaku sebagai khalifah-Nya di muka Bumi yang harus mengabdi kepada-Nya dan bertindak adil kepada manusia lain.

Kedua, Allah swt itu Esa, dan semua manusia adalah sama di hadapan-Nya. Tidak dikenal si kaya dan si miskin atau si kuat dan si lemah, yang membedakan hanya ketakwaan masing-masing. Karena persamaan itu manusia dituntut menjalin kebersamaan dan persaudaraan yang saling tolong menolong dalam kegiatan ekonomi. Ketiga, keimanan kepada hari akhir, yang membawa manusia untuk selalu mempertimbangkan tingkah lakunya, khususnya dalam kegiatan perekonomian, karena setiap tindakan akan ada ganjarannya di akhirat.

Sistem ekonomi Islam juga memiliki nilai-nilai dasar yang menjadi kerangka konstruksi sosial dan tingkah laku sistem. Nilai dasar pertama adalah keseimbangan (al-tawazun). Prinsip dasar keseimbangan dalam perekonomian diwujudkan dalam tindakan proporsional, tidak boros, tapi juga tidak bakhil. Prinsip ini juga meliputi keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan publik. Nilai dasar kedua adalah keadilan (al-‘adālah). Tidak ada tempat bagi tindakan zalim besar maupun kecil dalam sistem ekonomi Islam. Nilai dasar ketiga adalah kepemilikan (al-milkiyyah) yang hanya berhak diterima oleh ahlinya dengan tetap menjunjung nilai dasar pertama dan kedua.

Karena penekanan kepada keadilan, sistem ekonomi Islam tidak sesuai dengan mekanisme pasar bebas yang berdiri di atas maksimalisasi kepuasan individu. Sistem ekonomi Islam memiliki kaidah kesejahteraan untuk semua dalam suatu cara yang seimbang dan adil. Di antara kaidah-kaidah ini adalah: (1) suatu kerugian atau pengorbanan individu dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu maslahat lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang lebih besar; (2) suatu kerugian yang lebih besar dapat digantikan oleh kerugian yang lebih kecil; (3) penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan dari pada mendapatkan kemaslahatan; (4) bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.

3 Unjuk Aksi Ekonomi Islam, Tahap Awal dan Tantangannya

Ketidaksesuaian sistem ekonomi konvensional dengan nilai-nilai Islam membawa umat Muslim yang menyadari kemuslimannya kepada semangat menerapkan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh. Sikap yang ditindaklanjuti dengan tindakan ini adalah demi mengefektifkan perintisan, intermediasi, hingga pembentukan sistem ekonomi Islam yang mandiri. Islam memang menuntut seluruh Muslim yang beriman agar menyeluruh mengaktualisasikan kemuslimannya.

Di antara realisasi pembangunan ekonomi Islam yang tersistemisasi dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi Islam. Upaya ini merupakan penerapan nilai-nilai Islam dan secara historis telah dipraktekkan pada masa Rasulullah saw, para sahabat beliau, dan kehalifahan Islam, serta sempat membawa Islam kepada masa keemasannya. Kini, sejak bangkitnya kembali semangat berislam dalam perekonomian secara internasional, lembaga-lembaga ekonomi Islam telah tumbuh dan melangkah di antara dominasi raksasa-raksasa lembaga ekonomi konvensional.

Salah satu faktor penting yang membangkitkan berdirinya kembali sistem ekonomi Islam dengan berbagai institusinya adalah keinginan menghilangkan mekanisme bunga yang beroperasi di dalam lembaga keuangan makro maupun mikro. Ada berbagai alternatif yang digunakan lembaga keuangan Islam untuk tidak menerapkan mekanisme bunga, antara lain kombinasi mode-mode primer seperti mudarabah, dan musyarakah dengan mode-mode sekunder seperti murabahah, ijarah, salam, dan istisna. Alternatif-alternatif ini telah umum digunakan dari mulai praktek di dalam perbankan syariah hingga bayt al-māl wa al-tamwīl (BMT).

Akan tetapi, proses intermediasi yang masih panjang serta keberadaan bank sentral yang masih dominan menganut sistem ekonomi konvensional, menyisakan perjuangan yang belum selesai yaitu mengislamisasi sistem finansial secara keseluruhan. Persoalan-persoalan yang masih mengganjal untuk merealisasikannya antara lain: produk-produk lembaga keuangan syariah belum terstandardisasi, skala bank Islam yang sangat kecil dibanding bank konvensional, belum terbangunnya jaringan dan institusi pembantu, ketidakseragaman praktek akunting dan auditing, serta ketiadaan suara para deposan dalam manajemen bank.

Persoalan-persoalan tersebut memunculkan beberapa kritik dari kalangan yang skeptis. Kritik itu antara lain: kritik atas ketidakmampuan bank Islam menghindari jebakan bank konvensional, bank-bank Islam masih dominan menggunakan praktek mode-mode sekunder (yang dinilai kalangan skeptis mirip mekanisme bunga), serta integritas sertifikat keislaman lembaga masih diragukan. Bank-bank Islam serta lembaga keuangan syariah yang lain juga baru mampu berpola profit sharing saja, belum mampu profit and loss sharing.

Semua persoalan dan kritikan di atas adalah rangkaian proses dari suatu proses panjang islamisasi sistem ekonomi. Kalangan sarjana dan kaum Muslim yang menyadari kemuslimannya tidak perlu pesimis. Dalam rentang peralihan dan intermediasi ini segala persoalan yang masih muncul setelah usaha yang keras dan istiqamah adalah hal yang wajar. Syariat Islam sendiri bersifat realistis. Akan tetapi semangat untuk islamisasi haruslah konsisten dan tidak padam. Perlahan tapi pasti intitusi-institusi keuangan Islam yang mengutamakan mode-mode primer tetap dibangun, demikian pula perekonomian yang didasarkan pada ekuitas dan pembentukan pasar keungan Islam juga dibangun.

Dalam skala mikro yang merangkul lingkup rakyat kecil dan menengah, praktek-praktek BMT tetap digalakkan, guna melepas rakyat dari praktek rentenir atau tengkulak. Gerakan-gerakan dakwah yang menerangkan universalitas dan manusiawinya sistem ekonomi Islam, serta penekanan nilai-nilai kejujuran dan keadilan tetap dijalankan, bahkan lebih intensif. Akhirnya segala hal yang berkaitan dengan upaya yang dapat meyakinkan kebangkitan ekonomi Islam yang mandiri dengan didasari oleh produktivitas tinggi berkarakter jujur, adil, dan ikhlas saling menolong haruslah tetap berjalan.

Selamat berjuang!

Dr. H. Yadi Nurhayadi, M.Si., CDAI., Dosen di Prodi Ekonomi Islam – Fakultas Ekonomi dan Bisnis – UHAMKA

Exit mobile version